Perzinaan
dalam Politik Pidana
M Fatahillah Akbar ; Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum UGM
Yogyakarta
|
JAWA
POS, 25 Desember 2017
LET’S
kill all the lawyers merupakan ungkapan Shakespeare untuk
menunjukkan bahwa ahli-ahli hukum malah merusak hukum itu sendiri. Dalam hal
ini, kurang lebih cocok dengan para ahli hukum dalam menerjemahkan Putusan MK
Nomor 46/ PUU-XIV/2016 mengenai uji materiil KUHP soal legalisasi kumpul kebo
dan LGBT.
Sebagaimana bisa kita
temukan dalam Putusan MK Nomor 132/PUUXIII/2015 yang menguji pasal prostitusi
di KUHP, dikatakan bahwa MK tidak dapat menjadi criminal policy maker –di mana yang dapat merumuskan kebijakan
pidana hanyalah DPR dan MK menjadi negative
legislature yang hanya dapat menghapus ketentuan, bukan menciptakan
ketentuan.
Pendapat tersebut bahkan
oleh MK disebut sebagai opinio jurist
sive necessitates atau pandangan umum yang diterima para yuris sebagai
hukum. Sehingga MK tidak dapat melakukan kriminalisasi tersebut. Kewenangan
MK tidak sampai untuk menciptakan sebuah tindak pidana baru. Walaupun jika
diperhatikan, tidak sedikit kasus di mana MK menjadi positive legislature, apalagi dalam UU Pidana. Contohnya adalah
Putusan MK Nomor 21/PUUXII/2015, di mana MK memperluas kewenangan
praperadilan. Dalam kasus tersebut, MK menjadi positive legislature. Seharusnya secara tegas MK menjadi negative legislature saja, terutama
untuk yang berkaitan dengan politik hukum pidana.
Selain itu, harus dilihat,
KUHP warisan Belanda yang telah disahkan sebagai KUHP sejak awal hanya
memidana perzinaan bagi yang memiliki ikatan perkawinan. Dengan begitu, itu
bukan kesalahan MK. Melainkan memang kebijakan pembentuk UU untuk tidak
memidana LGBT.
Sebagai argumentasi lebih
lanjut dalam melakukan kriminalisasi, pembentuk undang-undang harus
memperhatikan parameter kriminalisasi. Salah satunya, jangan sampai
menimbulkan over kriminalisasi (penggunaan pidana yang berlebihan).
Akan tetapi, apakah dalam
kondisi saat ini penegak hukum serta masyarakat siap menghadapi pemidanaan
atas perzinaan di mana kedua pelakunya tidak memiliki ikatan perkawinan
dengan pihak lain? Ketidaksiapan tersebut menjadikan pemidanaan hal itu harus
melalui jalur pembentuk UU, bukan MK.
Untuk masalah perzinaan,
kita dapat melihat seberapa jauh pembentuk undang-undang membahasnya dalam
RUU KUHP. RUU KUHP 2017 pasal 484 ayat 1 huruf e pada dasarnya telah
mengakomodasi permohonan pemohon untuk mengkriminalisasi perbuatan zina suka
sama suka.
Namun, panitia kerja DPR
masih memperdebatkan pasal tersebut. Tiga fraksi menginginkan pencabutan dan
tujuh fraksi setuju dengan pasal itu sebagaimana tercatat pada catatan
panitia kerja yang bertanggal 14 Desember 2016.
Seharusnya pengaturan
perzinaan dapat melihat sifat ketercelaan dari perzinaan yang pada dasarnya
jelas melanggar norma agama dan living law di masyarakat. Sebagaimana empat
hakim MK yang berbeda pendapat dalam putusan MK tentang perzinaan, menyatakan
overspel (perzinaan) seharusnya melingkupi bagi yang sudah memiliki ikatan
perkawinan (adultery) dan yang belum memiliki ikatan perkawinan (fornication)
sesuai dengan norma agama yang ada di Indonesia.
Selain itu, dalam politik
hukum pidana dikenal juga kebijakan non-penal –di mana pendekatannya
cenderung ke pendekatan sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar