Pengembangan
Ketenagalistrikan di Indonesia
Iwa Garniwa ; Kepala Studi Energi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2017
TENAGA listrik merupakan
komoditas penting dan strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,
meningkatkan peradaban dan kesejahteraan serta mendorong pertumbuhan ekonomi
dan sosial masyarakat. Selain itu tenaga listrik merupakan komoditas mahal
karena proses penyediaan tenaga listrik merupakan kegiatan yang padat modal,
padat teknologi, padat usaha, dan memiliki risiko usaha yang tinggi sehingga
memerlukan jaminan pengembalian atas investasi yang dikeluarkan.
Kebijakan energi nasional
harus menjangkau horison waktu yang panjang mencakup beberapa dekade dengan
mempertimbangkan berbagai sumber energi disamping itu pengelolaan energi yang
meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara
berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. Oleh karena itu
diperlukan Ketahanan pasokan energi (security of supply) yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah.
UU No 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan mengamanatkan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam penyediaan tenaga listrik. UU juga memberikan kewenangan kepada
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam memberikan persetujuan atas harga
tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. UU juga menyatakan bahwa
tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara berbeda di setiap
daerah dalam suatu wilayah usaha. Kebijakan Pemerintah terhadap tarif adalah
tarif tenaga listrik secara bertahap dan terencana akan diarahkan untuk
mencapai nilai keekonomian sehingga tarif tenaga listrik dapat menutup biaya
pokok penyediaan yang telah dikeluarkan.
Situasi
Energi China
Pada tahun 2015 Cina
adalah penghasil listrik terbesar di dunia (24% dari produksi global),
produsen energi terbarukan non-hidrolik terbesar kedua (17% dari produksi
global) dan produsen batubara terbesar (3,5 miliar ton batubara per tahun
atau 47 % produksi global). Sekitar
45% produksi batubara China dikonsumsi di sektor listriknya dan 65% dari
seluruh listriknya berasal dari batubara. Sektor listrik berbasis batubara
China sendiri menghasilkan setidaknya 7% emisi setara karbon dioksida global,
dan sekitar sepertiga dari emisi domestik China.
Hal ini menunjukkan
kenaikan keunggulan global relatif baru negeri ini dan telah terjadi sangat
pesat dalam dekade terakhir. Angka-angka ini memberi latar belakang bagi
kepentingan internasional yang signifikan di pasar tenaga listrik China
dengan reformasinya. Konsumsi energi primer China mencapai 4,26 miliar ton
setara batubara (ton), naik 2,1% dibanding tahun 2013, dan menyumbang 23
persen konsumsi energi global. Energi primer tumbuh hanya 29 persen secepat
laju pertumbuhan PDB.
Pengembangan
Ketenagalistrikan di Indonesia
China menyumbang 27,5
persen emisi CO2 terkait energi global. Emisi CO2 per kapita China adalah 6,6
ton / orang, 49 persen di atas rata-rata dunia namun 59 persen di bawah
Amerika Serikat. China menyumbang lebih dari separuh total konsumsi batubara
dunia. Sebaliknya, konsumsi minyak China 12 persen dari permintaan dunia dan
gas alam adalah 5,5 persen. Sejak tahun 2000, konsumsi gas alam China tumbuh
pada tingkat 15,3 persen per tahun. Kawasan barat China terus menjadi sumber
dominan peningkatan produksi minyak dan gas alam. China menambahkan 113
gigawatts (GW) kapasitas pembangkit pembangkit tenaga baru, yang 48 persen
berbasis bahan bakar fosil.
Kapasitas tenaga angin
naik 20 GW dan kapasitas fotovoltaik surya (PV) sebesar 9 GW. Pembangkit
Listrik Tenaga angin menyumbang 22 persen dari total global, dan PV adalah 16
persen dari total global. Impor gas alam mencapai 60 miliar meter kubik (m3),
naik 13 persen, termasuk kenaikan 15 persen gas pipa dari Asia Tengah, dan
peningkatan 10 persen impor gas cair. Impor minyak mentah naik 9,5 persen
menjadi 6,7 juta barel/hari, dan impor batu bara turun 15 persen menjadi 156
juta ton.
Permasalahan
Energi di Indonesia
Permasalah energi di
Indonesia pada awalnya adalah adanya ancaman pasokan energi (security of energy supply) yang
diakibatkan tata kelola energi yang masih tidak sinkron. Kebutuhan listrik
nasional yang diperkirakan tumbuh sekitar 8 – 9 % per tahun mengakibatkan
perlu percepatan dalam pembangunan pembangkit dan penyalurannya. Mengacu pada
pertumbuhan tersebut, berarti bahwa
setiap tahun palin tidak harus ada tambahan sekitar 5.700 MW kapasitas pembangkit
baru. Inilah yang harus disiapkan, apabila tidak terpenuhi melalui PLN dan
IPP (pengembang listrik swasta), maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik di Indonesia cenderung terus meningkat
sesuai dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta makin berkembangnya
industri.
Namun demikian,
pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik tersebut tidak dapat sepenuhnya dipenuhi
PT. PLN karena keterbatasan kemampuan, sehingga masih ada beberapa sistem
kelistrikan di luar Jawa-Bali yang mengalami kekurangan pasokan daya. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, PLN telah membanguna pembangkit tenaga listrik
selain dari pembangkit listrik milik PLN sendiri juga menyewa pembangkit
diesel dan melakukan pembelian listrik swasta.
Hal ini menjadi langkah
besar bagi Pemerintah dalam penyediaan listrik karena dibutuhkan dana yang
begitu besar dalam investasi infrastruktur ketenagalistrikan, mulai dari
pembangunan pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga
jaringan distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen dengan
mutu dan keandalan yang baik. Langkah berikutnya adalah bahwa kenyataan rasio
elektrifikasi yang mencapai sekitar
93,08%, artinya masih ada sekitar 6 juta konsumen masyarakat yang belum memiliki akses
terhadap listrik sehingga tidak dapat menikmati listrik. Hal besar lainnya
adalah kebutuhan subsidi listrik yang terus meningkat jumlahnya seiring
dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan
pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi.
Pemerintah sebagai
Regulator melalui PLN sebagai Operator mencoba memperbaiki situasi
ketenagalistrikan di Indonesia. Prestasi PLN dalam perbaikan situasi adalah
dengan memperbaiki Kondisi Kelistrikan Sistem yang mana di Tahun 2015 lalu,
11 dari 22 sistem masih mengalami defisit, pada tahun 2017 sudah tidak ada
defisit cadangan yang berkisar 5 sampai dengan 53% bahkan ada yang lebih dari 100%. Hal ini
menunjukkan surplus energy yang dapat merupakan kabar baik namun dapat juga merupakan
hal yang harus diwaspadai, mengingat pembangkit listrik program 35.000 MW
ditambah regular, masih sedikit yang masuk kedalam system baru sekitar 7.600
MW.
Tidak terbayangkan
seandainya program 35.000 MW selesai pembangunannya sesuai rencana yaitu pada
tahun 2019 tanpa diiringi dengan pertumbuhan konsumen listrik yang berarti
maka akan terjadi kelebihan daya dan energy listrik yang akan menjadi beban
keuangan PLN. Prestasi lainnya adalah dengan meningkatnya “Getting
electricity” dari tahun 101 pada tahun 2004 hingga peringkat 38 pada tahun
2017 ini.
Disamping itu peningkatan
kosumsi per kapita naik namun belum sebesar yang diharapkan masih dikisaran
994 kWh/kapita masih lebih rendah dibandingkan dengan Negara Asian kecuali
Philipines, Kamboja dan Myanmar, bahkan jauh dibawah dibandingkan dengan
konsumsi perkapita china yang diatas 4500 kwh/kapita. Sedangkan untuk Tarif
listrik untuk rumah tangga masih lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia,
Vietnam dan Thailand namun lebih rendah dibandingkan dengan Singapore dan
Philipines. Tetapi dibandingkan dengan tarif di china masih lebih tinggi
bahkan dengan Amerika sekalipun.
Kondisi diatas merupakan
tantangan bagi Pemerintah dan tentunya PLN sebagai operator untuk
meningkatkan prestasi dan menghadapi tantangan ke depan menghasilkan listrik
yang andal, mutu baik serta harga terjangkau (murah). Perlu dipahami bersama
adalah bahwa ada fungsi yang berbeda antara kebijakan dan pelaksanaan,
kebijakan diatur oleh Regulator sedangkan pelaksanaan dilakukan oleh PLN
jangan sampai terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaannya.
Terdapat lebih dari 400
kota dan kabupaten yang mempunyai daya beli sangat berbeda satu sama lain
namun harus dilayani oleh PLN sebagai operator yang mempunyai misi social
serta benefit. Oleh karena itu program pemerintah harus melihat kekuatan yang
ada pada PLN dalam melaksanakan program program pemerintah, harus dipikirkan
skema organisasi PLN dan pentarifan serta pembangunannya.
Kebijakan tarif bukan
merupakan domain PLN tapi jelas kebijakan pemerintah yang harus mengacu pada
Biaya Pokok Produksi dan kemampuan beli masyarakat setempat. Kebijakan energi
Nasional, harus melihat baik pembangunan jenis energi, maupun kebijakan tarif
yang masih seragam di seluruh wilayah Indonesia, padahal jenis energi dan
kemampuan ekonomi yang dipunyai oleh masing-masing wilayah berbeda. Akibatnya
azas keadilan dan pemerataan tidak terlihat dalam pengelolaan energi saat
ini.
Permasalahan energi
nasional jangka pendek dan menengah
adalah kebergantungan pada energi fosil yang masih besar, mengacu pada BP
Statistik ketersediaannya adalah Minyak Bumi tinggal 12,1 tahun atau sebesar
0,2% cadangan terbukti dunia, Gas bumi tinggal 41,2 tahun atau 1,6% cadangan
terbukti dunia, sedangkan Batubara 3% dari cadangan terbukti dunia.
Sementara tantangan dalam
melistriki Indonesia adalah :
•Lokasi cadangan sumber
daya energi primer sebagian besar terletak jauh dari pusat beban yang
terkonsentrasi di pulau Jawa-Madura-Bali sehingga perlu pembangunan sarana
transportasi energi primernya maupun pembangunan transmisi tenaga listrik.
•Kondisi geografis
Indonesia, yang terdiri dari pulau-pulau besar maupun kecil dengan luas
sekitar 1,92 juta km2, dimana sebagian besar ditangani oleh sistem
kelistrikan kecil yang terpisah, sehingga tidak efisien.
•Kondisi demografis dimana
sekitar 39,7 persen penduduk Indonesia tinggal tersebar di luar pulau
Jawa-Madura-Bali dengan kepadatan penduduk yang rendah. Kondisi ini merupakan
tantangan bagi sarana dan prasarana penyediaan tenaga listrik yang ekonomis
dan efisien.
•Rendahnya daya
beli/kemampuan ekonomi masyarakat.
•Tarif listrik belum
mencerminkan nilai keekonomiannya, sehingga masih diperlukan subsidi dari
Pemerintah yang cukup besar. Anggaran yang seharusnya dapat digunakan kepada
pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat tidak mampu, akhirnya
tersedot oleh beban subsidi listrik.
•Pemanfaatan energi baru
terbarukan belum optimal oleh karena harganya belum dapat bersaing dengan
jenis energi fosil.
•Pemanfaatan energi masih
perlu peningkatan efisiensi
Belajar
Dari Negeri China
China saat ini menjadi
salah satu raksasa ekonomi dunia yang dapat mengancam Negara Negara maju dan
keberhasilannya bukan datang begitu
saja tetapi melalui reformasi disemua bidang, termasuk ketenagalistrikannya.
Telah dilakukan langkah reformasi ketangalistrikan sejak tahun 1985 untuk
mencapai tenaga listrik yang cukup, andal dan harga terjangkau.
Reformasi kekuatan pasar
tenaga listrik dengan emisi rendah berhasil diterapkan oleh China untuk
menyongsong ketenagalistrikan dunia, dilakukan Restrukturisasi dan perubahan
kepemilikan pasar, namun tetap dominasinya berada di Pemerintah, kendali
harga listrik masih ada di Pemerintah dengan melalui mekanisme kesetaraan.
Reformasi melalui beberapa tahap yaitu Tahap 1 tahun 1985, Promosi
penggalangan dana setelah adanya
kekurangan tenaga listrik, dengan program Promosi Pendanaan dan
investasi yang menarik investor; Provinsi diberdayakan dalam pengelolaan
tenaga listrik; dan manjalankan tarif baru. tahun 1995, meringankan
kekurangan listrik dengan berbagai program.
Tahun 1997 mendirikan
State Power Corporation. Tahap 2 melakukan Pemisahan fungsi pemerintah dari
kegiatan usaha, dengan program : tahun 2002 memisahkan usaha pembangkitan
dari grid; 2003; Mendirikan state electricity dan Komisi Pengatur tenaga
listrik. 2009 Kesepakatan reformasi perdagangan langsung, Selanjutnya Tahap
3: Reformasi menyeluruh melalui uji coba tingkat tinggi T & D di Shenzen
tahun 2014 dan 2015 menjalankan reformasi Sektor sector. Reformasi
ketenagalistrikan ini dijalankan dengan penuh konsisten dan terarh dengan
tujuan mendapatkan tenaga listrik yang baik dengan mutu, andal dan harga
murah.
China telah memulai proses
reformasi ketenagalistrikan yang berkepanjangan sejak tahun 1985, dan
dilakukan dengan konsisten. Sampai tahun 1984 tidak ada keterlibatan swasta
dalam pembangkitan listrik, namun setelah tahun 1985 dan sama dengan
negara-negara berkembang lainnya yang menghadapi kekurangan tenaga listrik,
diijinkanlah China beberapa investor publik dan investor swasta masuk ke sektor
pembangkit tenaga listrik untuk membantu meringankan kekurangan pasokan
listrik.
Reformasi terakhir yang paling signifikan
adalah reorganisasi sektor listrik pada tahun 2002. Yaitu pemisahan
pembangkit dan transmisi listrik dan merupakan perubahan struktural yang
paling signifikan bagi industri di era modern, dengan mendirikan dua
perusahaan grid yaitu State Grid Company of China dan China Southern Grid
(mencakup empat provinsi di selatan).
Disamping itu dirikan pula
Sebuah badan pengawas untuk listrik dengan harapan bahwa China memulai jalur
model reformasi internasional standar dengan penciptaan pasar tenaga yang
kompetitif dan tarif jaringan yang diatur. Namun, proses ini terhenti sekitar
tahun 2007. Maka dilakukan langkah baru dengan menjalankan Tarif listrik
Pembangkit yang diatur dan semua pelanggan membeli listrik dari monopoli
transmisi dan distribusi lokal (daerah) mereka. Dengan demikian, pemilikan
transmisi, distribusi dan ritel terus menjadi 100% terintegrasi secara
vertical.
China sekarang sudah
menjalani transisi energi terbarukan rendah karbon dengan kekuatan sendiri,
dengan pertumbuhan energi terbarukan dan nuklir yang luar biasa dan
pergerakan yang signifikan menuju pasar karbon nasional. Hal ini menimbulkan
tantangan baru bagi proses reformasi bagaimana mengintegrasikan energi
terbarukan ke dalam pasar energi yang ada yaitu ; bagaimana memfasilitasi
tingkat akses jaringan yang sesuai untuk energi terbarukan; mekanisme yang
tepat untuk membiayai energi terbarukan; dan apakah ada implikasi mekanisme
remunerasi untuk pembangkit listrik bahan bakar fosil dengan adanya sejumlah
besar energi terbarukan.
Empat hal penting china
dalam pengurangan harga listriknya yaitu dengan : mengenalkan pengaturan pengiriman listrik dari
pembangkit listrik secara ekonomis; rasionalisasi transmisi dan distribusi
listrik; pengurangan tingkat investasi yang tinggi; dan menyeimbangkan
kembali biaya listrik terhadap pelanggan perumahan, karena pelanggan rumah
harga listriknya masih lebih murah dibandingkan industry.
Perlu dicatat bahwa sektor
energi lain di China, seperti perusahaan minyak dan gas milik negara, juga
diliberalisasi selama tahun 1990an. Para reformator sentral China terhadap
industri minyak dan gas mengakui kebutuhan untuk beralih dari pendekatan desentralisasi
ke tata kelola industri sejak tahun 1993.
Namun, proses reformasi
harus menunggu sampai kelompok kepentingan domestik utama dilemahkan oleh
makroekonomi. disekuilibriem dan guncangan harga global pada paruh kedua
tahun 1990an. Dengan demikian, reformasi sektor listrik China, serupa dengan
pengalaman reformasi global lainnya, memerlukan waktu lama, dan mengandalkan
pembelajaran lintas sektoral nasional.
Reformasi sebelumnya dari
harga energi, pajak dan subsidi sumber daya juga telah membuka jalan bagi
putaran reformasi pasar listrik ini, yang telah membuat kemajuan besar dalam
memberikan peran yang lebih signifikan bagi pasar dalam mengalokasikan sumber
daya di China sejak tahun 1984.
Selain itu, gelombang baru
reformasi komprehensif diluncurkan oleh pimpinan China pada bulan November
2013, dan sektor ketenagalistrikan berada di bawah kendali pemerintah karena
peran pentingnya membantu transisi China ke ekonomi rendah karbon dan dalam
mengatasi polusi udara lokal.
Harga yang diatur yang
diterima oleh pembangkit listrik individu telah menjadi lebih baik dari waktu
ke waktu dalam menyesuaikan harga bahan bakar grosir (terutama harga
batubara). Namun, penyaluran tidak dilakukan dengan biaya paling rendah tapi
atas dasar kesetaraan. Putaran terakhir reformasi pasar tenaga listrik
dimulai pada bulan Maret 2015, dipromosikan oleh penerbitan Komite Pusat BPK
dan Peraturan Negara No.9 pada bulan Maret. Dokumen ini memberikan dorongan
baru untuk membangun pasar tenaga listrik grosir dan ritel yang kompetitif
terutama bagi pelanggan listrik industri. Hal ini didukung oleh sejumlah
proyek percontohan pasar yang sedang berjalan. Oleh karena itu pasar tenaga
listrik lebih banyak dikonsumsi oleh industry dibandingkan dengan komersial,
bahkan rumah tangga. Betapa china mencoba mendorong penggunaan energy untuk
sebesar besarnya bersifat produktif.
Kebutuhan daya listrik di
China didominasi oleh Industri sebesar 3770 TWh(71%), sedangkan rumah tangga
13%, komersial 4%, transportasi 7%, pertanian, peternakan 2%, konstruksi 1%
sisanya untuk kebutuhan lain2. Berbeda dengan di Indonesia Rumah tangga
sebesar 43% lebih besar penggunaanya dibandingkan dengan industry 31,6%,
komersial 18,2% dan Umum 6,5%. Artinya listrik di Indonesia masih lebih
digunakan untuk pemakaian yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan yang
bersifat produktif.
Hal ini harus menjadi
perhatian pemerintah Indonesia untuk belajar dari negeri China menjadikan
komposisi penggunaan energy listrik kearah yang bersifat produktif. Kebijakan
kebijakan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi harus segera dilaksanakan,
pembanguna industry kecil sampai yang besar harus mempunya arah yang jelas
dan terarah melalui reformasi ekonomi Indonesia. Bahkan mengacu kepada data
jumlah pelanggan listrik di Indonesia dimana jumlah kenaikan jumlah industry
hanya naik tidak lebih dari 5%, sedangkan kenaikan konsumen rumah tangga
dikisaran 5,7%. Akibatnya trend ini memperlihatkan tidak ada perubahan yang
signifikan penggunaan energy yang bersifat produktif.
Kapasitas pembangkit di
China terdiri dari Batubara sebesar 900,09 GW (60,4%), Air 21,44%, Angin
8,77%, Gas 4,43%, Solar Cell 2,83%,Nuklir 1,82%, minyak 0,29% dan lainnya
sebesar 0,01%. Sedangkan Konsumsi energinya adalah 3897,7 TWh (69,88%), Air
19,95%, Angin 3,33%, Gas 2,99%, Solar cell 0,71%, Nuklir 3,07%,minyak
0,08%, bandingkan dengan Indonesia
komposisinya sama didominasi batubara sebesar 57,45%, Gas 23,8%, Air 7,45%,
Minyak 6,1%, panas bumi dan EBT 5,2%.
Penggunaan batubara sama
didominasi oleh batubara dengan presentasi China lebih besar yang artinya
bahwa China mencoba mengeksploitasi energy listrik murah sebesar2nya, namun
untuk Minyak Indonesia masih berkontribusi cukup besar dibandingkan dengan
China, hal ini memang sulit dihindari karena geografis Indonesia yang berupa
ribuan pulau berbeda dibandingkan dengan China yang akses transmisinya bisa
mencapai keseluruh wilayah daratan china melalui jaringanTransmisi AC 500 kV
dan DC 800 kV.
Potensi batubara untuk
mendapatkan harga listrik murah dieksploitasi tanpa melupakan rendah karbon
dengan dibangunnya pembangkit supercritical, dan dibangun dengan kekuatan
sendiri bahkan sudah merambah ke Indonesia pembangkit Listrik Tenaga Uap
berbahan batubara dengan rendah karbon di Sumatera Selatan dan saat ini sedang
dibangun pembangkit listrik Tenaga uap supercritical rendah carbon Jawa 7 di
Banten. Potensi air yang demikian besar terutama sungai Yang Tze
dieksploitasi dengan besarnya yaitu dibangunnya pembangkit Tenaga air dengan
kapasitas 22.500 MW serta system yang canggih dan cerdas memanfaatkan aliran
sungai tanpa mengganggu system transportasi Sungai tersebut.
Bayangkan bahwa kapasitas
sebesar ini bisa memasok listrik ¾ lebih kebutuhan daya di Jawa saja. surplus
energi digunakan untuk kegiatan yang lebih produktif dengan harga lebih murah
dibandingkan di Indonesia.
China memiliki reformasi
sektor ketenagalistrikan yang sangat signifikan, namun kepemilikan negara
tetap merasuk di seluruh rantai pasokan listrik. Telah masuknya perusahaan
swasta yang besar dan bersaing ke segmen pembangkit listrik. Namun sebagian
besar entri ini diarahkan pada perusahaan investasi provinsi yang mengejar
tujuan nirlaba. Yang paling berperan adalah 7 perusahaan milik negara - lima
besar pembangkit, Grid Negara dan China Southern Grid – memiliki lebih dari
50% dari total pembangkit dan 100% transmisi, distribusi dan ritel.
Kepemilikan swasta masih terbatas cakupannya dan masih ada batasan pada
perusahaan swasta yang memasuki pasar umum pada khususnya.
Pembangkit listrik private
ini pada umumnya menerima pembayaran yang diatur sesuai kemampuan yang mereka
hasilkan. Harganya dinegosiasikan yang bervariasi di tingkat provinsi dan
disepakati oleh Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional setempat (NDRC)
berdasarkan biaya produksi lokal dan kondisi sosial ekonomi. Tujuannya adalah
untuk memungkinkan pabrik mengembalikan tingkat pengembalian yang masuk akal
mengingat biayanya dan jumlah jam yang mungkin dialokasikan.
Prioritas
Kebijakan China
Reformasi yang sukses di
China bukanlah tentang keberhasilan perusahaan listrik sebagai perusahaan
semata, tetapi dalam arti bahwa perusahaan listrik yang benar-benar efisien
mendukung keseluruhan ekonomi dengan mempersiapkan tenaga kerja agar lebih
produktif di tempat lain dan menjaga biaya listrik turun. Bagi China sebagai
pendorong utama reformasi saat ini adalah tingginya harga listrik bagi
pelanggan industri dibandingkan dengan AS.
Dan telah mengidentifikasi
empat penghematan utama dalam sektor listrik yang akan menurunkan harga bagi
pelanggan industry, yaitu reformasi pengiriman (yang dapat mengurangi
penggunaan batubara hingga 6% dan memungkinkan harga industri turun 1-2%);
meningkatkan efisiensi perusahaan grid (yang mungkin mengurangi harga industri
sebesar 2-3%); dan menyeimbangkan kembali biaya dari pelanggan industri ke
perumahan untuk lebih mencerminkan biaya sistem yang mendasarinya (yang dapat
mengurangi harga industri hingga 5%) dan mengurangi tingkat investasi yang
tinggi dalam pembangkitan / jaringan sebesar $ 10 miliar per tahun juga dapat
menurunkan harga pelanggan industri.
China melihat reformasi
pasar listrik dalam konteks apa yang dapat dilakukannya untuk sisa ekonomi
China dan menolak kepentingan pribadi di sektor yang akan berusaha membatasi
rasionalisasi. Bagian penting dari hal ini adalah kesempatan untuk secara
simultan merasionalisasi sektor produksi batubara (yang memiliki 4,3 juta
karyawan, sedikit lebih tinggi dari keseluruhan sektor listrik), dengan
mengurangi permintaan batubara dan meningkatkan produktivitas sektor
batubara.
Kebijakan
ketenagalistrikan dengan strategi pengadaan nasional untuk bahan bakar fosil
dan teknologi nuklir merupakan pendorong utama pengurangan biaya menuju
investasi baru di Eropa dan Amerika Serikat. Dorongan tambahan untuk
mengurangi ketergantungan China pada batu bara untuk produksi listrik dengan
penurunan rasio cadangan terhadap produksi batubara China dan langkah
startegis dengan mengimpor batubara diantarnya dari Indonesia.
Reformasi kekuatan pasar
yang komprehensif berdasarkan pada penciptaan pasar grosir dan eceran yang
kompetitif dan bisnis jaringan yang diatur secara terpisah didorong ke depan
di China (mengikuti publikasi pada bulan Maret 2015 dari Dokumen No.9).
Tujuan utamanya adalah untuk menurunkan harga bagi pelanggan industri, dan
mengurangi investasi berlebihan di pembangkit listrik tenaga batubara baru
yang kotor. Tingkat kemungkinan reformasi pasar tenaga listrik masih terkait
dengan pengurangan penggunaan batubara.
Jika tidak ada kesediaan
untuk merasionalisasi dan mengurangi penggunaan batubara di China pada
tingkat tambang individual maka reformasi kekuatan pasar akan membuat
kemajuan terbatas di lapangan. China telah menyerahkan banyak keputusan
investasi energi ke provinsi-provinsi, yang mana lebih menyukai tambang
batubara provinsi dan mendorong usaha untuk mendapatkan kemandirian energi di
antara provinsi-provinsi.
Hal ini karena produksi
batubara dan pembangkit batubara berkontribusi terhadap target PDB provinsi,
dan tambang batu bara dan batubara lokal berkontribusi terhadap pendapatan
pajak provinsi. Namun kondisi ini dapat meruntuhkan pasar regional / nasional
yang ada namun sejauh sangat bermanfaat bagi perekonomian nasional. Oleh
karena itu pemerintah pusat harus mengatur secara kuat perdagangan listrik
interprovinsi dan mendorong perkembangannya.
Analisis
Situasi Ketenagalistrikan di Indonesia
Indonesia dalam situasi
saat ini dimana mengalami surplus energy listrik sementara pertumbuhan
konsumsi energy tidak seiring dengan pembangunan pembangkit. Harga listrik
yang masih lebih tinggi dibandingkan dengan China dan Amerika sehingga
diperlukan langkah startegis pengurangan biaya tenaga listrik. Konfigurasi
tarif yang masih terlalu kompleks dan banyak sehingga perlu penyederhanaan.
Dengan tarif saat ini maka
hampir setiap tahun pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang besar dan
terus meningkat. Subsidi yang besar ini disebabkan tarif yang ada masih
dibawah biaya pokok penyediaan tenaga listrik, akibatnya anggaran pemerintah
untuk melaksanakan program-program pembangunan temasuk program
ketenagalistrikan nasional menjadi semakin terbatas.
Upaya mempercepat rasio
elektrifikasi tersebut akan menghadapi banyak hambatan. Beberapa hambatan
utama diantaranya adalah peraturan perundang-undangan, kebijakan sektor
termasuk didalamnya masalah kelembagaan dan tata kelola serta kelayakan
ekonomi dan finansial.
Peraturan
perundangan-undangan terkait ketenagalistrikan yang sekarang adalah UU no 30
tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, langkah-langkah strategis masih belum
berjalan dengan semestinya. Undang undang mewajibkan pemerintah untuk
menjalankan misi sosialnya melistriki seluruh wilayah. Pemerintah
melaksanakan kewajiban ini dengan menggunakan PT PLN sebagai entitas yang berperan
melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana ketenagalistrikan. Namun
kondisi kontradiktif terjadi mengingat sebagai badan usaha milik negara /
BUMN PT. PLN terikat oleh UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN yang mensyaratkan
bahwa setiap unit bisnis harus menciptakan keuntungan.
Isu
Strategis Batubara
Pembangkit listrik di
Indonesia masih besar menggunakan batubaru sebagai energi primernya,
sementara biaya listrik mencapai 60% dari total biaya pokok penyediaan tenaga
listrik, oleh karena itu utnuk menghasilkan harga listrik yang murah di
Indonesia penguasaan dan keberpihakan akan harga batu bara harus dilakukan
oleh pemerintah, PLN dapat menghasilkan biaya pokok produksi yang relatif
rendah sehingga tarif bisa lebih murah.
Namun ironisnya apabila
pemerintah tidak melakukan langkah2 startegis untuk menjamin kelangsungan
pasokan batubara, maka harga listrik akan meningkat dan dampakya terhadap
tarif dan tentunya daya beli yang akan berkurang. Indonesia memiliki cadangan
batubara mencapai 3%. Lebih rendah dibandingkan dengan China, Australia,
India, Rusia dan Amerika, namun Ironisnya menjadi eksportir terbesar didunia.
80% barubara Indonesia dieksport diantaranya ke China yang mempunyai cadangan
lebih besar kondisi ini sangat ironis, dimana tidak memperhatikan ketahanan
energi Nasional.
Produksi batubara sebesar
435 juta ton tahun ini nomer 6 didunia namun menjadi eksportir terbesar
didunia sebesar 350 juta ton sedangkan untuk listrik dalam negeri hanya 85
juta ton atau 20% nya. Hal ini sepertinya sesuatu yang membanggakan bagi
pendapatan Negara namun meruntuhkan ketersediaan cadangan energi yang
strategis saat ini. Harga tahunan batubara ditetapkan melalui Peraturan
Menteri ESDM yang berfluktuasi mengikuti harga pasar, akibatnya PLN harus
menyesuaikan setiap saat biaya pokok produksinya sesuai harga pasar tersebut.
Tahun 2017 ini karena
adanya kenaikan harga batubara dunia, maka penyediaan barubara mengalami
kenaikan yang diperkirakan sebesar Rp. 14 Triliun dibandingkan dengan asumsi
harga yang digunakan dalam penyusunan tarif tenaga listrik tahun 2017, akibtanya
PLN harus melakukan langkah langkah stratagis untu mengantisipasi kenaikan
ini agar tarif listrik tidak naik.
Kebijakan batubara di
Indonesia tidak memikirkan jangka panjang yang mana 95% kepemilikan tambang
batubaru adalah dikuasi oleh swasta dan asing, padahal di negara lain China,
India australia dikuasai oleh negara. Di China dan India Batubara digunakan
untuk kepentingan negara dalam memenuhi kebutuhan energinya. Oleh karena itu
pemerintah dalam rangka ketahanan energi perlu melakukan reformasi penguasaan
batubara demi ketahanan energi Nasional.
Selama ini listrik di
Indonesia lebih banyak dibangkitkan dengan menggunakan bahan bakar fosil
seperti menggunakan bahan bakar minyak, gas bumi dan batu bara. Masalah yang
dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah semakin menipisnya cadangan energi
fosil. Dengan semakin menipisnya cadangan energi fosil di Indonesia, maka
konsekuensi yang jelas dihadapi adalah kenaikan harga bahan bakar. Kenaikan
ini menjadikan ongkos produksi semakin tinggi dan harga listrik juga akan
semakin tinggi.
Menghadapl hal itu
diperlukan usaha pengembangan energi alternatif dalam jangka menengah dan
panjang untuk memenuhi kebutuhan energi listrik. Sumber energi alternatif
terbarukan antara lain: Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLT
Mikrohidro), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLT Surya), Pembangkit
Listrik'Tenaga Angin (PLT Angin), Pembangkit Listrik, Tenaga Biomassa (PLT
Biomassa), Pembangkit Listrik Tenaga Samudra(PLT Samudra) dan Pembangkit
Listrik Tenaga PanaS Bumi (PLT Panas Bumi). Sedangkan Energi Alternatif yang
tidak terbarukan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), Coal
Gasification, Fuel cell, dll.
Usaha untuk mengembangkan
sumber energi alternatif ini merupakan perwujudan strategi bidang energi yang
disebut diversifikasi energi. Diversifikasl sumber energi ini perlu dilakukan
secepatnya untuk Pembangkitan seperti energi Air, Geotermal dll. sehingga
efek dari penipisan cadangan energi fosil pada perekonomian tidak akan
menjadi terlalu mengejutkan. Hal ini perlu dilakukan karena energi merupakan
komponen yang tak tergantikan dalam sistem ekonomi. Sistem ekonomi perlu
waktu untuk beradaptasi dengan sumber energi yang baru.
Perumusan
Masalah
Pembangunan yang
berkelanjutan sudah tentu memerlukan dukungan dan jaminan pasokan energi
khususnya tenaga listrik yang berkesinambungan pula. Ketersediaan listrik
yang mencukupi, andal, aman, dan akrab lingkungan dengan harga terjangkau
merupakan syarat penting guna mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan
taraf hidup rakyat dan pemerataan pembangunan sosial.
Kondisi Indonesia saat ini
sebagian besar penduduknya hampir 70 persen masih tinggal di daerah pedesaan
sehingga memiliki karakteristik beban yang tersebar dan relatif kecil
sehingga belum layak jika dipasok dengan pembangkit skala besar. Kebijakan
sektor ketenagalistrikan juga belum dapat sepenuhnya mendorong percepatan
pembangunan ketenagalistrikan nasional. Sebagai contohnya adanya subsidi
terhadap energi konvensional (BBM) mempengaruhi pengembangan energi alternatif,
terutama bagi pemanfaatan pembangkit skala kecil dan tersebar untuk daerah
pedesaan.
Selain itu konsep dan
asumsi kelayakan ekonomi dan finansial harus ditinjau kembali guna
memperjelas kelayakan proyek pembangunan kelistrikan khususnya di daerah
pedesaan, terpencil, dan perbatasan. Dari sisi kelembagaan juga masih
memerlukan pembaharuan kebijakan mengingat institusi yang melaksanakan
pembangunan kelistrikan non komersial/sosial hanya PT. PLN sehingga belum ada
sama sekali suatu institusi alternatif yang berperan melistriki daerah-daerah
non-komersial. Oleh karena itu diperlukan kebijakan berlandaskan konsep
kesinambungan/sustainability, kelayakan finansial/financial viability serta
dampak dan pengaruh kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang positif.
Upaya dimaksud akan tepat
sasaran dan terarah apabila dapat diketahui gambaran yang utuh mengenai
kebijakan pembangunan ketenagalistrikan selama ini untuk mengkaji alternatif
pengembangannya. Hal ini penting artinya mengingat kebijakan ini merupakan kebijakan
publik yang langsung berkaitan dengan hajat hidup dan kesejahteraan rakyat
umumnya sekaligus memuat nilai-nilai politis guna menegakkan negara kesatuan
RI.
Rekomendasi
•Rasionalisasi nilai tarif
menuju harga keekonomian perlu dilakukan secara bertahap menuju tingkat
subsidi yang wajar dan memperhatikan perkembangan kemampuan bayar masyarakat
•Penyederhanaan struktur
tarif perlu dilakukan karena struktur yang berlaku saat ini rumit dan sulit
dikomunikasikan kepada konsumen
•Insentif perlu diberikan
bagi pengguna listrik untuk kegiatan yang bersifat produktif dan disinsentif
untuk kegiatan yang bersifat konsumtif khususnya untuk pelanggan yang
penggunaan listriknya untuk memenuhi kebutuhan tersier atau yang bersifat
luxury
•Dalam rangka mendorong
penghematan pemakaian listrik, bagi tarif pelanggan yang bersifat konsumtif
(pelanggan rumah tangga), perlu dibuat blok-blok tarif yang memiliki harga
tarif Rp/kWh yang berbeda (progresif)
•Tarif listrik regional
dapat segera diimplementasikan pada daerah tertentu mengingat beberapa daerah
yang berdasarkan kajian regionalisasi termasuk dalam kategori high
recommended dan recommended juga memiliki kemampuan membayar pelanggan
relatif lebih tinggi dari kemampuan bayar nasional.
•Mengacu kepada hasil
studi yang menunjukkan bahwa biaya bahan bakar merupakan komponen utama
sebagai penyusun BPP dan dominansi komponen biaya BBM yang meliputi HSD, MFO
dan IDO dalam komposisi energy mixed saat ini, maka untuk menekan besarnya
BPP, komposisi energy mixed perlu diubah dengan melakukan substitusi BBM pada
unit-unit pembangkit yang memungkinkan dioperasikan dengan dual fuel dengan
bahan bakar gas atau membangun pembangkit baru yang lebih rendah BPP-nya
serta meningkatkan pemanfaatan sumber terbarukan
•Dalam rangka meredam
resistansi konsumen terhadap perubahan kebijakan sektor ketenagalistrikan
khususnya yang berkaitan dengan kenaikan TDL, maka diperlukan sosialisasi
yang harus memperhatikan empat hal yaitu metode komunikasi, agency pelaksana
komunikasi, kelompok sasaran (targetted group), dan packaging dan pencitraan.
•Sosialisasi dan
komunikasi kebijakan tarif diperlukan dengan harapan tercapainya saling
pengertian, pemahaman bersama dan akhirnya diperoleh kesepakatan bersama atas
kebijakan tersebut
•Diperlukan pengembangan
energi listrik alternatif sebagai upaya dalam mendukung diversifikasi energi
sebagai masukan dalam penyusunan rencana strategis dan merealisasikan
kebijakan pemerintah di bidang diversifikasi energi pengganti energi fosil,
•Perlu pengembangan
informasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan bidang energi dan
sebagai arahan dalam menentukan program pemanfaatan energi alternatif di
Indonesia
•Perlu pemanfaatan yang
sebesar-besarnya dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada,
sehingga kesejahteraan dapat merata, dan untuk menjaga lingkungan hidup
dengan mememanfaatkan green energy.
•Diperlukan Inventarisasi
energi alternatif yang sudah dan sedang dilakukan, serta kebijakan dan
Peraturan Pemerintah tentang percepatan dan pemanfaatan energi alternatif
•Melakukan inventarisasi
mengenai karakteristik wilayah dari sisi geografis, lingkungan, sosial,
ekonomi dan budaya di wilayah-wilayah yang berpotensi listrik
•Membuat rencana aksi dan
peta lokasi pemanfaatan sumber energi listrik sebagai penjabaran dari program
dan strategi tersebut di atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar