Geopolitik
Energi dan Krisis Kemanusiaan Myanmar
Febry Arifmawan ; Alumnus Pascasarjana Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 28 Desember 2017
Memasuki 2018 krisis
kemanusiaan Rohingya masih jauh dari kata selesai. Mata dunia internasional
sedikit teralihkan oleh isu besar lain yang muncul di ujung 2017, misalnya
pengakuan Amerika Serikat bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Sedikitnya 600.000 etnis
Rohingnya masih belum jelas nasibnya sejak akhir Agustus 2017. Banyak negara
di dunia sudah mengecam Myanmar. Dalam kunjungan ke Myanmar pada 15 November
2017 Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, menegaskan
terjadinya pembersihan etnis (ethnic cleansing) Rohingya di wilayah Rakhine,
seraya mengancam pejabat militer yang bertanggung jawab terhadap kekejaman
itu.
Pada 5 Desember 2017
sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB juga mengutuk pelanggaran HAM berat di
Myanmar, khususnya terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Hanya tiga
negara yang menentang resolusi tersebut, salah satunya China.
Posisi China sebagai
pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB dinilai bisa menghambat penyelesaian
krisis kemanusiaan di Myanmar. Realitas ini tak bisa dilepaskan dari berbagai
kepentingan China di Myanmar.
Teori geopolitik bisa
menjelaskan motivasi hubungan antara Myanmar dan China. Secara teoretis,
geopolitik adalah hubungan politik antarnegara yang dibentuk oleh posisi
geografis (Collin S Gray, 1988). Dalam perspektif geopolitik ini, Myanmar
berada di tengahtengah dua raksasa Asia, yaitu China dan India.
Cadangan gas Myanmar dan
posisinya yang strategis merupakan faktor penting bagi kepentingan China
dalam hal ketahanan energi dan kerja sama regional. Seperti kita ketahui,
ketergantungan China pada cadangan minyak domestik dan pasar minyak dalam
negerinya sudah tidak mencukupi.
Guy CK Leung (2011)
memaparkan kecenderungan turunnya produksi minyak domestik China. Produksi
minyak China mengalami perlambatan, dari 138,3 Mt pada 1990 menjadi hanya
198,8 Mt pada tahun 2009. Padahal, konsumsi minyak China melesat cepat dari
114 Mt pada tahun 1990 menjadi 408,3 Mt pada tahun 2009 atau mengalami
kenaikan ratarata 7,0% per tahun.
China kemudian menerapkan
strategi jangka panjang investasi energi di sektor sumber daya alam dan
infrastruktur yang berhubungan dengan energi di berbagai negara, termasuk
Myanmar. Pendapatan yang menguntungkan dari sumber daya alam inilah yang
memungkinkan junta militer Myanmar bertahan, meski Amerika Serikat telah
menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik sejak 1980.
Selain itu, Myanmar secara
geopolitik sangat penting bagi China karena berhubungan dengan akses ke
Samudra Hindia dan Laut Andaman. Meskipun Mynmar bukan pemasok energi utama
untuk China, perusahaan migas nasional China menunjukkan peningkatan minat
dan aktivitas dalam hal pengembangan sumber daya energi di Myanmar.
China National Petroleum
Corporation (CNPC), China Petroleum Chemical Corporation (Sinopec), dan China
National Offshore Oil Corporation (CNOOC) memulai proyek eksplorasi minyak di
Myanmar ketika China Power Investment Corporation (CPI) berinvestasi di
pembangkit listrik tenaga air.
Proyek pipa merupakan
proyek yang paling strategis pengaruhnya di kawasan. Negara bagian dan
provinsi di Myanmar yang dilewati rute proyek pipa minyak dan gas alam
meliputi Rakhine, Ayeyarwady, Bago, Magway, Mandalay, dan Shan.
Proyek ini juga ditujukan
untuk memperkuat kerja sama ekonomi Myanmar dan China serta memperluas
pengaruh China di Asia Tenggara (Zhao Hong, 2015). Kepentingan bisnis China
juga kerap bertautan langsung dengan kepentingan junta militer Myanmar.
Contohnya proyek bendungan
PLTA Myitsone merupakan joint venture antara China Power Investment
Corporation (CPC) dan Asia World, sebuah perusahaan yang berafiliasi dengan
junta militer Myanmar. Proyek dihentikan sejak 30 September 2011, setelah
ditekan oleh protes massal warga lokal.
Selain itu, Wanbao Mining
(anak perusahaan China North Industries Corp, BUMN produsen senjata China)
menjalin joint venture dengan Union of Myanmar Economic Holdings Ltd. yang
berafiliasi dengan junta militer Myanmar menggarap pertambangan tembaga
Letpadaung sejak 2011.
Kesaling tergantungan
antara China dan negara-negara kecil di Asia tidak selalu menghadirkan
stabilitas. Investasi China di Asia Tenggara memang mengantar hubungan yang
lebih dekat antara China dan negara tempatnya menanamkan modal.
Meski demikian, hal ini
mengingatkan pada “kolonialisme baru” dan merkantilisme sehingga menghasilkan
friksi baru di negara-negara lain, termasuk Myanmar (Michael Yahuda, 2003).
Merkantilisme menganggap bahwa ekonomi dunia adalah arena persaingan
antarnegara.
Karena itu, tujuan
masing-masing negara harus memaksimalkan kekayaan dan kemandiriannya.
Munculnya China sebagai pemain besar di pasar energi global menuntut Amerika
Serikat dan negara-negara barat mengakomodasi China demi mencegah konflik
yang lebih luas akibat energi.
Salah satunya dengan
menarik China sebagai anggota Badan Energi Internasional (IEA). Peluang
membelokkan kebijakan energi China yang unilateral menjadi multilateral pun
menjadi terbuka (Zhao Hong, 2015).
Unilateral merujuk pada
doktrin yang mendukung tindakan sepihak, sementara multilateral merupakan
doktrin yang meyakini keterlibatan semua pihak akan menguntungkan semua pihak
pula. Kuatnya hasrat merkantilisme China terhadap sumber daya alam mencirikan
doktrin unilateral dan terbukti memperumit penyelesaian konflik seperti di
Myanmar.
Dalam skala lebih luas,
kepentingan geopolitik energi China ke Afrika dan negara Asia Tenggara lain,
termasuk Indonesia, bisa menghadirkan kompleksitas yang harus diantisipasi
dengan baik. Sementara itu, melihat krisis kemanusiaan yang tak berkesudahan
di Myanmar, sudah seharusnya Dewan Keamanan PBB bertindak tegas.
Beberapa kegagalan Dewan
Keamanan PBB di masa lalu dalam mencegah pembersihan etnik di Rwanda dan
Srebrenica, harus menjadi refleksi bersama. Dewan Keamanan PBB juga gagal
mengambil resolusi yang tegas dalam kasus Kosovo pada tahun 1999 akibat veto
oleh Rusia.
NATO akhirnya menempuh
operasi militer sendiri untuk menghentikan pembersihan etnik di Kosovo.
Pelajaran yang bisa dipetik dari Kosovo, keterlibatan dunia internasional
terbukti bisa menghentikan pembersihan etnik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar