Pilgub
Jatim dan Politik Agama
Masduri ; Koordinator Poltracking
Indonesia Wilayah Jawa Timur;
Dosen Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 24 November 2017
KONSTELASI politik menjelang Pilgub Jawa
Timur 2018 semakin memanas. Setelah Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dan Abdullah
Azwar Anas (Azwar Anas) mendeklarasikan pencalonannya sebagai cagub-cawagub
beberapa waktu lalu, kini kepastian Khofifah Indar Parawansa (Khofifah) maju
dalam kontestasi pilgub Jawa Timur semakin benderang. Dia memberikan
kepastian cawagub yang bakal mendampinginya adalah Bupati Trenggalek Emil
Dardak (Emil).
Kepastian Khofifah menggandeng Emil tentu
dengan berbagai perhitungan matang. Setidaknya, kehadiran sosok muda Emil,
yang juga punya prestasi gemilang dalam memimpin Trenggalek, dapat menyaingi
Azwar Anas yang prestasinya di Banyuwangi sudah banyak diketahui publik.
Keempat tokoh yang bakal bertarung dalam
bursa pilgub, baik sebagai cagub-cawagub, sama-sama berasal dari organisasi
keagamaan besar di Jatim, bahkan Indonesia secara umum, yakni Nahdlatul Ulama
(NU). Secara struktural-formal, NU memang meneguhkan kembali ke khitah 1926
sebagai organisasi keagamaan, yang tidak terikat dengan parpol atau
dukung-mendukung terhadap calon dalam pemilu. Hanya, secara
kultural-nonformal, tokoh-tokoh NU di Jatim memiliki afiliasi terhadap sosok
tertentu, yang secara kultural berimplikasi pada pilihan rakyat di akar
rumput sebagai santri yang memiliki ketundukan dan ketaatan penuh pada kiai.
Artinya, melepaskan NU dari politik hanya sebatas kehendak formal organisasi.
Pada ranah praksis-nonformal, para pemimpin NU tak bisa lepas dari
dukung-mendukung karena sebagai pribadi mereka memiliki hak memilih calon
tertentu.
Ruang Agama
Dukung-mendukung calon tertentu merupakan
fakta politik yang tak bisa dihindarkan. Kehadiran sosok kiai atau pemimpin
NU dalam pusaran politik pada pilgub Jatim merupakan suatu keniscayaan. Tidak
mungkin Jawa Timur sebagai jantung utama NU di Indonesia bakal diserahkan
kepemimpinannya pada orang di luar ormasnya. Kebijakan pemerintah di Jatim
secara ideologis memiliki implikasi pada posisi NU sebagai ormas. Karena itu,
mengamankan kepemimpinan pada kader-kader NU merupakan keniscayaan yang tak
boleh dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Secara substansial politik itu
kepentingan ideologis. Memberikan kepemimpinan politik pada kader ideologis
merupakan cara terbaik mewujudkan perjuangan ideologis suatu ormas, termasuk
NU sebagai ormas terbesar Islam.
Hanya, yang penting diperhatikan adalah
penggunaan agama dalam ruang publik sebagai identitas yang dapat menyedot
perhatian pemilih. Ruang agama sangat rentan dipolitisasi untuk kepentingan
jangka pendek politik praktis. Apalagi keempat figur cagub-cawagub Jawa Timur
merupakan kader-kader NU. Penggunaan simbol-simbol kiai, santri, dan
pesantren merupakan sesuatu yang niscaya untuk menguatkan politik identitas
masing-masing figur. Oleh sebab itu, penggunaan ruang agama sebagai arena
politik hampir dipastikan tidak bisa dihindarkan. Fakta penyerahan 1.000
tanda tangan sebagai bentuk dukungan pada Khofifah oleh ketua Aliansi Santri,
Pengasuh Pondok Pesantren, dan Kiai (Aspek) kepada Presiden Jokowi beberapa
waktu lalu saat kunjungan ke Sumenep menunjukkan betapa penggunaan ruang
agama sebagai arena kontestasi politik memiliki pengaruh besar dalam menyedot
perhatian publik.
Agama merupakan ruang personal sekaligus
komunal. Pertalian antar penganut agama meniscayakan kecenderungan pilihan
yang sama. Betapapun pemilih kritis kerap kali banyak menolak penggunaan
simbol agama dalam politik, secara psikologis hampir dipastikan kecenderungan
memilih pemimpin yang seiman sulit dihindari. Setidaknya mereka bakal mencari
calon pemimpin terbaik yang memiliki dasar ideologi dan agama sama. Karena
itu, meski agama merupakan ruang personal, setelah masuk ke ranah politik,
agama menjadi ruang komunal yang bakal menggiring pada kecenderungan dan
pilihan calon tertentu.
Belum lagi, menurut Max Weber, elite politik
akan terus berusaha melakukan rasionalisasi terhadap tindakannya dengan
political formula, termasuk penggunaan ruang-ruang agama untuk mendapatkan
legitimasi dan dukungan publik. Pada titik ini, kecerdasan publik sebagai
konstituen yang bakal menentukan masa depannya sendiri lewat demokrasi
langsung, melalui pemilihan umum yang nanti bakal digelar, harus memiliki
pengetahuan dan kecerdasan tingkat tinggi untuk melawan political formula dan
politik identitas yang dimainkan oleh elite politik.
Dalam kontestasi politik, agama memang
menjadi ruang basah para elite mengeruk keuntungan dengan permainan politik
identitas. Tentu saja selain politik uang (money politics). Karena tidak
semua orang mau menggadaikan diri dan masa depannya demi uang politik. Namun,
banyak orang rela mati demi identitas agamanya. Pada konteks ini, ruang agama
bisa dimainkan oleh elite politik untuk menarik dukungan dari publik. Agama
yang menjanjikan narasi keselamatan eskatologis bisa membungkam nalar kritis
publik, belum lagi legitimasi kiai di Jatim begitu besar. Karena itu, publik
perlu wawas diri agar tidak terjebak dalam ruang-ruang politik yang mencemari
kesucian agama sebagai jalan keselamatan abadi, yang bisa menjadi pemicu
konflik besar akibat perbedaan figur dan pilihan politik pada Pilgub Jatim
2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar