Senin, 08 Januari 2018

Menyikapi Ide-ide Populisme

Menyikapi Ide-ide Populisme
Fathorrahman Ghufron ;  Wakil Katib Syuriyah PWNU; 
 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
                                                      KOMPAS, 05 Januari 2018



                                                           
Hiruk-pikuk politik identitas yang masif menyebar di berbagai ruang publik, baik di dalam jaringan maupun luar jaringan, tampaknya akan makin menguat di masa-masa mendatang. Tersebab, momen pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, dan pemilihan legislatif di berbagai jenjang yang menemukan konteks kontestasi dan representasinya.

Dalam kaitan ini, untuk memperkuat politik identitas sebagai sarana pendulang bancakan kepentingan, segala sesuatu yang dianggap lazim bisa menaikkan elektabilitas dalam kontestasi akan ditempuh dengan berbagai cara, termasuk ide-ide populisme yang saat ini sudah marak terjadi di sejumlah negara dan terbukti ampuh bisa mengantarkan pihak berkepentingan ke tampuk kekuasaan.

Dalam mengusung ide-ide populisme terdapat berbagai varian yang kerap kali dijadikan sebagai sumber perbendaharaan literal ataupun verbal untuk menaikkan sumbu sensitivitas yang bisa diterima atau sekadar diamini oleh sebagian khalayak. Dalam prosesnya, sang berkepentingan akan menggunakan modus berjenjang yang melibatkan beberapa pihak yang mengerti karakter sosial dan budaya masyarakat setempat yang bisa disusupi dan dipengaruhi oleh ide-ide populisme hasil kemasan hasrat kepentingannya.

Tipologi populisme

Apabila merujuk pada hasil kajian Margaret Canovan, Populism (1981), setidaknya ada tiga model populisme yang banyak digunakan oleh pihak-pihak tertentu yang sedang terlibat dalam ruang kontestasi dan representasi untuk menuju puncak hasrat kepentingannya. Pertama,  populisme masyarakat bawah atau wong cilik. Dalam pola ini, pihak yang berkepentingan akan menggunakan emosional grup lapisan masyarakat terbawah untuk mencapai tujuan politik.

Berbagai narasi psikologis, geografis, ekonomi, dan kultur yang melekat dalam keseharian wong cilik diglorifikasi sebagai bentuk perlawanan terhadap siapa pun yang vis a vis dengan pihak berkepentingan. Salah satu modus yang kerap dilakukan adalah meminjam cara hidup wong cilik, seperti petani, nelayan, buruh, dan sopir angkot, sebagai metode dan pendekatan untuk menarik simpati banyak pihak bahwa dirinya pantas direpresentasi sebagai pembela wong cilik.

Kedua, populisme otoriter. Dalam pola ini, pihak berkepentingan menggunakan modalitas dirinya baik dari sisi karisma, kekayaan, jaringan, maupun pengaruh sosial sebagai cara untuk menundukkan siapa pun yang mencoba menyejajarkan dirinya dalam hal meraih hasrat kekuasaan. Bahkan, untuk menegaskan pola otoritanismenya, tanpa segan ia mengggunakan simbol-simbol eufemis tentang ”keberhasilan” era sebelumnya dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan hidup bagi masyarakat. Keberhasilan masa lampau yang sebenarnya sarat dengan corak otorianisme diabsahkan sebagai retorika politik identitas guna meyakinkan banyak pihak.

Ketiga, pola populisme revolusioner.Seiring terbukanya kanal-kanal berekspresi dan demonstrasi serta bebasnya setiap pihak menyampaikan pendapat, maka pihak berkepentingan akan melahirkan berbagai ujaran dan gerakan yang mengarah pada perubahan secara total, sambil memperlawankan berbagai upayanya dengan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan dirinya. Berbagai sentimen sosial yang bisa mengakumulasi dan menyambungkan perasaan masing-masing orang dan kelompok tak segan digunakan sebagai cara yang bisa menaikkan sumbu revolusi. Bahkan, secara heroik slogan revolusi selalu digemakan untuk memprotes berbagai kebijakan yang tak sesuai dengan dirinya. Dengan bermodalkan jaringan ”pelaku rusuh jalanan”, tak henti-hentinya mereka menyuarakan revolusi.

Ketiga, corak tersebut merupakan sebuah varian pergerakan massa yang dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu untuk menuju hasrat kuasanya. Secara operasional, pada masing-masing tipe populisme terdapat mata rantai pelaku yang berfungsi sebagai pengerah kepentingan hingga sampai ke kantong massa pendukung, baik yang bersifat pragmatis maupun ideologis. Hasilnya, pada masing-masing tipe populisme menjadi ruang katalisasi massa yang mampu menunjukkan daya juangnya hingga memperoleh medan laga kuasa yang benar-benar mampu meraih tampuk kekuasaannya.

Bahkan, apabila dicermati secara mendalam, diam-diam populisme menjadi sandaran pergerakan massa yang dilakukan oleh siapa pun yang sedang bertaruh di medan laga kuasanya. Setidaknya, berbagai corak yang menunjukkan orientasi pergerakan massanya menjadi sarana untuk memperoleh dukungan dengan berbagai cara.

Arah baru populisme

Dari sekian corak populisme yang ditengarai Margaret Canovan tersebut, dalam kasus di Indonesia mengalami adukan populisme yang mematikan (deadly cocktail populism). Di bawah kendali figur tertentu yang menggunakan kelompok pengerah yang banyak dimainkan kelas menengah sebagai penyebar sentimen kultural dan sosial keagamaan, jalinan massa yang beririsan dari berbagai level saling menguatkan jaringan populisme.

Tulisan Wasisto Raharjo Jati, ”Dari Ummat Menuju Ummah: Melacak Akar Populisme Kelas Menengah Muslim Indonesia” (Jurnal Maarif), menjadi salah satu gambaran sosiologis perihal kelas menengah yang selama ini berperan signifikan dalam menggerakkan narasi populisme yang dihadirkan dalam bentuk pertarungan antara elite dengan publik. Untuk meruncingkan pertarungan tersebut, tak ayal slogan keagamaan menjadi penghubung ”ideologisasi plus politisasi” yang bisa dinaikkan dalam ritme emosional yang bisa memantik sensitivitas dan sentimen dalam gerak populismenya.

Hal ini bisa dicermati dalam dua tahun belakangan di mana beberapa kelompok pengerah di level menengah yang saling berjejaringan dengan penggiat pergerakan massa. Mereka saling memberikan dukungan untuk membuat peta dukungan baik atas nama wong cilik, otoriter, maupun revolusioner. Dalam kaitan ini, tiga tipologi populisme yang dikerangkai oleh Margaret Canovan saling mengaduk menjelma sebuah arah baru populisme yang kini mulai berkembang di Indonesia. Bahkan, secara sistematis, tiga pola populisme ini bersenyawa dengan cara pandang keagamaan yang rigit, literer, dan ekstrem untuk memperkuat daya jelajah pengaruhnya di berbagai level masyarakat.

Masifnya berbagai kelompok pengerah di level menengah yang secara intens dan berkala membuat gerakan pengerahan massa di berbagai kesempatan dan mengiriskan suara-suara aksinya dengan berbagai slogan itu jadi penanda bahwa populisme akan menjadi gaya baru dalam mengembangbiakkan pola kontestasi dan representasi dalam medan laga kuasa.

Adanya percampuran sensitivitas yang mematikan dalam arah baru populisme akan berwujud sebuah modalitas pandul sentimen yang tak lagi memperhatikan etika, keadaban, ataupun nilai-nilai keluhuran berpolitik lainnya. Masing-masig pihak yang terjerat oleh hasrat kuasa akan memanfaatkan arah baru populisme terebut sebagai cara dan pendekatan untuk meraih kemenangan. Setidaknya, keberhasilan Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam pemilihan gubernur Jakarta beberapa waktu lalu akan jadi proyek percontohan yang akan direplikasi atau dimodifikasi di berbagai tempat.    

Dampak dari pergerakan arah baru populisme ini tentu akan mencemari nilai-nilai idealitas sebuah suksesi yang sedianya harus mengedepankan visi-misi dan program yang dikedepankan oleh sang kontestan. Setiap pihak yang punya hasrat kuasa hanya akan mengedepankan berbagai jaringan arah baru populisme, baik di level partai politik yang mendesain mesin politiknya, level penggerak massa yang mengatasnamakan wong cilik, otoriter, dan revolusioner, maupun simpul penggerak lain yang bertali- temali untuk mengarahkan massa kepada arus pemilih yang diinginkan.

 Mencermati suasana pergerakan ide-ide populisme yang sudah semakin merusak tatanan keadaban berpolitik, maka kita sebagai masyarakat beradab harus sigap membendung setiap ide-ide populisme yang digerakkan para kompradornya agar wajah perpolitikan kita tak semakin dicemari oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semoga di tahun-tahun politik, baik 2018 maupun 2019, kita makin cerdas memfilter gerakan kamuflase populisme yang hanya dijadikan sebagai bancakan meraih kekuasaan di mana ujungnya hanya memuaskan kepentingan dirinya. Sementara rakyat kebanyakan selalu digadaikan dalam jebakan-jebakan populisme yang kini tak lagi malu-malu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar