Menata
Perda pada Era Otda
Djohermansyah Djohan ; Guru Besar IPDN Dirjen Otda Kemendagri
2010-2014; Penjabat Gubernur Riau 2013-2014
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Desember 2017
PRESIDEN Joko Widodo
(Jokowi) entah sudah berapa kali mengungkapkan kekesalannya pada
aturan-aturan yang terlalu banyak dan mengada-ada di negeri ini sehingga
menghambat investasi dan mempersulit masyarakat mendapatkan pelayanan publik.
Pada 2016 lalu, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo membatalkan sebanyak 3.143 peraturan daerah (perda) bermasalah.
Baru-baru ini dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, 11 Desember
2017, dia mengatakan, “Regulasi juga berpotensi menjadi objek transaksi dan
korupsi.” (Kompas, 12/12).
Hal yang diduga Presiden
Jokowi itu sebetulnya sudah terang benderang di lapangan. Dalam praktik
penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk meloloskan perda APBD, misalnya,
pihak eksekutif ‘terpaksa’ harus menyediakan uang ‘ketuk palu’ bagi anggota
dewan. Kalau tidak disediakan, sidang bisa gagal karena kuorum tidak
tercapai.
Tidak hanya itu, untuk
mengegolkan relokasi kegiatan dalam APBD perubahan, tidak jarang terjadi
transaksi antara eksekutif pemerintah daerah (pemda) dan pimpinan DPRD.
Bahkan, untuk mengamankan programnya dalam RAPBD agar jangan sampai dicoret
dewan, pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengalirkan uang ke
kocek anggota DPRD. Ada pula praktik di daerah-daerah tertentu yang guna
menjaga hubungan baik dengan pimpinan dewan, para kepala dinas ramai-ramai
memberikan ‘setoran’.
Bentuk lain transaksi,
yaitu ketika pembuatan atau revisi perda terkait dengan kepentingan swasta.
Berbagai lobi dan transaksi untuk mengorder pasal pada pansus dewan juga
terjadi. Lebih jauh lagi, pada waktu musim pilkada, kursi dewan dihargai
ratusan juta sampai miliaran rupiah yang dibutuhkan para calon kepala daerah
sebagai tiket maju pilkada.
Lalu, bagaimana jalan
keluarnya? Penegakan hukum saja lewat operasi tangkap tangan (OTT) KPK
tampaknya tidak cukup. Terbukti dari masih belum berhentinya pejabat masuk
penjara. Agaknya diperlukan perbaikan menyeluruh pada sistem pemerintahan
daerah kita, termasuk sistem pembinaan dan pengawasan di tingkat pemerintah
pusat, utamanya terkait dengan penataan perda.
Potret
empiris
Perda sebagai produk hukum
daerah sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pemberian otonomi daerah
(otda). Untuk menjalankan kewenangan-kewenangan dan urusan-urusan
pemerintahan yang diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintahan provinsi
(pemprov) dan pemerintahan kabupaten/kota (pemkab/pemkot), diperlukan perda.
Perda dibuat bersama oleh kepala daerah dengan DPRD yang notabene
representasi rakyat daerah. Dengan begitu, pemerintahan di daerah dijalankan
bersendikan hukum, bukan kekuasaan, sekaligus kepentingan publik mendapat
perlindungan.
Guna memastikan perda yang
dibuat pemda tidak menyimpang dari kewenangan yang diberikan, prosedur tetap
(protap) yang telah ditentukan, dan untuk mencegah kecurangan, dilakukanlah
pembinaan dan pengawasan perda oleh pemerintah pusat. Pada zaman pemerintahan
otoritarian Orde Baru (Orba), di bawah UU No 5/1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, tidak dikenal perda bermasalah. Kepala daerah yang
merangkap sebagai wakil pemerintah pusat selaku penguasa tunggal
mengendalikan dengan ketat DPRD.
Perda-perda yang diketuk
dewan kebanyakan pesanan kepala daerah yang didukung penuh oleh Fraksi Golkar
dan Fraksi ABRI sebagai pemegang mayoritas. DPRD yang sering dipelesetkan
sebutannya sebagai ‘dinas perwakilan daerah’ atau ‘tukang stempel’ tidak
berani ‘macam-macam’ kepada kepala daerah, apalagi menerbitkan perda yang
bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Efektivitas
penyelenggaraan pemda menjadi sangat tinggi sehingga pembangunan bergerak
lebih cepat. Catatan negatifnya, demokrasi lokal dikebiri, tanpa partisipasi,
dan yang ada adalah mobilisasi.
Setelah orde reformasi
lahir pada 1999, otda dipromosikan secara besar-besaran, desentralisasi diobral,
dan demokrasi lokal lewat pilkada langsung berkembang pesat. Sistem partai
monolitik diganti dengan sistem multipartai. Kepala daerah tidak lagi menjadi
penguasa tunggal, DPRD sendiri terdiri atas banyak fraksi. Sistem
pemerintahan daerah kita menjadi liberal. Wajah pemerintahan daerah berubah
total. UU yang mengatur pemerintahan daerah hingga kini telah tiga kali
berganti, yaitu UU No 22/1999, UU No 32/2004, dan terakhir UU No 23/2014.
Selama 18 tahun usia otda, segudang masalah terjadi, baik dalam pembentukan
maupun implementasi perda. Sekurangnya saya mencatat ada 10 masalah krusial.
Pertama, perda
bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi. Kedua,
perda bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan. Ketiga, perda menghambat
investasi. Keempat, perda dibentuk tanpa melibatkan pemangku kepentingan.
Kelima, perda dibentuk tanpa konsultasi publik. Keenam, pembentukan perda
diwarnai penyuapan dan pemerasan (ekstorsi). Ketujuh, agenda pembentukan
perda tidak jelas dan kabur. Kedelapan, tidak ada sistem registrasi perda.
Kesembilan, perda tetap dijalankan daerah walaupun sudah dibatalkan.
Kesepuluh, miskinnya penggunaan teknologi informasi dalam pengawasan perda.
Perlu
cetak biru
Bertolak dari potret
empiris yang memprihatinkan tersebut, ke depan perlu dibuat cetak biru
(blueprint) penataan perda, dengan penguatan fungsi kontrol dan sinergi
kelembagaan pemerintah pusat dalam menangani perda, baik dalam executive
preview maupun dalam bentuk executive review. Apalagi dewasa ini dengan
putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 137/PUU-XIII/2015 tanggal 5 April 2017,
dan No 56/PUU-XIV/2016 tanggal 14 Juni 2017, pemerintah pusat tidak bisa lagi
membatalkan perda provinsi dan perda kabupaten/kota. Fungsi pembatalan perda
sekarang hanya dipegang Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan.
Pada tataran executive
preview, hal-hal penting yang perlu dilakukan ialah menyederhanakan
pembentukan perda, memotong prosedur-prosedur yang tidak penting seperti
studi banding dalam menyusun perda, mencegah penyuapan dan pemerasan, membuat
aplikasi e-perda, mewajibkan nomor registrasi untuk rancangan perda final,
memfasilitasi DPRD untuk menyusun perda prakarsa, dan menjatuhkan sanksi
kepada kepala daerah/DPRD yang tidak melaksanakan tahapan pembentukan perda
seperti melakukan konsultasi publik.
Berkaitan dengan executive
review, pemerintah pusat seyogianya tidak membiarkan perda yang telah diketuk
DPRD berjalan begitu saja. Pemerintah pusat wajib mengontrol sosialisasinya,
memonitor implementasinya yang merugikan publik, dan bila perlu menginisiasi
judicial review perda bermasalah ke MA. Di tingkat Kementerian Dalam Negeri
sendiri selaku batu penjuru pembinaan dan pengawasan pemerintahan daerah yang
jumlahnya sangat besar mencapai 542 daerah otonom (34 provinsi, 93 kota, 415
kabupaten) dan tersebar di area yang luas dari Sabang sampai Merauke, untuk
memastikan cetak biru penataan perda bisa berjalan lancar, perlu dilakukan
restrukturisasi, tidak cukup hanya dengan mengandalkan peran gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat (WPP) di provinsi. Misalnya, dengan membentuk kantor
wilayah di belahan Indonesia Barat, Tengah, dan Timur.
Pada level pemerintahan
daerah, penguatan kapasitas anggota DPRD hasil pemilu oleh pemerintah pusat
secara sungguh-sungguh, terencana, dan berkelanjutan perlu dilakukan. Sejalan
dengan itu, sistem pilkada yang mampu mencetak para kepala daerah yang
kredibel harus diupayakan melalui perubahan mendasar sistem maupun proses
pemilihannya. Nafsu birokrasi untuk memproduksi peraturan dapat dikendalikan
melalui agenda legislasi lokal lima tahunan yang paten dan rigid berdasarkan
kesepakatan kepala daerah dengan DPRD.
Untuk mengawali langkah
strategis di atas, sebaiknya Presiden Jokowi segera menggelarkan instruksi
presiden kepada para menteri/kepala lembaga dan gubernur/bupati/wali kota
tentang peningkatan pembinaan dan pengawasan produk hukum daerah. Kekesalan
Presiden Jokowi atas perilaku koruptif pejabat publik kita yang tidak kunjung
berhenti moga-moga bisa dijawab dengan perbaikan komprehensif sistem otda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar