Tahun
Politik, Anomali Selamanya
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
23 Desember
2017
Banyak orang bersiap-siap
menyambut tahun politik 2018-2019. Mengapa tahun politik? Karena, ada
perhelatan politik. Tahun 2018 ada pilkada serentak di 171 daerah: 39 kota,
115 kabupaten, dan 17 provinsi. Jadwalnya tanggal 27 Juni 2018. Andaikata
satu daerah ada dua pasangan calon (berarti empat orang), maka di 171 daerah
akan ada 684 kontestan di Pilkada 2018. Puncaknya tahun 2019 saat pemilu dan
pilpres digelar serentak pula. Kontestannya akan lebih banyak lagi, terutama
untuk pemilu. Dua tahun ke depan akan menjadi hari-hari gaduh yang panjang.
Namanya kontestasi, tentu
ada timnya. Pasti ada tim sukses. Pasti ada orang partai politik, karena
parpol masih menjadi kendaraan politik. Pasti ada konstituennya. Pasti ada
massanya. Pasti ada pasukannya di dunia maya. Juga ada buzzer-nya. Kalau
melihat konfigurasi seperti itu memang akan gaduh sekali. Kalau barometernya
”frekuensi kegaduhan”, tahun politik tak harus menunggu 2018-2019. Sekarang
ini kegaduhan politik tak kurang berisiknya.
Misalnya, Jawa Timur sudah
hangat. Khofifah Indar Parawansa rela melepaskan kursi Menteri Sosial. Kursi
Gubernur Jatim tampak- nya lebih bergengsi. Kali ini adalah kali ketiga
Khofifah bertarung di Pilkada Jatim. Sekarang ia berpasangan dengan calon
wakil gubernur Emil Dardak yang sekarang Bupati Trenggalek. Sejak era pilkada
langsung, menjadi ”raja/ratu” di kampung sendiri lebih terasa menggiurkan.
Tak heran banyak putra daerah yang memilih pulang kampung meski sudah menjadi
tokoh nasional di pusat kekuasaan.
Saifullah Yusuf (kini
wakil gubernur) yang berpasangan dengan Abdullah Azwar Anas (kini Bupati
Banyuwangi) mesti pasang ancang-ancang lebih kuat. Dua pilkada sebelumnya,
mereka bertarung juga meski Saifullah di posisi calon wakil gubernur.
Khofifah dan Saifullah sama-sama berasal dari rahim NU yang memang basisnya
di Jatim. Di Jawa Barat, Ridwan Kamil harap-harap cemas setelah Partai Golkar
menarik dukungan. Parpol lain yang mengusung Ridwan pasang harga, meminta
agar Ridwan memilih kader partai mereka. Ini bukan negosiasi yang mudah.
Tidak ada makan siang gratis, begitu yang sering kita dengar di belantara politik.
Letjen Edy Rahmayadi,
Panglima Kostrad saat ini, ngotot ingin pensiun dini demi merebut kursi
Gubernur Sumut. Edy kelihatannya tidak happy ketika Panglima TNI Marsekal
Hadi Tjahjanto menganulir permintaan pensiun dininya. Edy malah ingin
didoakan jadi gubernur ketimbang KSAD. Pilkada juga menghipnotis
jenderal-jenderal lain. Di polisi ada Komandan Brimob Polri Irjen Murad
Ismail di Pilkada Maluku, Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri
Irjen Anton Charliyan di Pilkada Jabar, Kapolda Kalimantan Timur Irjen
Safaruddin di Pilkada Kaltim.
Jadi tahun 2017 juga tahun
politik. Pemicunya Pilkada DKI Jakarta yang sampai dua putaran. Bukan cuma di
institusi resmi atau dunia maya, gerakan massa juga muncul besar-besaran.
Jalanan Jakarta benar-benar bergelora. Sebetulnya Pilkada DKI Jakarta adalah
episode lanjutan dari Pilpres 2014. Sejak itu panggung politik tidak pernah
senyap. Usai pilpres, politik tetap panas dan berisik. Gara-gara rivalitas
dua calon, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, para pendukungnya juga terbelah.
Sampai sekarang terus saja berperang, terlebih di jagat maya.
Sekarang tiap hari penuh
isu politik. Semua orang merasa berkepentingan, bukan cuma politikus.
Tiba-tiba banyak orang merasa paling paham mengurus negara. Jadi teringat
buku lama waktu kuliah dulu tentang konsep empat tipe partisipasi politik
Paige (dalam Surbakti, 1992). Pertama, apabila kesadaran politik dan
kepercayaan pada pemerintah tinggi, maka partisipasi cenderung aktif. Kedua,
apabila kesadaran politik dan kepercayaan pada pemerintah rendah, maka
partisipasi politik cenderung pasif. Ketiga, apabila kesadaran politik sangat
rendah tetapi kepercayaan pada pemerintah sangat tinggi, maka partisipasi
bisa pasif. Terakhir, ini yang lain, apabila kesadaran politik tinggi tapi
kepercayaan pada pemerintah sangat rendah, namanya militan radikal.
Nah, belakangan gerakan
politik yang mengandalkan kekuatan massa kerap bertemu kepentingan dengan
para politikus. Banyak politi- kus yang tak lagi fokus bekerja untuk rakyat.
Misalnya, karena terlalu sibuk mengurusi persoalan lain, politikus di DPR
lupa merampungkan tugas mereka, sebutlah menuntaskan legislasi. Banyak yang
larut dalam gemuruh gerakan politik yang menambah kegaduhan.
Politik pun tidak lagi
musiman. Sudah seperti anomali cuaca. Sekarang hujan turun tidak di ”musim”
saja. Karena musim hujan berlangsung sepanjang tahun. Dengan anomali politik,
setiap hari kita menyaksikan kegaduhan soal rivalitas dan persaingan
perebutan kursi kekuasaan. Sayangnya, banyak nada tak merdu. Karena, bukan
beradu watak baik dan kerja keras, melainkan berebut posisi tinggi dengan
merendahkan pihak lain. Ah, itulah anomali tahun politik. Semoga, mereka yang
bertarung di 2018 dan 2019 tidak seperti itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar