Pancasila
di Era Milenial
Farouk Muhammad ; Senator DPD RI Provinsi NTB
|
KOMPAS,
28 Desember
2017
Dunia berkembang begitu
cepat. Sayang, kemampuan manusia untuk beradaptasi sering kali tidak secepat
dengan perkembangan tersebut.
Hal ini di satu sisi
menandakan kemajuan dunia, tetapi di sisi lain menimbulkan kerentanan bagi
suatu bangsa. Kerentanan yang timbul antara lain karena ketakmampuan
mengendalikan perubahan sehingga menggerus apa yang menjadi inti karakter dan
identitas suatu bangsa.
Bung Karno pernah berucap,
”Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, punya karakteristik
sendiri. Oleh karena itu, pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai
kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam
kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan sebagainya.”
Karakter dan identitas
bangsa Indonesia itu bernama Pancasila. Perkembangan dunia yang begitu cepat
(suka tidak suka) telah menggerus nilai-nilai Pancasila kita. Apatah
nilai-nilai beragama (religiusitas) yang menekankan etika dan moral dalam
kehidupan mendapatkan ancaman dari kebebasan (tanpa batas) yang makin dominan
dan eksesif. Demikian halnya dengan nilai-nilai kemanusiaan, persatuan,
permusyawaratan, dan kegotongroyongan menghadapi tantangan dari nilai-nilai
baru, seperti individualis, konsumeris, asosial, apolitik, dan seterusnya.
Era
milenial
Berkenaan ancaman dan
tantangan di atas, saat ini kita mengalami fenomena surplus demografi yang
berkelindan dengan kemajuan dalam dunia teknologi informasi (TI). Fenomena
ini membentuk model anak-anak zaman dengan karakternya sendiri, yang kemudian
kita kenal dengan ”generasi milenial” (generasi ”Z”). Generasi ini ditandai
dengan kedekatan, bahkan keterikatannya dengan dunia maya yang jauh lebih
intens daripada aktivitasnya di dunia nyata. Fenomena ini memang tidak bisa
digeneralisasikan karena faktanya di perdesaan (terlebih lagi pedalaman) di
mana infrastruktur dan akses internet buruk/sulit bisa jadi ”demam” ini tidak
terjadi kepada mereka.
Fenomena milenial juga
kemungkinan besar hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, terutama yang
memiliki akses luas pada TI (internet). Generasi ini terlahir dalam kisaran
1982-2002 dan mengalami apa yang disebut google generation, net generation,
generation Z, echo boomers, dan dumbest generation (Absher & Amidjaya,
2008). Ciri mereka, menurut Tapscott (2008), suka dengan kebebasan, senang
melakukan personalisasi, mengandalkan kecepatan informasi
yang instan, suka belajar
dan bekerja dengan lingkungan inovatif, aktif berkolaborasi dan hyper
technology.
Alvara Research Center
menyebut generasi milenial memiliki tiga macam karakter unggul, yaitu: (1)
creative, mereka terbiasa berpikir out of the box, kaya ide dan gagasan; (2)
confidence, mereka sangat percaya diri dan berani mengungkapkan pendapatnya
tanpa ragu-ragu; dan (3) connected, mereka merupakan generasi yang pandai
bersosialisasi, terutama dalam komunitas yang mereka ikuti. Selain itu,
mereka juga berselancar di sosial media dan internet.
Karena aktivitasnya yang
serba instan, praktis, dan mengandalkan kemudahan TI, generasi ini memiliki
kelemahan, utamanya ketergantungan yang tinggi terhadap internet dan media
sosial. Akibatnya, mereka menjadi pribadi yang cenderung malas, tidak
mendalam, tidak membumi atau tidak bersosial. Selanjutnya, mereka cenderung
lemah dalam nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, kehangatan lingkungan,
dan kepedulian sosial. Sosial media juga memengaruhi watak dan kebiasaan
mereka yang cenderung bebas, kebarat-baratan, tak memperhatikan etik dan
aturan formal, adat istiadat, serta tata krama.
Kerentanan
Pancasila
Generasi milenial secara
tidak sadar—untuk sebagian besar— mengalami alienasi dari nilai-nilai
Pancasila. Ini terjadi karena mereka tidak mengenal (atau tidak dikenalkan)
nilai-nilai Pancasila secara baik. Negara tidak—atau setidak-tidaknya
belum—memiliki instrumen sosialisasi dan internalisasi Pancasila yang baik
kepada generasi ini. Sementara pada saat bersamaan, mereka terpapar
nilai-nilai luar/asing melalui internet dan sosial media, yang notabene lebih
menarik dan atraktif, betapa pun sebagiannya tidak sesuai atau bertentangan
dengan Pancasila.
Di sana bergumul berbagai
macam ideologi, mulai dari liberalisme, kapitalisme, sekularisme, sosialisme,
komunisme, hingga radikalisme. Ideologi baru ini bisa jadi lebih menarik bagi
generasi muda karena memenuhi harapan mereka atas pola-pola baru, cara
berpikir, dan cara bertindak yang mereka minati. Sementara di sisi lain,
ideologi Pancasila mereka anggap tidak menarik, kuno atau out of date.
Akhirnya, yang terjadi: mereka lebih menggandrungi ideologi- ideologi baru
dan bahkan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Sebagian masyarakat lebih
tertarik pada dan mempraktikkan ideologi liberal. Budaya kita semakin
terbuka, bebas, bahkan kebablasan. Individualisme, materialisme,
konsumerisme, dan isme-isme lainnya menjadi gaya hidup yang merebak di
kalangan warga bangsa, terutama generasi muda. Ini juga yang mendasari isu bangkitnya
paham komunisme atau berkembangnya radikalisme yang seolah menjanjikan
penyelesaian masalah secara pintas (padahal fatalis).
Fenomena di atas tidak
bisa dilepaskan dari kecenderungan generasi muda (milenial) yang serba
instan, jalan pintas, tidak mendalam, mencari kemudahan dan kesenangan
sehingga dengan mudah terpikat dan terjerumus dalam isme-isme baru yang lebih
seksi dan atraktif. Akhirnya, ideologi Pancasila lambat laun mulai kikis
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan negara pun kehilangan rohnya.
Jika Pancasila sebagai
karakter dan identitas bangsa mulai meluntur, ini pertanda bahaya, bisa
mengindikasi bangsa yang sedang sakit. Kondisi ini bisa mengarah pada negara
gagal. Negara gagal di sini tidak harus secara struktural negara itu bubar
atau runtuh, tetapi negara gagal bisa dipandang dari segi kualitas, yakni
sebagai negara yang tak punya ”roh” karena kepribadiannya pelan-pelan
tergerogoti. Bangsa kita (bisa) kehilangan arah dan kendali, merebak penyakit
sosial, dekadensi moral dan akhlak generasi muda, pengabaian etika dan hukum,
disintegrasi, dan turbulensi sosial ekonomi. Itu semua ciri negara gagal,
seperti diduga Noam Chomsky (2006).
Itulah setidaknya
kekhawatiran yang pernah penulis sampaikan secara pribadi kepada Presiden
dalam Forum Konsultasi Pimpinan Lembaga Negara setahun silam, menanggapi
paparan kemajuan-kemajuan yang dicapai pemerintah. Tidak bisa dimungkiri
bahwa efek dari pembangunan infrastruktur yang intens diprediksi dalam 5-10
tahun ke depan Indonesia akan jauh lebih maju. Tetapi, penulis khawatir
Indonesia yang kita temukan bukan Indonesia seperti yang diharapkan para
pendiri bangsa, melainkan Indonesia yang kehilangan roh. Indonesia maju,
tetapi liberal; Indonesia maju, tetapi tak punya jati diri.
Ini semua terjadi karena
kita abai pada inti karakter dan identitas kita sebagai bangsa. Inilah dampak
dari reformasi yang kebablasan sehingga menghasilkan kebebasan tanpa batas.
Revitalisasi
Pancasila
Pancasila tentu tidak
dimaksudkan untuk steril dari pengaruh perkembangan zaman. Zaman boleh
berubah, tetapi nilai-nilai Pancasila harus tetap relevan, tumbuh, dan
berkembang sebagai karakter dan kepribadian bangsa. Upaya memasyarakatkan
Pancasila harus dilakukan dengan kreatif-atraktif agar tertanam efektif pada
semua lapisan masyarakat, termasuk kepada generasi milenial. Pancasila tidak
harus selalu ditampilkan secara kaku, yang terpenting hakikatnya tetap
terpelihara dan diamalkan.
Ambil contoh budaya orang
Jepang yang menghormati senioritas masih tertanam kuat pada struktur
perusahaan dan masyarakat Jepang hingga hari ini di tengah kemajuan yang
mereka capai. Kita sejatinya juga punya nilai-nilai yang merupakan pengamalan
Pancasila, yakni tradisi menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Di
samping itu, ada tradisi gotong royong, semangat kekeluargaan, tepo seliro
atau tenggang rasa, dan lain-lain. Nilai dan tradisi tersebut semestinya
tetap tertanam kuat dalam kepribadian bangsa.
Generasi milenial punya
keunggulan, yaitu pribadi yang kreatif, percaya diri, dan selalu terhubung
atau membangun kolaborasi. Keunggulan ini harus bisa dimanfaatkan semua pihak
untuk lebih menanamkan nilai- nilai Pancasila dengan cara-cara yang sesuai
dengan karakter mereka.
Menjadi tanggung jawab
kita bersama untuk terus merevitalisasi Pancasila sebagai identitas dan
karakter bangsa hingga Pancasila dapat seiring sejalan dengan kemajuan zaman.
Meski demikian, ada saatnya negara tetap harus tegas mengatakan bahwa
nilai-nilai tertentu tidak sesuai dan bertentangan dengan Pancasila. Di situlah
martabat kita sebagai bangsa diuji. ●
|
BalasHapusGenerasi anak muda atau milenial sering mendapat penilaian yang menurut saya negatif ya.. ga boleh dibiarin, saya salah satu dari generasi milenial mau memerangi opini yang terbentuk tersebut!
jenis investasi untuk generasi milenial
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.
Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan
Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com
Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.
Sepatah kata cukup untuk orang bijak.
Artikel yang sangat bermanfaat, kunjungi juga dong www.biologi.uma.ac.id dan www.uma.ac.id
BalasHapus