Mengapa
Novel
Bre Redana ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
17 Desember
2017
Novel adalah jawaban ketika tradisi
literasi merosot, kemampuan reflektif manusia menilai lingkungan dan terutama
menilai diri sendiri kian berkurang. Itulah jawaban saya ketika seseorang
bertanya kenapa saya menulis novel. Apa karena pensiun? Memiliki banyak
waktu? Tidak, jawab saya. Kita semua tak punya waktu. Waktu milik Yang Kuasa,
diberikan kepada kita. Kalau sewaktu-waktu Dia menarik kembali pemberian-Nya,
itu artinya habis waktu kita. Tancep kayon. Oleh karenanya, pemberian paling
berharga kepada seseorang adalah kalau Anda memberikan waktu Anda. Tak ada
yang bisa menukar waktu yang telah diberikan oleh dan kepada seseorang.
Kembali kepada novel, penulis dan pembaca
novel tahu bahwa karakter pada novel tidaklah homogen, tetapi heterogen;
tidak tunggal, tetapi jamak; kadang terkeping-keping penuh kontradiksi. Si
tokoh menempatkan diri secara berbeda-beda pada setiap kondisi, waktu, dan
ruang berbeda. Ia berbeda ketika menempatkan diri dalam hubungan dengan
orangtua, anak, kekasih gelap, dan lain-lain.
Keluasan manusia itulah yang ditemui
penulis dan pembaca novel. Entah itu Madame Bovary dalam Madame Bovary; Tomas
dalam The Unbearable Lightness of Being;Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia;
dan seterusnya.
Salman Rushdie dengan menarik menguraikan
the art of the novel dalam salah satu bagian memoarnya berjudul Joseph Anton.
Menceritakan bagian hidupnya, terutama ketika dalam persembunyian selama
bertahun-tahun karena jatuhnya fatwa mati baginya, ia hendak mengatakan
perjuangan seorang novelis memperluas cakrawala dunia.
Dunia waktu itu, awal 1980-an—dan sama-sama
kita lihat makin menjadi-jadi sekarang—adalah dunia yang punya kecenderungan
makin tertutup. Berbeda dengan identitas karakter novel yang bisa sangat kaya
dan luas, pada dunia nyata kini banyak orang mempersempit identitas diri
sendiri. Kalau tidak pribumi berarti nonpribumi; kalau tidak mayoritas berarti
minoritas; kalau tidak bumi datar berarti kecebong.
Sungguh menyedihkan. Padahal, kita bisa
saja berbeda keyakinan, tetapi mendukung klub sepak bola yang sama. Bisa saja
kita berbeda suku, tetapi memiliki ukuran yang sama mengenai kecantikan
perempuan. Bisa saja kita tidak bersetuju pada sistem penataan kota, tetapi
bersepakat dalam cara mendidik anak dan lain-lain.
Apa penyebab penyempitan identitas diri dan
gejala kekerdilan itu? Matinya daya nalar. Mengapa daya nalar mati?
Kemungkinan karena literasi yang merupakan tanah subur bagi perkembangan
peradaban kian terdesak tradisi digital.
Baca pemikiran novelis-novelis, seperti
Umberto Eco, Milan Kundera, Salman Rushdie, dan Hanif Kureishi, mereka semua
lahir dari tradisi novel Barat. Peradaban Barat dibentuk oleh novel. Intinya
sama saja: oleh dongeng. Nilai-nilai kita di Timur juga dibentuk oleh
Mahabharata, Ramayana, I La Galigo. Saya pernah melihat seorang motivator
yang kerjanya memotivasi orang-orang untuk lekas menjadi sukses dan kaya
menganjurkan agar jangan baca novel. Buang-buang waktu. Berjas berdasi, saya
lihat dia seperti orang kurang waras.
Itulah medan perjuangan literasi sekarang.
Tabik kepada individu-individu yang setia mengembangkan literasi, seperti
Maman Suherman, Agus Noor, JJ Rizal, Hasan Aspahani, Ayu Utami, dan banyak
lagi yang tak mungkin tersebutkan dalam ruang yang sempit ini. Mereka juga
seperti orang gila, tetapi ini kegilaan yang lain.
Dunia sekarang oleh sekelompok orang
didorong untuk menjadi dunia yang tertutup, sempit, dengan identitas sangat
terbatas. Literasi harus berikhtiar membuka dunia, meski tak seberapa,
berusaha meningkatkan bagaimana manusia mengembangkan pengertian, pemahaman,
dan pada akhirnya mendorong bagaimana manusia untuk ”menjadi”, to be.
Jalan novel adalah jalan Tao. Ketika fakta
sakit, fiksi sehat. Begitu pun sebaliknya.
Bukan soal waktu atau hal-hal lain yang
membuat manusia mengerjakan sesuatu. Dalam jalan Tao, ketika Anda tidak
melakukan apa-apa, Anda melakukan apa-apa. Ketika Anda melakukan apa-apa,
Anda tidak melakukan apa-apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar