Program
Kesejahteraan Jokowi
Luky Djani ; Direktur Institute for Strategic Initiatives
|
KOMPAS,
22 Desember
2017
Setiap rezim pemerintahan
atau negara memiliki kebijakan dan program ekonomi sendiri. Di dunia dikenal
istilah seperti Thatchernomics, Clintonomics, Habibienomics, hingga sekarang
Jokowinomics.
Dari sisi kebijakan dan
program kesejahteraan yang ditempuh, muncul pula istilah-istilah seperti
milestonewelfare regime. Kita juga mengenal istilah Bismarckian, Beveridge,
atau Scandinavian/Nordicwelfare system.
Di Indonesia, kebijakan
dan program kesejahteraan, baik itu proteksi sosial, bantuan sosial, maupun
jaminan sosial, tiap rezim belum diberi ”judul”. Tulisan ini bermaksud mengusung
kebijakan sosial (social policies) rezim saat ini dan menamainya Jokowilfare,
gabungan dari Jokowi dan welfare.
Awal
jaminan sosial
Dirunut sejak kemerdekaan,
jaminan sosial dimulai tahun 1963 untuk para pamong praja (Aspinall 2014).
Pada awal Orde Baru, pemerintah menelurkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974
tentang Kesejahteraan Sosial dengan kerangka proteksi sosial. Departemen
Sosial ditugasi mengelola dan menyalurkan bantuan-bantuan sosial. Jaminan
ketenagakerjaan dan kesehatan kemudian secara bertahap berkembang pada era
1980-an.
Kebijakan kesejahteraan
(welfare policy) kembali jadi perhatian seiring krisis ekonomi tahun 1998.
Pemerintahan BJ Habibie meluncurkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
dengan skema bantuan tunai, penyaluran beras/sembako, bantuan untuk biaya
pendidikan serta kesehatan untuk membantu warga miskin dan ”nyaris miskin”
(near poor). Skema proteksi sosial kemudian dikembangkan di era Presiden
Megawati Soekarnoputri, seperti Jaring Pengaman Kesehatan bagi Keluarga Miskin
(JPK Gakin).
Amendemen UUD 1945 Pasal
28H Ayat 3 menegaskan negara menjamin kesejahteraan sosial bagi segenap warga
negara. ”Konstitusi baru” menjadi pijakan bagi pemerintahan Megawati untuk
membentuk Komite Kerja Sistem Kesejahteraan Sosial pada awal 2001 dengan
tugas merancang sistem jaminan sosial baru yang kemudian menjadi UU No
40/2004 Sistem Jaminan Sosial Nasional (Aspinall 2014, Wisnu 2012).
Rezim Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono melanjutkan program yang telah dimulai sejak krisis tahun
1998. Pada masa ini program kesejahteraan terbagi menjadi jaminan sosial
dengan program unggulan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan bantuan
sosial terkenal dengan nama Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Program BLT memberikan
uang tunai kepada keluarga miskin sebagai kompensasi pencabutan subsidi BBM.
Program BLT menjadi kontroversial karena pemberian uang oleh sebagian
kalangan dipandang sebagai upaya memengaruhi pilihan elektoral penerima
(Sumarto 2014). Di masa kepemimpinan SBY, UU No 24/2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya disahkan setelah terlambat
beberapa tahun.
Kesetaraan
sosial
Sejarah kelahiran welfare
regime di negara-negara Skandinavia maupun Korea Selatan berbeda dengan
Indonesia. Kebijakan kesejahteraan sosial mereka merupakan produk dari
pertentangan sekaligus kompromi antarkelompok strata sosial (Croissant 2004,
Esping-Anderson 1980, Moene 2017).
Kekhasan kebijakan
kesejahteraan di negara-negara tersebut terletak pada kerangka social
equality yang mengintegrasikan jaminan sosial dengan pembangunan inklusif.
Artinya program kesejahteraan bukan berupa bantuan/pemberian, baik tunai
maupun in-kind, semata, tetapi menyerap tenaga kerja dan mendorong
pertumbuhan sosial-ekonomi secara berkesinambungan.
Di negara-negara
Skandinavia, sistem kesejahteraan menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi
inklusif. Alhasil, negara mampu mengayomi warganya sejak lahir hingga akhir
hayat (cradle-to-grave welfare state). Bagaimana itu bisa terjadi?
Salah satu ikhtiar
negara-negara Skandinavia dan Korsel adalah menerapkan wage compression,
yakni kebijakan memperkecil perbedaan gaji antara pekerja paling rendah (blue
collar) dan pekerja level menengah-atas (white collar). Di Skandinavia,
serikat pekerja secara kolektif mematok pendapatan pekerja white collar agar
tidak terlalu timpang dengan upah minimum bagi pekerja kasar dan informal
(Moene 2017).
Upaya
kompetitif
Formulanya sederhana: jika
para pekerja menengah dan atas dibatasi pendapatannya, harga produk dan jasa
menjadi relatif lebih murah dibandingkan dengan pesaing dari luar negeri.
Akibatnya produk mereka kompetitif di pasaran global. Dengan keuntungan yang
dimiliki, perusahaan bisa melakukan investasi teknologi dan manajemen
sehingga proses produksi semakin produktif dan efisien.
Strategi wage compression
di Korsel berbeda. Pascaperang Korea, rezim berkuasa memberikan subsidi dan
akses pendidikan hingga pendidikan tinggi sehingga pada dasawarsa 1960-an dan
1970-an, Korsel memiliki surplus ”bala tentara” pekerja berkualitas. Dengan taraf
pendidikan yang relatif merata, perusahaan dapat merekrut pekerja dengan gaji
relatif sama dan tidak terlampau tinggi. Karena itu, industrialisasi di
Korsel berkembang pesat (Moene 2017).
Kebijakan wage compression
ini mampu menumbuhkan pembangunan inklusif karena industri berkembang
sehingga mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dan mengurangi sektor
informal. Dengan berkurangnya pengangguran dan sektor informal, otomatis
pemasukan negara bertambah dan injeksi dana untuk program kesejahteraan meningkat
serta jaminan sosial lebih beragam dan menyeluruh.
Menjadi
solidaritas
Tentu akan ada yang
mengatakan ”jangan bandingkan Indonesia dengan negara-negara Skandinavia dan
Korsel” karena bagai langit dan bumi. Tunggu dulu. Saat kebijakan wage
compression diberlakukan di Swedia dan Finlandia tahun 1930-an atau Korsel
pada dekade 1960-1970-an, status sosio-ekonomi mereka masih kalah dengan
level Indonesia saat ini. Begitu pula magnitude ekonomi sektor informal dan
jumlah pengangguran tidak lebih baik.
Mengapa di saat
negara-negara tersebut belum masuk kategori negara maju (kaya), mereka
membangun sistem kesejahteraan? Kuncinya pada solidaritas dan social
equality. Pemimpin politik (juga ekonomi) sadar bahwa mewujudkan negara
kesejahteraan dahulu kemudian pembangunan inklusif akan hadir.
Pemerintahan Jokowi telah
mengembangkan beragam program bantuan dan jaminan sosial. Namun,
program-program ini belum terintegrasi dan masih bercorak charity. Program
kartu, rencana pemberian bantuan sosial (mirip BLT), subsidi kepada petani
dan nelayan masih berupa hand-out alias pemberian. Formulasi platform
kesejahteraan rezim Jokowi perlu ditransformasi dari bantuan berkarakter
charity menjadi social equality dan diintegrasi dengan pembangunan inklusif.
Hal ini hanya terwujud jika kelompok masyarakat strata sosial menengah dan
atas berempati dan bersolidaritas kepada kelompok kelas bawah.
Jika dapat diwujudkan,
niscaya kesejahteraan sosial dan pembangunan inklusif menjadi ciri khas
Jokowilfare. Jokowilfare adalah kunci Jokowinomics. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar