Penenggelaman
Kapal Asing
dalam
Konvensi Hukum Laut 1982
Dedi Gunawan Widyatmoko ; Siswa Program Master of
Maritime Policy
di ANCORS (The
Australian National Centre for Ocean Resources and Security),
University of
Wollongong, Australia
|
DETIKNEWS,
17 Januari
2018
Pada tahun 1985 melalui UU
no 17/1985, Indonesia meratifikasi Law of the Sea Convention 1982 (Konvensi Hukum
Laut 1982) atau yang lebih dikenal dengan nama UNCLOS 1982, hal ini berarti
Indonesia sudah mengakui bahwa pasal-pasal dalam UNCLOS 1982 tersebut telah
menjadi hukum positif di Indonesia. Oleh sebab itu, dalam memandang wilayah
perairan dan laut, Indonesia harus melihat UNCLOS 1982 sebagai rujukan
ketentuan hukum.
Beberapa hari terakhir,
publik disuguhi berita tentang kekurangsepahaman pendapat mengenai
penenggelaman kapal asing pelaku IUU (Illegal, unregulated and unreported)
Fishing antara Menko Kemaritiman (Luhut B. Panjaitan) dengan Menteri KKP
(Susi Pudjiastuti). Ada beberapa pendapat dari para ahli baik yang setuju
dengan Menteri KKP untuk melanjutkan tindakan penenggelaman kapal asing
pelaku IUU Fishing tersebut maupun yang berada pada sisi mendukung
penghentian penenggelaman tersebut, dan menjadikan kapal yang ditangkap
tersebut sebagai aset negara untuk dihibahkan kepada koperasi-koperasi rakyat
sebagaimana pendapat Menko Kemaritiman.
Dalam melihat hal ini,
kita harus melihat aturan-aturan internasional sebagai rujukan karena
tindakan penenggelaman kapal ini punya dampak dalam hubungan diplomatik
dengan negara lain. Tindakan perlindungan kekayaan ikan di perairan Indonesia
harus dilakukan secara tepat tanpa mengabaikan ketentuan-ketentuan internasional
yang sudah kita ratifikasi.
Dalam UNCLOS 1982, hak
Indonesia atas perairan dan lautnya dibagi menjadi 2 kategori besar. Pertama
adalah Perairan Kedaulatan Indonesia (sovereignty) yang terdiri atas Perairan
Pedalaman (sungai, teluk, pelabuhan dll), Perairan Kepulauan (Selat dan Laut
antara pulau-pulau di Indonesia yang berada di dalam Garis Pangkal) dan Laut
Teritorial (12 Nm dari Garis Pangkal). Pada Perairan Kedaulatan ini, hak
negara pantai (Indonesia) adalah berdaulat penuh atas air, wilayah udara di
atasnya, dasar laut dan bawah laut.
Penggolongan kedua adalah
Hak Berdaulat (sovereign right) atas kekayaan alam. Yang termasuk dalam
penggolongan ini adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (12
sd 200 Nm dari Garis Pangkal) dan Landas Kontinen Tambahan (extended
continental shelf sejauh maksimal 350 Nm atau 100 Nm di luar Isobar 2.500 m
dan harus dibuktikan secara ilmiah dan submit ke the Commission on the Limits
of the Continental Shelf - CLCS).
Aturan mengenai prosedur
penegakan hukum atas pelaku IUU Fishing di Laut Pedalaman, Perairan Kepulauan
dan Laut Teritorial tidak dibahas secara khusus dalam UNCLOS 1982. Akan
tetapi apabila kita kaji bahwa hak negara lain atas perairan-perairan
tersebut hanyalah Hak Lintas (Lintas Damai untuk Laut Teritorial dan Lintas
ALKI untuk Perairan Kepulauan), maka setiap pelanggaran atas ketentuan hak
lintas tersebut merupakan hak negara pantai (Indonesia) untuk menegakkanya
sesuai peraturan perundang-undangan. Salah satu tindakan yang melanggar Hak
Lintas Damai kapal-kapal negara lain adalah seluruh aktivitas menangkap ikan
(UCLOS 1982 pasal 19 ayat 2(i)).
Dengan demikian, sangatlah
jelas bahwa sudah menjadi hak dan kewajiban negara pantai (Indonesia) untuk
menjaga kedaulatan wilayahnya pada perairan-perairan tersebut dengan
menerapkan hukum domestik atas pelanggaran Lintas Damai oleh kapal asing.
Aktivitas IUU Fishing oleh kapal asing pada perairan-perairan tersebut adalah
pelanggaran Kedaulatan Indonesia sebagaimana latihan perang, aktivitas yang
menyebabkan polusi, melaksanakan riset, propaganda dan spionase dan
aktivitas-aktivitas sejenisnya.
Hal ini sedikit berbeda
apabila kita membahas ZEE. Penegakan hukum oleh negara pantai atas ZEE diatur
dalam pasal 73 UNCLOS 1982. Ayat 1 dalam pasal 73 tersebut menyebutkan bahwa
negara pantai bisa untuk mengambil tindakan-tindakan dalam melindungi
hak-haknya di ZEE seperti menghentikan, memeriksa, dan menangkap kapal asing
yang terbukti melakukan IUU Fishing. Ayat 2 menyebutkan bahwa kapal dan
ABK-nya harus segera dilepas setelah memberikan jaminan yang cukup. Pada ayat
3 menjelaskan bahwa hukuman bagi pelanggaran UU Perikanan di ZEE tidak
termasuk hukuman penjara. Ayat 4-nya menjelaskan bahwa dalam hal penangkapan
kapal asing di ZEE, negara pantai harus dengan cepat memberitahu negara asal
(flag state) sesuai jalur termasuk dalam hal hukuman yang diberikan.
Pasal 73 UNCLOS ini tidak
secara detail membahas tentang boleh atau tidaknya menenggelamkan kapal
pelaku IUU Fishing. Akan tetapi apabila kita lihat keseluruhan ayat 1 sampai
4, sangat jelas adanya hak negara bendera (Flag State) untuk mendapatkan
pemberitahuan (notification) atas perlakuan terhadap kapal-kapal ikannya yang
diperiksa, ditangkap, dan diproses hukum oleh negara pantai (Indonesia) di
ZEE Indonesia.
Dari beberapa berita dan
tayangan yang penulis lihat, beberapa kali Menteri KKP (Susi Pudjiastuti) mengatakan
bahwa pihaknya sudah sering berdialog dengan Duta Besar negara-negara yang
selama ini menjadi asal kapal pelaku IUU Fishing. Hal ini membuktikan bahwa
tindakan penenggelaman kapal asing pelaku IUU Fishing ini sudah
dikoordinasikan dengan negara bendera (Flag State).
Kesimpulan
UNCLOS 1982 tidak
memberikan ketentuan-ketentuan yang detail tentang boleh atau tidaknya
penenggelaman kapal asing pelaku IUU Fishing. Akan tetapi, UNCLOS 1982
memberikan pengaturan akan hak-hak atas perairan sesuai rezim perairan. Hak
untuk melindungi Kedaulatan atas Perairan Pedalaman, Perairan Kepulauan dan
Laut Teritorial yang dijamin UNCLOS 1982 menjadi payung hukum atas
tindakan-tindakan tegas hukum nasional negara-negara pantai.
Untuk ZEE, UNCLOS memberi
guidance untuk memberi notifikasi negara asal kapal pelaku IUU Fishing atas
tindakan-tindakan hukum negara pantai (Indonesia). Menteri KKP dalam berbagai
kesempatan mengatakan bahwa pihaknya sudah sering berkomunikasi dengan duta
besar negara-negara asal kapal yang ditenggelamkan dan tidak ada protes dari
pihak mereka. Ada kemungkinan mereka menyadari kesalahan kapal-kapalnya atau
justru kapal tersebut bukan benar-benar berada di bawah administrasi negara
tersebut (stateless ships). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar