Kebenaran
Memerintah dalam Hati Kita
Martin Lukito Sinaga ; Pendeta GKPS dan Dosen Luar Biasa di STFT
Jakarta; Tenaga Ahli di Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila
|
KOMPAS,
23 Desember
2017
Setelah kita di Indonesia
dan masyarakat dunia menyaksikan muslihat politik untuk memenangi pemilihan
di kotak suara, semakin nyatalah apa yang disebut-sebut sebagai post-truth
itu. Saking sesaknya percakapan dan keadaan pascakebenaran itu,tim ahli
Oxford Dictionaries memutuskan bahwa post-truth adalah The Word of the Year
2016, yang akan mengisi percakapan publik pada tahun 2017.
Dan, memang kita pada
tahun ini telah kelimpungan olehnya, dan belum tahu bagaimana cara terbaik
menghadapinya. Sebagai kata sifat, post-truth berarti ’keadaan bahwa
fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik
dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi’.
Karena demikianlah
keadaannya, para aktivis media sosial pun mewanti-wanti bahwa hoakstelah
sedemikian menyusup ke dalam percakapan sehari-hari kita. Malah, orang bisa
dengan sengit membela diri kalau sudah mengira saksi dusta itu sebagai benar.
Makanya, sekarang banyak orang berbicara lebih untuk membela pendapatnya,
bukan memerikan fakta-fakta. Kalaupun ada fakta yang tampak bisa menggangsir
pendapatnya, segera dicarikannya fakta alternatif yang lalu didaku sebagai
kebenaran.
Vaclav
Havel
Padahal, baru saja kita
diyakinkan bahwa demokrasi adalah sebentuk ruang untuk keluar dari saksi
dusta buatan kekuasaan otoriter, dan saat Reformasi 1998 kita menyambut
kebebasan dari ruang pengap kebohongan politik tersebut. Pada tahun 1989, hal
serupa juga dirayakan oleh bangsa Ceko, dan pemimpinnya, Vaclav Havel,
berharap bahwa sekaranglah, di era demokrasi, masyarakat bisa bebas dari
hoaks para demagog, lalu memasuki era Living in Truth. Kita di Indonesia
pernah bersemangat dan optimistis seperti Havel sehingga buku karyanya telah
diindonesiakan: Menata Negeri dari Kehancuran: Pemikiran tentang Demokrasi,
Kekuasaan, dan Kebudayaan (1992).
Havel bercerita tentang
pedagang di toko buah dan sayur yang dalam tekanan pemerintahan totalitarian
dengan rutin menaruh plakat untuk slogan ”kaum buruh sedunia, bersatulah!” di
antara bawang dan wortelnya. Tentu ia tidak pernah memikirkan arti semboyan
itu walaupun telah dilakukan setiap pagi selama bertahun-tahun. Dan, ketika
ditanyai mengapa ia melakukan, jawabnya ialah ”Saya takut dan karena itu
patuh untuk tidak bertanya-tanya.”
Suatu saat, demikian catat
Havel, pedagang tadi marah dan tidak lagi memamerkan semboyan tadi. Malah, ia
mulai berbeda pendapat dengan suasana serba takluk itu. Ia menemukan kekuatan
dalam dirinya untuk berbicara dari hati nurani; menurut Havel, inilah
upayanya untuk hidup dalam kebenaran. Dengan demikian, ia telah membuka
rahasia kebohongan yang beredar dalam politik dan masyarakat, dan kita tahu
akibat lanjutan dari sikapnya ini: sistem kekuasaan komunis yang tertutup pun
menjadi goyah dan tumbang. Yang sungguh penting ialah bahwa hidup dalam
kebenaran yang awalnya tampak sederhana itu selanjutnya membawa pedagang tadi
ikut dalam aksi-aksi dan pergerakan, dan di situ ia bahkan menemukan martabat
dirinya.
Bagi Havel, revolusi
Velvet di Praha tak bisa dilepaskan dari kerinduan untuk hidup dalam
kebenaran agar terbebas dari hoaksrezim totalitarian. Hal ini tidak saja
membuat warga mengalami momen otentik saat teriakan mereka menggema lalu
terdengar memantul ke telinga sendiri, tetapi juga bagi Havel dengan
begitulah kita tahu bahwa yang mendasari segala perjuangan akan kebenaran
itu, walau tak tertangkap dengan utuh, ialah Yang Transenden itu sendiri.
Kebenaran
memerintah
Suasana demokratis yang
bebas memang telah membuat kita di Indonesia ini dapat menjalani hidup dalam kebenaran
walau kini tampaknya arah jalan penghayatan kebenaran perlu ditemukan lagi.
Kalau sebelum Reformasi 1998 kita bergegas menguak kepalsuan yang mengalir
dari satu sumber kuasa, kini kita dijejali berita dan saksi dusta dari
berbagai arah yang rasanya sudah kebangetan gaduhnya. Suasana serba terhubung
telah membuat kita tanpa henti dicegat di mana-mana oleh beritahoaks.
Ibadah Natal bisa juga
terkepung oleh bermacam berita dusta sehingga perayaannya akan dijalani
dengan mewanti-wanti diri serba cemas. Lalu, aktivitas orang Kristen akan
banyak pula bercorak waswas sehingga pesan Natal akan berisikan pembelaan
diri semata, atau pengambilan posisi beda dengan orang lain sehingga tak
sempat membuka diri membagikan kegembiraan dan pesan Natal.
Pesan Natal tahun ini yang
dikeluarkan PGI dan KWI ialah agar ”Damai Sejahtera Kristus Memerintah dalam
Hatimu!” Damai yang sedemikian memang bisa datang di hati manusia karena
Allah-beserta-kita, dan atas itu kita diminta membuka diri agar damai
sejahtera tersebut juga memerintah dalam hati kita. Damai yang dianugerahkan
itu tak boleh hanya terjadi dalam satu komunitas semata, tetapi mesti
bersifat antarkomunitas ataupun antaragama.
Pesan Natal PGI/KWI itu
pun melanjut mencatat bahwa damai yang memerintah dalam hati itu adalah
sebentuk perutusan, yang melintas di tengah bangsa ini. Khususnya di tengah
rasa cemas akibat adanya pihak yang hendak membeda-bedakan kewarganegaraan,
yang juga akan merusak persatuan bangsa. Damai yang menjadi pesan dan
kekuatan Natal kiranya membuat kita menemui dan berbagi untuk sesama warga
bangsa, khususnya warga yang masih berjuang memenuhi kecukupan hidupnya, agar
rajutan keindonesiaan tetap terjaga.
Dengan kata lain, suasana
Natal perlu lebih otentik dihayati agar dampak riil dan viral-nya dapat
dengan sukacita disambut masyarakat. Kalau Natal dilebih-lebihkan mahalnya,
atau dibinar-binarkan gengsinya, orang akan menanggapinya sebagai berita
kepalsuan Natal. Atau, bahkan membalas berceloteh betapa perayaan Natal itu
tak sejalan dengan akidah Injil dan telah menjadi saksi dusta kepentingan
pasar semata.
Natal kiranya sebentuk
cara umat, seperti kata Havel, hidup dalam kebenaran. Mungkin ada plakat
Natal yang tak berpesan apa pun lagi yang kita perlu turunkan dan buang, lalu
menggantikannya dengan tanda baru. Tanda yang menunjukkan bahwa hati kita mau
diperintah oleh kebenaran ilahi. Kebenaran tentang damai yang merangkul
sesama, dan penyertaan Tuhan yang tak membeda-bedakan karena sejahtera-Nya
diperuntukkan bagi semua warga bumi ini. Selamat Natal! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar