Tanah
(Punya) Abang
Agus Hermawan ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
24 Desember
2017
“Tapi
yang lebih parah lagi, kan, pejalan kaki yang bikin macet itu. Pejalan kaki
terlalu banyak, jadi melebihi kapasitas. Jalan sudah sempit, orang seperti
laler.”
Kalimat itu terlontar dari
mulut Ahmad Fauzi, pedagang kaki lima (PKL), yang berjualan di trotoar Tanah
Abang, Jakarta Pusat. Komentar itu sempat menjadi video viral awal November
lalu. Saat itu dia ditanya seorang reporter televisi mengenai kemacetan di
Tanah Abang, karena banyaknya PKL di trotoar.
Jawaban ”lugu” yang
disampaikan Fauzi itu seperti mewakili rekan-rekannya yang lain. Kesannya,
tidak ada yang salah dengan langkah mereka berjualan di fasilitas pejalan
kaki.
Komentar dia pun seperti
bersambut saat Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno beberapa waktu
kemudian mengatakan, pejalan kaki yang keluar dari Stasiun Tanah Abang
merupakan penyebab kedua dari kesemrawutan Tanah Abang. Penyebab lainnya,
pembangunan jalan dan banyaknya angkutan kota (angkot) yang ngetem atau
parkir liar di pinggir jalan.
Padahal, beberapa waktu
lalu, kawasan ini sempat tertib. Dengan penegakan hukum, PKL bersedia pindah
antara lain ke Pasar Blok G. Para PKL dilarang keras berjualan di trotoar
yang sejatinya fasilitas pejalan kaki. Kawasan itu pun sempat rapi, trotoar
berfungsi seperti peruntukannya.
Namun, banyaknya
kepentingan mampu membelokkan keadaan. Para PKL mengaku telah membayar
sejumlah pungutan untuk tenang berjualan di tempat yang bukan semestinya itu.
Pungutan liar itu bukan saja dilakukan ”pengurus” yang mengaku sebagai warga
setempat. Monitoring Ombudsman RI di sejumlah lokasi menemukan, pungutan liar
juga dilakukan oknum satuan polisi pamong praja (satpol PP) maupun pihak
kelurahan dan kecamatan setempat.
Wakil Ketua DPRD DKI
Jakarta Abraham ”Lulung” Lunggana yang juga tokoh di Tanah Abang itu, meminta
jika masih ada pungli, para PKL dipersilakan melaporkan kepadanya.
Keberadaan PKL serta
kemacetan dan kesemrawutan yang diakibatkannya menjadi bagian tak terpisahkan
dari perjalanan pasar yang telah ada sejak tahun 1735 dan dikenal sebagai
Pasar Sabtu itu. Pasar yang awalnya dikenal sebagai pasar kambing itu, kini
berkembang menjadi pusat perdagangan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Para
pebisnis dari berbagai negara, biasa terlihat, termasuk dari Afrika.
Dengan potensi ekonomi
luar biasa, Tanah Abang bukan tidak mungkin bisa dikembangkan menjadi pusat
niaga kelas dunia.
Langkah Gubernur DKI Jakarta
Anies Baswedan menata Tanah Abang bagaimana pun mengundang kontroversi. Para
PKL suka hati karena bisa berjualan di tempat yang selama ini ”haram” buat
mereka. Gubernur Anies tentu telah berpikir masak-masak untuk
mengalihfungsikan jalan menjadi tempat berjualan mengingat fungsi jalan sudah
diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan. Juga, apakah penataan PKL di Tanah Abang itu akan menjadi pola serupa
di kawasan lain, seperti di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Tanah Abang bukan tanah
milik abang yang boleh diperlakukan seenaknya. Kawasan yang sangat potensial
itu harus ditata dan naik ke level yang lebih tinggi, untuk kepentingan semua
dan tidak sesaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar