Jumat, 19 Januari 2018

Bangsa Bukan Dadu Politik Pilkada

Bangsa Bukan Dadu Politik Pilkada
J Kristiadi  ;  Peneliti Senior CSIS
                                                      KOMPAS, 18 Januari 2018



                                                           
Dalam perspektif membangsa dan menegara, melalui serangkaian pilkada serentak, bangsa Indonesia sedang mendefinisikan diri sebagai bangsa bermartabat. Namun, untuk mewujudkan cita-cita mulia itu, jalan terjal harus ditempuh. Kompetisi politik seharusnya disertai spirit sportivitas tinggi. Namun, Pilkada 2018 dibayang-bayangi Pilkada DKI 2017 yang kumuh akibat demagogi dan retorika politik serta sarat nuansa permusuhan dengan mempertajam politik identitas.

Namun, beberapa kalangan justru secara terbuka menyatakan agar skema pemenangan Pilkada DKI di-copy paste (dijiplak) dalam Pilkada 2018, terutama di wilayah yang jumlah pemilihnya signifikan. Boleh jadi, jika skenario berhasil, sketsa itu mungkin sekali dipraktikkan dalam pilkada serentak dan Pilpres 2019.

Praktik politik yang dapat memecah belah bangsa menjadi keprihatinan serta kekhawatiran publik dan tokoh-tokoh masyarakat, terutama ulama. Tidak bosan-bosannya para pemuka masyarakat mengajak seluruh komponen bangsa agar Pilkada 2018 tidak gaduh dan tidak menggunakan sentimen primordial sebagai sarana memperoleh kemenangan.

Dalam dimensi menegara, pilkada serentak juga akan menegaskan masa depan sosok tata kelola kekuasaan yang demokratis. Permasalahan paling akut adalah epidemi politik uang yang tingkat penularannya sangat cepat. Namun, patologi politik itu pasti dapat diobati karena cukup banyak kader dan tokoh partai politik yang tidak hanya prihatin, tetapi juga cemas kena giliran menjadi pesakitan penegak hukum, khususnya KPK.

Kasus musibah ”kesalahpahaman” antara La Nyalla Mahmud Mattalitti dan Prabowo Subianto tentang mahar politik harus dijadikan berkah. Momentum ini dapat dikapitalisasi untuk melakukan penyempurnaan penyelenggaraan pilkada. Pertama, parpol mendapat dana dari negara disertai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan sanksi yang jelas dan rinci. Opsi lain, dana sektor swasta dan publik dengan persyaratan yang sama ditambah lagi dengan kejelasan sumber dana.

Kedua, desain pilkada sebaiknya asimetrik. Dimulai dengan memetakan wilayah dengan menentukan variabel-variabel tertentu sehingga dapat menghasilkan minimal tiga kategori sistem pemilihan: (1) dipilih langsung, (2) dipilih oleh DPRD, dan (3) ditunjuk Presiden, misalnya gubernur ibu kota dan daerah lain berdasarkan pertimbangan strategis dan efektivitas pemerintahan nasional. Dengan pengaturan itu, diharapkan parpol lebih tenang sehingga kader yang berkompetisi tidak dibebani untuk menyiapkan dana yang jumlahnya fantastis.

Ketiga, parpol dapat lebih fokus melakukan pendidikan sehingga menghasilkan generasi muda berkarakter. Tanpa kader berwatak, parpol adalah kerumunan manusia yang hanya dikendalikan emosi dan nafsu membabi-buta dalam memburu kemenangan. Melalui serangkaian agenda ini parpol dapat mereformasi diri secara bertahap.

Terakhir, agenda besar lebih lanjut adalah penataan dan pengelolaan pemerintah daerah yang asimetrik. Negara Indonesia yang sangat luas dan beragam, baik dari segi sumber daya alam, sumber daya manusia, kemampuan daya saing, serta kepentingan spesifik masyarakat lokal, tidak memungkinkan pemerintahan daerah diseragamkan.

Semua agenda itu sangat urgen, mengingat pembiaran kompetisi politik dengan mempergunakan jurus kalap politik identitas dan politik uang, karena pertaruhannya adalah eksistensi bangsa dan negara. Bangsa menjadi dadu politik bagi peternak kekuasaan untuk berjudi membangun imperium kekuasaan. Bangsa bukan kubus kecil yang seenaknya dijadikan permainan pemuas nafsu serakah.

Agar agenda tersebut benar-benar dapat diwujudkan, jangan hanya diserahkan kepada elite yang hampir dapat dipastikan punya kelemahan untuk bersedia mengurangi tingkat kenyamanannya. Sangat diperlukan keterlibatan masyarakat sipil.

Pilkada yang bebas dari politik identitas, nirpolitik uang, dan bebas dari kegaduhan adalah harapan semua pemangku kepentingan. Pilkada DKI 2017 adalah pengalaman pahit, tetapi sangat berharga. Masyarakat semakin matang, yang dapat dicermati dari respons publik yang relatif te- nang terhadap Pemprov DKI yang menerbitkan kebijakan yang dianggap ”melawan arus” dari kebijakan sebelumnya, seperti soal becak, penataan Pasar Tanah Abang, sepeda motor masuk jalan protokol, ruas jalan untuk pedagang kaki lima, mengusut kembali kasus RS Sumber Waras, dan mencabut izin hak guna usaha reklamasi.

Masyarakat semakin arif, tidak mudah terpancing gerak-gerik politik yang mungkin hanya ingin merawat trending topic untuk kepentingan Pilpres 2019. Publik dapat belajar dari pemimpin yang amanah, tetapi juga mampu menimba pelajaran dari penguasa yang lengah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar