”Jalur
Cepat” Mengangkat Kawasan Timur
Mohammad Final Daeng dkk ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember
2017
Tol laut, program andalan
Presiden Joko Widodo yang mulai diwujudkan pada November 2015, jadi harapan
besar masyarakat di kawasan timur Indonesia. ”Jurus” itu diandalkan sebagai
solusi masalah abadi, yakni mahalnya harga-harga barang kebutuhan pokok dan
barang-barang penting lain.
Program berupa pelayaran
kargo rutin bersubsidi itu melayani sejumlah rute barat-timur Nusantara.
Rute-rute tersebut bersifat tetap dan berjalan teratur: ada atau tidak ada
muatan. Hingga 2017, tol laut memiliki 13 rute (tujuh rute dijalankan Pelni
dan enam rute oleh swasta), yang menyinggahi 41 pelabuhan.
Pelabuhan asal tol laut
adalah kota-kota besar sumber berbagai barang kebutuhan pokok dan penting,
yakni Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Adapun yang jadi pelabuhan tujuan tak
lain adalah daerah-daerah terpencil, terdepan, dan tertinggal, terutama di
kawasan timur. Daerah-daerah itu tersebar di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara,
dan Papua.
Alur barang dari barat,
terutama Pulau Jawa sebagai pusat produksi dan distribusi ke wilayah timur,
harus menempuh jarak ribuan kilometer sehingga berbiaya tinggi. Ongkos pun
kian membengkak karena pengusaha pelayaran memasukkan perhitungan muatan
balik dari kawasan timur yang minim, bahkan kerap kosong melompong.
Kapal-kapal pelayaran
besar biasanya juga tidak singgah di daerah-daerah terpencil, terdepan, dan
tertinggal sehingga barang harus diredistribusikan melalui pelabuhan
pengumpul atau ibu kota provinsi. Lagi-lagi, dampaknya pada biaya.
Semakin jauh ke timur,
semakin mahal pula ongkos transportasinya, maka semakin lebar pula disparitas
harga yang harus ditanggung masyarakat. Belum lagi jika terjadi ketersendatan
akibat kurangnya pasokan atau hambatan cuaca buruk, maka harga akan makin
melambung.
Subsidi
pengangkutan
Tol laut hadir untuk
menerobos masalah itu. Komponen paling utama adalah subsidi biaya pengangkutan
sehingga harga bisa ditekan menjadi lebih murah. Pada 2017, pemerintah
mengucurkan Rp 380 miliar untuk subsidi tol laut. Tahun depan, subsidi
meningkat hingga Rp 426 miliar, dengan rencana penambahan empat rute baru.
Khusus dari barat ke
timur, barang yang boleh menggunakan tol laut adalah barang kebutuhan pokok
dan barang penting. Definisi barang-barang itu mengikuti Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok
dan Barang Penting.
Barang kebutuhan pokok
ialah beras, kedelai, cabai, bawang merah, gula, minyak goreng, terigu,
daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar. Adapun barang
penting mencakup benih padi, jagung, dan kedelai, serta pupuk, elpiji 3
kilogram, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.
Selain subsidi, jadwal
kapal juga dibuat teratur untuk menghilangkan gejolak harga akibat muatan
yang tak tentu datang dan berangkatnya. Pengaturan ini sekaligus membuka
peluang baru bagi perekonomian daerah melalui arus balik tol laut. Hasil bumi
dari kawasan timur dapat lebih mudah dipasarkan ke kota-kota besar.
Menteri Perhubungan Budi
Karya Sumadi pada suatu kesempatan menyampaikan, tol laut merupakan salah
satu strategi pemerintah untuk mewujudkan paradigma trade follow the ship
(perdagangan mengikuti kapal). Jika rute pelayaran dibuka dan berjalan rutin,
perdagangan akan tumbuh bersamanya.
Pertanyaannya, setelah
berjalan dua tahun, apakah tujuan tol laut telah tercapai? Di sejumlah daerah
yang disinggahi rute tol laut, pemerintah mengklaim harga barang kebutuhan
pokok dan penting turun sebesar 20-25 persen. Benarkah demikian?
Dugaan
monopoli
Namun, sesuai pantauan di
sejumlah daerah, harga-harga barang tetap mahal. Kondisi ini salah satunya
ditemukan tim Kompas, Oktober lalu, di Saumlaki, Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, Provinsi Maluku.
Sejumlah faktor diduga
menjadi penyebab. Salah satunya adalah ulah oknum pengusaha yang menggunakan
angkutan bersubsidi itu, tetapi tetap menjual barang di daerah tujuan dengan
harga sama. Hal ini berkaitan dengan dugaan adanya monopoli tol laut oleh
pihak tertentu agar tetap mengendalikan harga.
Ada pula masalah masih
terlalu renggangnya jadwal kunjungan kapal di pelabuhan-pelabuhan tujuan. Hal
itu, misalnya, terjadi di Biak, Papua. Biak dilayani oleh rute tol laut
Surabaya-Manokwari-Wasior-Nabire-Serui-Biak. Perjalanan kapal pergi-pulang
dalam rute itu memakan waktu 34 hari.
Panjangnya rute dan jadwal
singgah yang renggang karena hanya dilayani oleh satu kapal membuat pasokan
barang menjadi terbatas. Dari 115 peti kemas yang diangkut dari Surabaya,
Biak rata-rata mendapatkan 40 peti kemas. Itu pun sebagian didistribusikan
lagi ke kabupaten tetangga, Supiori. Padahal, kebutuhan Biak mencapai 130
peti kemas per bulan. Alhasil, pasokan barang dari tol laut gagal memengaruhi
pembentukan harga wajar di daerah itu.
Panjangnya rute dapat
diatasi dengan menambah armada yang beroperasi dalam satu trayek. Hal ini
sekaligus akan menambah volume barang yang terangkut sehingga sasaran untuk
menurunkan harga dapat tercapai. Untuk itu, pemerintah dan operator tol laut
berencana menambah jumlah armada pada 2018.
Terkait ulah pengusaha
nakal dan monopoli, saat diskusi kelompok terarah bertajuk ”Pembekalan Etika
dan Wawasan Kebangsaan Penyelenggaraan Program Tol Laut dan Pembahasan Trayek
Tol Laut Tahun Anggaran 2018” di Surabaya, 20 November 2017, PT Pelni
melakukan nota kesepahaman (MOU) dengan sejumlah pemerintah daerah yang
disinggahi tol laut. MOU dilakukan untuk memastikan tidak ada monopoli
penggunaan kuota tol laut yang menyebabkan harga tidak turun karena
barang-barang dikuasai satu pihak.
Selain itu, pemerintah
telah menunjuk sejumlah pihak swasta dan BUMN untuk mengelola ”Rumah Kita”,
pusat logistik di titik-titik jalur tol laut. Fasilitas yang telah berdiri di
19 lokasi itu dibangun guna menampung barang yang diangkut melalui tol laut,
kemudian mendistribusikannya ke masyarakat.
Ketua Laboratorium
Penelitian, Pengkajian, dan Pelatihan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pattimura, Teddy Christianto Leasiwal, berpendapat, perlu ada
pengawalan terorganisasi dari pemerintah pusat hingga daerah. Pengawalan itu
termasuk pengendalian harga jual di pasar untuk barang-barang yang diangkut
melalui tol laut.
Sementara itu, dosen Fakultas
Bisnis dan Ekonomi Universitas Hasanuddin, Agussalim, memandang solusi jangka
panjang yang harus ditempuh pemerintah untuk memangkas disparitas harga
adalah meningkatkan kapasitas produksi daerah-daerah di kawasan timur. Jika
produksi meningkat, lanjutnya, biaya logistik otomatis akan turun karena
neraca perdagangan yang berimbang antara kawasan barat dan timur.
Masyarakat di kawasan
timur pun terus menanti penyempurnaan tol laut untuk menerobos berbagai
kendala itu. Seperti namanya, tol laut diharapkan menjadi ”jalur cepat”
mengangkat kesejahteraan kawasan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar