Memperluas
Cakupan Kejahatan Seksual
Seto Mulyadi ; Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia;
Dosen Fakultas
Psikologi Universitas Gunadarma
|
KORAN
SINDO, 28 Desember 2017
Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mempunyai Nawacita. Tercantum pada
rincian poin keempat Nawacita, perlindungan anak merupakan salah satu agenda
prioritas pemerintahan Jokowi-JK.
Dari Istana Jokowi
menyebut kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia segendang-sepenarian. Lembaga tersebut
mencanangkan Indonesia darurat kejahatan seksual terhadap anak. Status
menggelegar yang seolah ingin mengatakan bahwa Indonesia telah gagal
melindungi anak-anak, sekaligus menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
tidak aman bagi anak-anak.
Nawacita, penetapan
kejahatan luar biasa, dan pengumuman situasi darurat, semuanya serta-merta
membangkitkan bayangan tentang anak-anak yang nelangsa. Anak dianiaya secara
seksual, jadi korban kesadisan, baik oleh orang asing maupun orang yang
dikenal baik, dizalimi hingga luka parah, dicabut nyawanya, distigma kotor,
dan rentetan kepedihan lain.
Pertanyaannya, mengapa
kejahatan seksual terasosiasi hanya dengan cedera dan darah? Ada satu
ketidaksenonohan seksual terhadap anak yang bisa dibilang terpinggirkan.
Perlakuan keji secara seksual yang memang tidak mengakibatkan cucuran darah,
apalagi lepasnya nyawa dari raga, namun tidak kalah kadar keburukannya.
Hal dimaksud yaitu
penyesatan orientasi seksual anak. Manusia, yang fitrahnya adalah pencinta
lawan jenis kelamin, justru sejak dini telah dikondisikan untuk menerima
bahkan menghidupkan orientasi seksual menyimpang. Kodrat heteroseksual
dirusak sedemikian rupa, termasuk dengan cara-cara lunak, agar manusia sejak
kanak-kanak mengembangkan kecenderungan homoseksual.
Lembaga Perlindungan Anak
Indonesia memiliki sejumlah pengalaman disertakan Polri untuk menyoroti serta
menangani masalah serius yang satu ini. Kebejatan itulah yang tidak membuat
anak kesakitan akibat luka badan, namun sejatinya merusak anak secara psikis
dan seksual.
Kekejian itulah yang
seyogianya juga terbayangkan, bahkan seharusnya kita sepakati bersama sebagai
salah satu bentuk kejahatan seksual terhadap anak. Kaum lesbian, gay,
biseksual, transgender (LGBT) mengampanyekan orientasi seksual menyimpang
mereka secara masif, terorganisasi, penuh strategi. Kejahatan sedemikian rupa
tidak bisa diredam dengan pendekatan hit and run. Butuh napas panjang untuk
bertarung melawan kampanye LGBT.
Sayangnya, betapa pun kita
sudah satu suara bahwa kampanye orientasi seksual menyimpang adalah
marabahaya, silakan tengok masing-masing: seberapa sering mimbar di rumah-
rumah ibadah mengingatkan umat beragama tentang kengerian itu? Seberapa
gencar forum-forum kepengasuhan mengingatkan para ayah dan ibu akan kerusakan
itu? Seberapa berani masyarakat dan otoritas penegakan hukum bekerja terpadu
mencegah maupun menghentikan kegiatan-kegiatan yang memuat kampanye LGBT?
Padahal, sebagai sebuah gerakan berskala lintas negara, kelompok- kelompok
LGBT di Tanah Air juga akan menyasar anak-anak Indonesia sebagai incaran dalam
rangka perluasan jumlah komunitas mereka.
Inti kampanye mereka
adalah menyimpangkan persepsi khalayak luas bahwa sejak usia sangat belia pun
anak-anak sudah bisa memiliki kecenderungan ketertarikan seksual terhadap
sesama jenis kelamin. Dan, karena anak-anak adalah manusia yang bersih dari
dosa, maka bertumbuh kembangnya kecenderungan sedari dini tersebut akan
dikatakan sebagai kondisi yang normal belaka.
Atas dasar itu, mari
sekali lagi kita dudukkan perilaku manusia dalam bingkai pemahaman yang
jernih. Psikologi berteori, perilaku adalah hasil interaksi antara faktor
bawaan (disposisi, genetik) dan faktor lingkungan( termasuk belajar sosial).
Selanjutnya, fondasi berpikir itu dipakai untuk mence rmat i fenomena kaum
homoseksual, sekaligus menimbang- nimbang apa yang sepatutnya dikenakan
terhadap mereka.
Temuan mutakhir yang
dilakukan oleh Michael Bailey (2013) menemukan adanya jejak genetik yang
dimiliki para lelaki homoseksual, yaitu sebuah bagian dari kromosom yang
diberi kode Xq28. Bailey juga menyimpulkan bahwa pengaruh faktor disposisi
(genetika) itu terhadap pembentukan orientasi homoseksual adalah maksimal
40%.
Mengacu pada hasil riset
tersebut, berarti masih ada sedikitnya 60% lagi, yaitu faktor stimulasi
lingkungan, yang juga memengaruhi, bahkan lebih dominan terhadap pembentukan
orientasi seksual menyimpang tersebut. Temuan Bailey mematahkan seluruh klaim
bahwa menjadi homoseksual adalah sesuatu yang terkodratkan (given).
Dalih bahwa Tuhan yang
mengukir garis tangan seseorang untuk berketertarikan seksual terhadap sesama
jenis kelamin, dengan demikian sah dianggap sebagai sampah. Sampah karena itu
sama saja dengan mengambinghitamkan Tuhan sebagai biang keladi kebejatan
manusia.
Menjadi orang dengan
orientasi seksual yang salah, antara lain homoseksual, ternyata lebih
ditentukan oleh proses belajar sosial. Dengan demikian, siapa pun yang ingin
melakukan proses belajar ulang pasti dapat menjadi heteroseksual.
Mengapa pasti? Tak lain
karena menjadi heteroseksual adalah satu-satunya kodrat ketertarikan yang
Tuhan tanam ke dalam hati insan, dan kodrat itu niscaya adalah kebaikan.
Alhasil, tidak ada alasan untuk bertahan pada orientasi homoseksual.
Dengan demikian, isunya
sekarang adalah pada kepercayaan diri masyarakat Indonesia yang berketuhanan
Yang Maha Esa untuk menentang homoseksual. Termasuk kepercayaan diri untuk
memidanakan mereka secara berjenjang.
Pertama, jika orang
homoseksual diam sehingga kita tidak mengetahui abnormalitas mereka, maka apa
boleh buat.
Kedua, apabila mereka
angkat suara dan ingin dibantu menjadi heteroseksual, negara akan mendukung
sebagaimana bantuan diberikan bagi para penyalah guna narkoba yang
menyerahkan diri.
Namun ketiga manakala
mereka bersuara dan mengampanyekan LGBT sebagai sesuatu yang normal, mereka
harus dilawan dengan cara-cara sesuai hukum. Di luar ranah hukum, Himpunan
Psikologi Indonesia harus tampil lebih percaya diri, menegakkan kepala,
membidangkan bahu.
Kenapa begitu? Karena, tak
lain, organisasi itulah yang berada pada posisi sangat strategis menangkal
penyebaran paradigma-paradigma yang menormalkan LGBT dari kelas-kelas
psikologi ke ruang publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar