Calon
Tunggal dan Defisit Demokrasi
Lili Romli ; Peneliti Pusat
Penelitian Politik LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2018
KEHADIRAN calon tunggal dalam pemilihan
kepala daerah secara langsung (pilkada) menimbulkan polemik sejak 2015.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon tunggal diperbolehkan dalam
kontestasi pilkada. Pada pilkada serentak 2015 yang digelar di 269 daerah,
ada tiga daerah yang memiliki satu pasangan calon. Jumlah itu kemudian
meningkat pada pilkada serentak 2017, dari 101 daerah yang melakukan
pemilihan, jumlah pasangan calon yang melawan kotak kosong menjadi sembilan
pasangan.
Pada pilkada serentak 2018 ini, jumlah
calon tunggal meningkat menjadi 12 daerah. Daerah yang paling banyak calon
tunggalnya ialah Banten, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, dan Kota
Tangerang, juga Provinsi Papua dengan dua daerah, yaitu Kabupaten Puncak dan
Kabupaten Jayawijaya. Sudah diduga, tak satu pun dari 12 calon tunggal itu
merupakan calon baru, semuanya petahana, baik dengan pasangannya yang lama
maupun dengan yang baru.
Payung hukum calon tunggal diatur dalam UU
No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Misalnya, pasangan calon tunggal
diperbolehkan apabila KPU telah melakukan perpanjangan pendaftaran tapi tetap
saja tidak ada calon lain yang mendaftar. Selanjutnya dalam Pasal 54C ayat
(1) UU No 10 Tahun 2016 dinyatakan bahwa calon tunggal juga diperbolehkan
apabila terdapat lebih dari satu calon yang mendaftar tapi dinyatakan tidak
memenuhi syarat yang mengakibatkan adanya calon tunggal.
Mekanisme penentuan kemenangan untuk calon
tunggal pun sudah diatur dalam UU No 10/2016, yakni calon tunggal dinyatakan
menang jika mendapatkan suara lebih dari 50% dari suara sah. Namun, apabila
kurang dari 50% dari suara yang sah, yang menang ialah kolom kosong.
Undang-undang mengatakan calon yang kalah bisa maju dalam pemilihan
berikutnya yang bisa digelar satu tahun kemudian.
Pragmatisme
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang bisa
diamati dari fenomena calon tunggal pada pilkada yang jumlahnya cenderung
meningkat itu. Pertama, keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak
yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Petahana
berkepentingan untuk menjaga status quo, tetap berkuasa, dengan cara menjegal
saingan lewat 'borong partai'. Sementara itu, partai-partai berkepentingan
untuk menang dan/atau mendompleng petahana.
Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi di
satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah.
Alih-alih sebagai bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon
pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan hal-hal yang
sifatnya pragmatis oleh para elitenya. Partai politik mestinya malu dengan
pilkada yang hanya menampilkan calon tunggal. Akan tetapi, rupanya rasa malu
itu dengan mudah bisa disingkirkan karena ada kepentingan pragmatis tadi.
Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak
terlepas dari beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur
partai politik maupun jalur perseorangan (independen). Ujung-ujungnya bagi
yang ingin maju menjadi calon kepala daerah, mereka harus mengeluarkan biaya
yang besar. Dengan kata lain, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang punya
dukungan dana besar. Hal inilah antara lain yang menyebabkan orang-orang yang
memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin kepala daerah
tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut.
Fairness
Dalam konteks agar pilkada calon tunggal
tetap kompetitif, semesetinya 'hak-hak' politik kolom kosong juga memiliki
hak yang sama atau kesempatan yang sama dengan calon definitif, seperti dalam
hal kampanye. Pasal 65 UU No 10/2016 mengatur tentang bentuk-bentuk kampanye,
seperti pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik
atau debat terbuka, pemasangan alat peraga, dan iklan di media massa dan
elektronik.
Sehubungan dengan itu, agar pilkada
berjalan fair, beberapa pertanyan muncul; apakah disediakan waktu dan tempat
kampanye bagi pendukung kolom kosong tersebut?, apakah disediakan lawan debat
bagi calon tunggal dari kelompok kota kosong?, atau, apakah yang
mengampanyekan untuk memilih kolom kosong akan dianggap antidemokrasi yang
menggembosi pilkada?
Beberapa pertanyaan logis itu akan muncul
ke permukaan, mengingat geliat demokrasi yang tumbuh di kalangan kaum
menengah terdidik. Karena dalam benak mereka, mengambil keputusan untuk
memilih kolom kosong merupakan hak demokrasi yang berbeda dengan golput (yang
tidak memilih sama sekali) sehingga harus ada sekelompok orang yang
menggerakkan (berkampanye) untuk memilih kolom kosong tersebut.
Terlepas dari itu, untuk negara kita
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang memiliki jumlah
partai relatif banyak, keberadaan calon tunggal pada pemilihan kepala daerah
tentu menjadi hal yang ironis. Demokrasi terasa hambar dan semu belaka karena
pemilihan tidak kompetitif sebab hampir bisa dipastikan calon tunggal bakal
keluar sebagai pemenang, tanpa 'jerih-payah' dan harus 'mengeluarkan
keringat' dalam kampanye mati-matian. Jikapun ada, boleh jadi itu hanya untuk
memenuhi persyaratan formalitas yang sudah dianggarkan KPU.
Meski demikian, lebih dari sekadar
demokrasi yang menjadi hambar dan semu, keberadaan calon tunggal merupakan sebuah
‘tamparan’ bagi parpol yang tidak mampu menghadirkan kadernya dalam
kontestasi seleksi kepemimpinan melalui pilkada. Regulasi dan anggaran pun
sepertinya menjadi 'sia-sia' karena partai tidak mampu menjalankan salah satu
fungsinya yang pokok ini. Akibatnya, besarnya biaya yang digunakan untuk
pilkada menjadi mubazir karena tidak adanya kompetisi. Demokrasi tercederai
dan legitimasi pilkada mejadi minus.
Hal lain yang harus menjadi perhitungan
semua pihak ialah dampak elektoral dari keberadaan calon tunggal itu sendiri.
Hampir dipastikan, partisipasi masyarakat menjadi berkurang. Mereka malas
datang ke tempat pemungutan suara karena petahana pasti menang. Ongkos
penyelenggaraan demokrasi yang tinggi itu pun terasa akan lebih mahal dan
cenderung mubazir karena minimnya partisipasi. Calon tunggal tidak hanya
membuat demokrasi terasa hambar, tetapi juga mengalami defisit.
Hal itu mengapa, karena tujuan dari pemilu
sebagai perwujudan demokrasi ialah sebagai bentuk pendidikan politik,
rekrutmen kepemimpinan politik, dan sirkulasi elite atau pemimpin. Dengan
hanya ada calon tunggal, maka terkait dengan sirkulasi elite atau pemimpin
politik melalui mekanisme pilkada menjadi gagal berjalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar