Jalan
Mendaki Pembangunan Berkelanjutan
Emil Salim ; Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup RI periode 1978–1993
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Desember 2017
PEMBANGUNAN yang lazim
kita kenal mencakup segi ekonomi mengingatkan wahana untuk memenuhi kebutuhan
manusia dengan mengelola secara efisien sumber daya manusia dan sumber daya
alam yang terbatas keberadaannya. Proses pembangunan berlangsung dalam pasar
yang dianggap mampu berfungsi memenuhi kebutuhan manusia konsumen yang
diladeni manusia produsen pada tingkat harga keseimbangan.
Di balik proses ini, Bapak
Ilmu Ekonomi Adam Smith mengasumsikan manusia itu ‘homo-economicus’, manusia
yang rasional berperhitungan, mengutamakan kepentingan diri-perorangan dengan
kegandrungan bekerja mengejar manfaat ekonomi setinggi mungkin dengan biaya
serendah mungkin. Bila ini berkembang, masyarakat akan memperoleh manfaat
dari pembangunan ekonomi yang meningkatkan produksi barang dan jasa semakin
besar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dianggap tak kenal batas.
Dalam proses ini,
pemerintah dianggap sebaiknya tidak mencampuri ekonomi agar proses ekonomi
berjalan bebas liberal. Pola kebijakan ekonomi yang ditempuh Presiden Amerika
Serikat Donald Trump sekarang ini secara khas mencerminkan pola pikir
homo-economicus modern dengan menerapkan kebijakan ekonomi liberalnya
bersamaan dengan pola pikir pengembangan negara Amerika Serikat mengutamakan
kepentingan: America first, pokoke kepentingan Amerika dulu di atas
kepentingan negara-negara lain di dunia.
Pola pembangunan ekonomi
liberal ini tidak menghendaki campur tangan pemerintah terlalu banyak.
Biarlah kalangan pemerintah itu ‘tidur’ dan pembangunan ekonomi akan
cenderung berkembang pesat. Inilah pola kebijakan pembangunan yang paling
menonjol sehabis Perang Dunia Kedua.
Pembangunan ekonomi dunia
memang tumbuh pesat sejak 1950-an. Akan tetapi, bersamaan dengan perkembangan
ekonomi yang gencar ini, tumbuh gejala lain. Musim semi berlangsung kini
tanpa kicauan burung. Pohon-pohon semakin banyak ditebang untuk konstruksi
bangunan serta bahan baku kertas dan lahan dibuka untuk permukiman.
Penduduk di pinggir laut
menderita penyakit baru minamata yang melumpuhkan manusia. Kendaraan darat yang
semakin padat di kota yang berkabut (fog) menghasilkan asap (smoke) dan
melahirkan smog yang menyesakkan dada. Udara semakin pengap, bongkah es di
kutub bumi mencair, suhu bumi menaik. Masyarakat heran tak paham apa yang
terjadi dengan alam?
Keprihatinan masyarakat
atas perkembangan ini mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan
sidang khusus membahas masalah lingkungan alam di Stockholm, Swedia, 5 Juni
1972. Lahirlah lembaga United Nations Environment Programme (UNEP) yang
berkedudukan di Nairobi, Kenya. Lembaga ini kemudian menugasi ‘Komisi Dunia
untuk Lingkungan dan Pembangunan’ di bawah pimpinan Perdana Menteri Norwegia
Gro Harlem Brundtland untuk mengkaji permasalahan dan menyarankan
pemecahannya.
Setelah mempelajari
masalah pembangunan dan dampaknya di beberapa negara, termasuk Indonesia,
yang mewakili kondisi lingkungan dunia selama dua tahun, komisi ini
menyampaikan kesimpulan dalam laporan Our Common Future (1987). Kesimpulan
laporan komisi ialah bahwa orientasi pembangunan perlu diubah. Pertama, dari
pola pembangunan jangka waktu pendek ke pola pembangunan berkelanjutan dengan
dimensi waktu yang mengalir. Dengan demikian, penetapan rencana pembangunan
tidak hanya memperhatikan kepentingan generasi masa kini, tetapi juga
memperhitungkan kepentingan generasi masa depan sehingga beralih proses
pembangunan dari konsep stock menjadi konsep mengalir, flow concept.
Kedua, pola pembangunan
tidak lagi mengikuti alur tunggal ekonomi, tetapi secara sadar
memperhitungkan dampak pembangunan pada alur sosial-kultural masyarakat yang
khas terdapat dalam aneka ragam budaya bangsa. Model pembangunan tidaklah
bertolak dari konsep ‘satu pola berlaku bagi semua alur masyarakat bangsa
sedunia’.
Ketiga, pola pembangunan
tidaklah berlangsung dalam kehampaan alam. Proses pembangunan berlangsung
dengan mengelola sumber daya alam yang tertancap kukuh dalam lingkungan alam
yang hidup. Karena itu, eksploitasi sumber daya alam untuk pembangunan perlu
memperhitungkan dampaknya pada keberlangsungan hidup tatanan ekosistem.
Penting untuk menerapkan studi analisis mengenai dampak lingkungan ketika
merencanakan proyek pembangunan agar proses pembangunan berlangsung tanpa
dampak negatif, merusak, dan mematikan unsur-unsur ekosistem lingkungan.
Dengan begitu, tumbuhlah
pola pembangunan berkelanjutan atau sustainable development yang mencakup
tiga ciri-ciri pokok.
Pertama, alur pembangunan
ekonomi yang mengalir generasi demi generasi dalam alur berkelanjutan. Kedua,
alur pembangunan sosial yang diperhitungkan dalam proses pembangunan
berkelanjutan. Ketiga, alur pembangunan lingkungan hidup yang dilestarikan
keberlanjutan fungsi ekosistem lingkungan.
Lahirlah konsep
pembangunan berkelanjutan yang beranjak pada ‘tripple bottom line’ ekonomi,
sosial, dan lingkungan. Ini berarti pembangunan ekonomi mengoptimalkan
peningkatan pendapatan sembari mempertahankan atau meningkatkan stock modal
alami sehingga hasil produksi alam tidak melampaui kemampuan daya regenerasi
sumber daya alam serta ekosistemnya. Peranan lingkungan alam sebagai
penampung dan penyerap limbah buatan manusia tidak melampaui ambang batas
daya tampungnya.
Pembangunan berlangsung
tidak dalam kehampaan sosial, tetapi di tengah-tengah kehidupan sosial-budaya
masyarakat sehingga harus diusahakan agar dampak negatif pembangunan pada
kehidupan sosial-budaya masyarakat ditiadakan dan dampak positif
ditingkatkan. Dalam melaksanakan pembangunan senantiasa harus diingat bahwa
yang dibangun berdampak pada manusia sebagai makhluk sosial.
Pembangunan berkelanjutan
berkembang dalam ruang lingkup ekosistem alam yang hidup dan berpengaruh
timbal balik pada kehidupan manusia. Karena itu, keutuhan fungsi ekosistem
lingkungan hidup perlu dilestarikan. Pembangunan berkelanjutan yang memuat
unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan bukan hal asing bagi masyarakat kita.
Filosofi peradaban kehidupan masyarakat kita sudah menghayati semangat ini,
seperti terungkap antara lain dalam falsafah Bali Trihita Karana, keselarasan
hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan manusia.
Agar pola pembangunan
berkelanjutan dengan tiga unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan bisa
berlangsung secara kiprah simultan, diperlukan intervensi pemerintah dalam
memimpin perkembangan setiap unsur dan memadukannya secara aktif melalui
mekanisme pasar dan membimbing masyarakat mewujudkannya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa
telah mencapai September 2015 di markas PBB New York, kesepakatan global
Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development yang
memuat ‘Sustainable Development Goals’ (SDGs) dengan 17 sasaran tujuan.
Yakni, terpenuhinya hidup tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kehidupan sehat
dan sejahtera, pendidikan berkualitas, kesetaraan gender, terpenuhinya air
bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan
pertumbuhan ekonomi, pembangunan industri, innovasi dan infrastruktur, serta
berkurangnya kesenjangan, dibangunnya kota dan permukiman berkelanjutan,
tumbuhnya konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan
iklim, terpeliharanya ekosistem laut, ekosistem daratan, dan ditegakkannya
perdamaian dan keadilan dengan kelembagaan yang tangguh.
Begitu luas dan
komprehensif SDGs merangkum tiga alur pembangunan ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Syarat bagi tercapainya SDGs ini ialah hilangnya fragmentasi pola
kerja pemerintah menurut nafsu ego kementerian masing-masing yang kebanyakan
dipimpin tokoh-tokoh politik dan menumbuhkan pola kerja terpadu lebih
mementingkan keberhasilan kesatuan tim pemerintah.
Hingga sekarang belum
tercapai kesepakatan antarkementerian tentang perlunya satu peta bumi untuk
bekerja sama. Tiap kementerian bekerja dengan peta bumi masing-masing
sehingga terjadilah tumpang tindih dalam mengelola sumber daya alam. Sungguh
sulit menegakkan kerja sama antarinstansi dalam menyusun tata ruang daerah,
mengelola daerah aliran sungai, sehingga bisa mengalirkan air dari waduk
sampai ke ladang sawah di pelosok desa. Cita-cita mengembangkan ‘satu rencana
dengan satu manajemen untuk satu sungai’ hingga sekarang kandas oleh gagalnya
pemimpin daerah dalam melihat pembangunan sebagai satu kesatuan sistem.
Sebaliknya, bila kepala
daerah berwawasan pembangunan berkelanjutan, pembangunan berjalan mulus. Hal
ini sudah dibuktikan Wali Kota Surabaya Ibu Tri Rismaharini dan Bupati Kulon
Progo Bapak Hasto Wardoyo. Mereka menerapkan pola pembangunan yang sekaligus
memuat dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan sehingga masyarakat daerah
bisa diangkat keluar dari perangkap kemiskinan.
Tahun 2018 adalah tahun
pilkada, pemilihan kepala daerah yang menjadi saka guru pembangunan
berkelanjutan. Semoga para calon pemimpin daerah becermin pada keberhasilan
Bu Tri Rismaharini (Surabaya) dan Hasto Wardoyo (Kulon Progo) untuk bisa
membawa masyarakat kita mendaki pembangunan berkelanjutan demi mencapai
masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar