Misteri
Kebijakan Impor Beras
Tjipta Lesmana ; Mantan Anggota Pokja
Ketahanan Nasional Lemhannas RI
|
KORAN
SINDO, 16 Januari 2018
KOMODITAS strategis apa
pun di negeri kita rentan dipermainkan. Di era Orde Baru, pasokan semen
beberapa kali mendadak susut. Bahkan cenderung hilang di pasar. Maka, harga
pun cepat melambung melampaui harga eceran tertinggi (HET). Ketika publik
bertanya, jawaban pihak produsen seirama: karena ada kerusakan mesin di
pabrik semen tertentu, karena lonjakan kebutuhan sehubungan dengan kenaikan
proyek infrastruktur, karena distribusi yang terganggu, dan lainlain. Namun,
segera setelah pemerintah menaikkan HET, pasokan semen pun normal lagi.
Beras komoditas amat
strategis, bahkan politis. Maklum, perut orang kita umumnya ”perut nasi”.
Makan terasa belum sreg (kenyang) jika tanpa nasi. Maka, jika ada kekurangan
beras dalam jumlah besar di masyarakat, pemerintah waswas. Pemerintah bisa
jatuh kalau beras langka atau dijual dengan harga tinggi dalam tempo cukup
lama.
Nah, kultur ”perut nasi”
rupanya kerap dimanfaatkan pihak tertentu untuk memainkan harga beras demi
mengeruk keuntungan. Caranya sangat mudah: buatlah kelangkaan beras di pasar.
Hukum supply and demand pun akan berbicara. Pasokan yang kurang akan
mendongkrak harga. Masyarakat –terutama kelas bawah– serta-merta akan
berteriak. Tugas Bulog segera menstabilkan harga beras.
Tapi, pengalaman 15 tahun
terakhir, pemerintah cenderung ”cengeng”. Begitu timbul kekurangan pasokan,
jalan pintasnya impor beras. Malah, tidak lama setelah kebijakan impor
diumumkan, beras impor sudah masuk ke pelabuhan pelabuhan utama. Itu berarti
sebe- lum impor beras diumumkan, pihak tertentu sebetulnya sudah deal dengan
pihak eksporter untuk segera membanjiri pasar beras dalam negeri dengan beras
impor.
Modus operandi spekulatif
itu berhasil dihentikan total oleh pemerintahan Jokowi-JK. Selama dua tahun
terakhir, Jokowi-JK sesungguhnya telah berhasil menghentikan impor beras
secara total. Kecuali ”beras khusus” yang diimpor dalam kuantitas kecil.
Sekitar enam bulan lalu, Jokowi bahkan dengan bangga mengumumkan Indonesia
sebentar lagi swasembada beras. Mengembalikan kejayaan Orde Baru yang membuat
Soeharto memperoleh penghargaan dari FAO. Bahkan, ketika diterpa El Nino dan
La Nina dahsyat di pengujung 2016 hingga awal 2017, Indonesia bisa survive
tanpa impor beras, merontokkan prediksi pengamat perberasan.
Hingga Oktober 2017
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman masih berkoar bahwa swasembada beras
bukan omong kosong jika semua pemangku kepentingan bekerja keras dan bekerja
sama untuk mewujudkannya. Pernyataan itu dikeluarkan setelah musim panas yang
cukup panjang tahun lalu, yang menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak.
Lalu mengapa Menteri
Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita tiba-tiba mengumumkan kebijakan
impor beras 500 ribu ton? Apa alasan Enggartiasto? ”Saya tidak ingin petani
dan masyarakat kecil terbebani. Dengan harga tinggi, mereka mengurangi
konsumsi beras harian. Impor untuk menjaga kepentingan konsumen,” kilah
Enggar, sapaan Enggartiasto. Yang diimpor, masih kata Enggar, adalah beras
khusus dengan butiran pecahan maksimal 5 persen dan tidak diproduksi di dalam
negeri.
Jelas, hukum permintaan
dan penawaranlah yang dipakai Enggar untuk impor beras. Harga beras
akhir-akhir ini bergerak cukup tajam, maka pemerintah tidak bisa tinggal
diam. Tapi, mengapa jawabannya impor beras? Apakah Mendag tidak tahu bahwa
saat ini Bulog memiliki cadangan beras sekitar 900.000 ton yang cukup untuk
konsumsi minimal tiga bulan? Bukankah bulan depan, Februari, kita akan
memasuki panen raya dengan perkiraan hasil 2–3 juta ton beras? Dan di daerah
tertentu terjadi surplus stok beras. Saya baca pernyataan Gubernur Sulsel
Syahrul Yasin Limpo bahwa provinsinya (salah satu lumbung padi Indonesia)
siap membantu daerah lain yang kekurangan beras.
Yang juga aneh, beras yang
diimpor itu baru akan berdatangan sekitar 1,5 bulan lagi, padahal bulan depan
diprediksi sudah memasuki panen raya. Mengapa Mendag tidak menunggu sebentar
dan menggunakan stok beras Bulog untuk menekan harga?
Kenaikan harga beras
belakangan juga patut diragukan rasionalitasnya. Dari catatan saya, pada 3–5
Januari 2018 harga beras IR-64 grade III di Pasar Induk Cipinang masih di
kisaran Rp 7.900–8.000/kg, tidak beda jauh dengan harga Oktober–Desember
2017. Tapi, pada 6–8 Januari 2018 harga tiba-tiba naik hingga Rp 8.400 dan
terakhir (11 Januari) melonjak lagi jadi Rp 8.900 per kg.
Adakah pihak-pihak
tertentu yang memainkan harga beras untuk kemudian menjustifikasi Mendag
untuk impor beras? Lalu bagaimana sikap Kementerian Pertanian? Mengapa Amran
tidak buka suara? Dia tetap tutup mulut, mungkin, karena tidak mau dituding
”gaduh” jika terjadi silat lidah dengan Mendag di ruang publik.
Terakhir, saya ingin
mengutip pernyataan Ombudsman RI yang patut direnungkan. Pertama, pihak yang
paling berwenang mengimpor beras sebenarnya Bulog sesuai pasal 3 ayat (2)
huruf d Perpres 48/2016. Lalu mengap aM e n da g sempat memberikan wewenang impor
itu kepada PT PPI yang bekerja sama dengan jaringan pedagang beras? Kedua,
jika terjadi kelangkaan beras, solusinya bukan impor. Bulog punya kewajiban
untuk segera memeratakan stok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar