Generasi
Milenial, Toleransi, dan Globalisasi
Noory Okthariza ; Peneliti di Centre for Strategic and
International Studies (CSIS), Jakarta
|
KOMPAS,
28 Desember
2017
Generasi milenial kerap
dikaitkan dengan penerimaan terhadap nilai-nilai keterbukaan dan toleransi.
Mereka dianggap sebagai sebuah voting block dengan attitudes yang sama sekali
berbeda dibandingkan dengan generasi lebih tua yang dianggap lebih
konservatif dan intoleran.
Perbedaan nilai-nilai ini
berangkat dari beberapa asumsi. Misalnya, anak-anak muda sekarang relatif
memiliki pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan orangtua mereka.
Faktor sosial media juga memberi pengaruh yang tidak kecil. Ribuan informasi
di dunia maya membuat mereka belajar memfilter informasi secara mandiri.
Hal ini pada gilirannya
dapat mengangkat kemampuan literasi mereka sejak dini; anak-anak muda
dianggap mampu memilah informasi-informasi mana saja yang relevan dengan
semangat generasi mereka.
Tetapi, seberapa akurat
anggapan-anggapan di atas merepresentasikan kaum milenial di Indonesia? Untuk
menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan data survei terbaru Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) tentang persepsi generasi milenial
di Indonesia. Survei ini mengambil total 600 responden berusia 17-29 tahun
yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia.
Tingkat
keterbukaan generasi milenial
Untuk mengukur tingkat
keterbukaan generasi milenial, salah satu pertanyaan yang diajukan adalah,
”Apakah Anda bisa menerima pemimpin yang berbeda agama dengan Anda?”
Responden diminta menjawab ”bisa” atau ”tidak bisa” (mereka yang menjawab
”tidak tahu” saya keluarkan dalam analisis).
Hasilnya menunjukkan bahwa
58.02 persen anak muda menolak dipimpin oleh pemimpin di luar agama mereka.
Pertanyaan lain untuk
menguji seberapa toleran kaum muda di Indonesia adalah sebagai berikut:
”Apakah Anda dapat menerima kehadiran kelompok LGBT?” Jika kita percaya bahwa
kids zaman now adalah orang-orang yang toleran, kita bisa berharap mereka
akan merespons secara positif pertanyaan tersebut.
Tetapi, data survei
menunjukkan bahwa 78,92 persen dari mereka menyatakan ”tidak bisa menerima
sama sekali” kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender).
Sementara 15,86 persen berkata ”kurang menerima” dan hanya 3,96 persen dan
1,26 persen yang menyatakan ”cukup menerima” dan ”sangat menerima”.
Dua pertanyaan di atas
boleh jadi terlalu sensitif menakar tingkat toleransi anak-anak muda karena
ia terkait dengan standar moral yang berlaku umum di Indonesia. Untuk itu, di
dalam survei ini kami juga menanyakan beberapa hal yang lebih netral, yakni
terkait dengan attitudes generasi milenial terhadap globalisasi dan pasar
bebas.
Hasilnya agak merisaukan.
Mayoritas anak muda Indonesia percaya bahwa dampak negatif yang dibawa
globalisasi dan pasar bebas adalah jauh lebih banyak dibandingkan dengan sisi
positif yang bisa didapatkan.
Mayoritas anak muda
percaya bahwa masuknya barang-barang dari luar negeri berdampak buruk bagi
kepentingan Indonesia dan kepentingan mereka sendiri (padahal, mereka adalah
kelompok pengguna gadget terbesar di negeri ini). Mereka juga yakin bahwa
pasar bebas menyebabkan barang-barang Indonesia tidak bisa bersaing di
mancanegara.
Selain itu, anak muda juga
percaya bahwa globalisasi adalah
sumber merebaknya konsumerisme dan individualisme, melemahkan ajaran-ajaran
agama, serta meruntuhkan rasa nasionalisme terhadap negara.
Pendidikan
dan bias urban
Terhadap temuan tersebut,
saya ingin menguji apa saja faktor-faktor umum yang menjelaskan persepsi
negatif anak muda terhadap indikator-indikator keterbukaan, seperti yang
dijelaskan di atas.
Kita bisa menyebut
beberapa hipotesis. Misalnya, faktor penghasilan. Semakin tinggi penghasilan
yang dimiliki seseorang, kita bisa berharap dia akan memiliki pandangan yang
inklusif terhadap praktik-praktik toleransi dan globalisasi.
Selain itu, penting juga
dicatat peran pendidikan dalam membentuk attitudes seseorang, akses terhadap
media sosial, seperti Facebook dan Whatsapp, akses terhadap berita-berita di
media daring, juga lokasi tempat seseorang tinggal (apakah di Jawa atau luar
Jawa dan apakah tinggal di kota atau di desa).
Setelah semua variabel
dikumpulkan, uji statistik menunjukkan bahwa ternyata faktor penghasilan,
akses terhadap media sosial, akses terhadap media daring, dan tempat tinggal
tidak bisa menjelaskan variasi-variasi sikap generasi milenial terhadap isu-
isu toleransi dan globalisasi.
Khusus untuk media sosial,
kita bisa mengambil kesimpulan bahwa logika hubungan antara pengguna media
sosial dengan tingkat literasi dan toleransi ternyata adalah sebuah ilusi.
Tingginya pengguna media sosial di Indonesia ternyata tidak dibarengi dengan
sikap positif terhadap isu-isu global dan praktik toleransi.
Dalam kaitannya dengan
toleransi, satu-satunya penjelas akurat adalah pendidikan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang, kecenderungan dia untuk bersikap terbuka dan
toleran akan semakin tinggi. Temuan tentang pentingnya pendidikan ini tentu
saja bukan hal baru. Pendidikan yang baik membuat seseorang makin bisa
memilah dan mencerna informasi secara akurat di tengah- tengah timbunan
informasi pada era digital.
Tetapi, persoalannya anak-
anak muda yang mengenyam pendidikan tinggi ini masih terkonsentrasi di
kota-kota besar saja. Di banyak tempat di negeri ini, sulitnya akses
pendidikan tinggi masih menjadi isu krusial yang menghambat perkembangan
sumber daya manusia.
Faktor pendidikan yang
tidak merata ini pada gilirannya secara bias memengaruhi cara kita melihat
generasi milenial di Indonesia. Adanya gap antara ekspektasi kita terhadap
sikap generasi milenial yang toleran dan terbuka dengan kenyataan empiris,
setidaknya yang dilihat dari survei CSIS, menjadi bukti bahwa bias urban
telah memenuhi banyak percakapan tentang generasi ini.
Dari segi jumlah, memang
anak-anak muda usia produktif ini terbilang besar. Akan tetapi, dari segi
attitudes sosial-ekonomi, secara umum generasi milenial sebetulnya tidaklah
begitu berbeda dibandingkan dengan kelompok usia lain. ●
|
||Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128