Korupsi
Bukan Budaya, Ah
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 16 Desember 2017
DALAM seminar yang dipandu
oleh Najwa Shihab di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat
(8-12-17) pekan lalu, muncul semacam kekhawatiran yang menimbulkan pesimisme
terkait korupsi.
Pada seminar yang
diselenggarakan oleh Pusat Anti-Korupsi (PUKAT) UGM itu, Komisioner Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief
mengatakan, sejak kecil di berbagai level warga masyarakat, kita sudah
biasa dilakukan kecurangan-kecurangan tanpa beban seperti nyontek di sekolah,
menembak SIM, menerobos jalan, menyuap petugas, dan sebagainya. Itu semua
adalah bentuk atau sekurang-kurangnya benih korupsi.
Banyak orang yang kemudian
teringat kepada apa yang pernah dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa korupsi
sudah menjadi budaya di Indonesia. Orang juga bisa teringat kepada apa yang
pernah dikemukakan oleh Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia itu mempunyai
sifat-sifat buruk yang intinya adalah koruptif.
Dengan segala hormat
kepada Bung Hatta, saya sendiri tidak sependapat dengan pandangannya jika
benar beliau mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi budaya kita. Menurut
saya, tidak korupsi itu menjadi budaya Indonesia dengan tiga alasan.
Pertama, yang namanya
budaya itu selalu berkaitan dengan kebaikan budi. Budaya adalah hasil daya
cipta, rasa, dan karsa manusia yang tentu melahirkan perilaku dan
kebiasaan-kebiasaan yang baik. Apalagi kita sudah mengklaim sendiri (bahkan
sering diklaim oleh orang luar) sebagai bangsa yang mempunyai budaya
adiluhung (unggul).
Bahkan di dalam tiga
azimat revolusi yang dikemukakan oleh Bung Karno, bangsa Indonesia harus
berkepribadian sesuai dengan budaya bangsa. Masa, Bung Karno akan menyuruh
bangsa Indonesia berkepribadian korupsi? Tak mungkinlah korupsi itu menjadi
budaya bangsa.
Kedua, kalau kita
menganggap dan percaya bahwa korupsi merupakan bagian dari budaya maka
berarti kita adalah bangsa yang pesimis dan takluk terhadap korupsi. Kalau
kita percaya itu maka berati kita menganggap korupsi itu sebagai hal yang
biasa dan amat sulit ditaklukkan dan diberantas, sebab yang namanya budaya
itu sudah dihayati sebagai kebiasaan hidup yang tumbuh dan berkembang selama
berabad-abad dan sulit dihentikan juga sampai berabad-abad ke depannya.
Bagaimana kita akan memerangi korupsi kalau kita percaya bahwa korupsi itu
budaya?
Ketiga, saya mencatat dan
mempunyai hasil studi bahwa pernah dalam penggal-penggal waktu perjalanan
bangsa Indonesia korupsi bisa diatasi atau diminimalisasikan melalui
konfigurasi dan kebijakan-kebijakan politik tertentu. Pada awal kemerdekaan
sampai menjelang tahun 1950-an, negara kita relatif bisa dengan cukup gagah
memerangi korupsi.
Pada era itu, korupsi
besar bisa dihitung dengan jari dan tetap mudah diadili sesuai dengan hukum
yang berlaku. Ada menteri-menteri (seperti menteri agama dan menteri
kehakiman) diajukan ke pengadilan dan dihukum karena tindak pidana korupsi di
kala itu.
Menteri Luar Negeri Ruslan
Abdulgani pernah divonis hukuman dua bulan penjara karena sepulang dari luar
negeri kedapatan membawa uang USD1.500, padahal saat itu ada kebijakan hukum
bahwa untuk menjamin stabilisasi ekonomi nasional, siapa pun dilarang membawa
keluar atau membawa masuk Indonesia uang yang nilainya lebih dari USD1.000.
Pada waktu itu, Ruslan Abdulgani kedapatan membawa uang sebagai titipan dari
temannya di luar negeri untuk disampaikan kepada seseorang di Madiun dengan
identitas pengirim dan penerima yang jelas.
Namun, orang kesayangan
Bung Karno ini tetap diadili, karena meskipun berniat baik menerima dan akan
menyampaikan titipan, dia telah membawa uang sebesar lebih dari USD1.000.
Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani diadili dan Bung Karno tidak melakukan
intervensi apa pun ke pengadilan karena hal itu sudah menyangkut penegakan
hukum.
Jadi pada era itu korupsi
dan penegakan hukum-hukumnya benar-benar ditindak secara tegas oleh
pemerintahan yang demokratis dengan pengadilan yang berintegritas. Pada masa
itu, seorang anak akan merasa terus malu dan dipermalukan jika, misalnya,
ketahuan mencuri pensil di sekolahnya. Agaknya susah untuk percaya jika
dikatakan bahwa korupsi itu budaya kita.
Pada era 1950-an itu, di
luar kasus tiga menteri yang dicontohkan di atas, memang ada juga korupsi di
kalangan pegawai negeri, tetapi sebagian besar hal itu terjadi karena sangat
terpaksa (by need) dan dalam jumlah sangat kecil. Pada era itu memang ada,
misalnya, pegawai kantor pemerintah menjual dan membawa pulang alat-alat
tulis seperti buku dan kertas, termasuk kertas koran yang kemudian dijual
kiloan, karena kebutuhan dapur atau untuk keperluan biaya sekolah anaknya.
Tetapi berbeda dengan era
sekarang ini yang korupsinya sudah masif dan gila-gilaan karena tamak dan
rakus (by greed) dengan besaran korupsi sampai miliaran, ratusan miliar,
bahkan triliunan rupiah. Korupsinya pun berjemaah pula.
Koruptor sekarang ini
sudah kaya raya dan jika mereka pejabat semua kebutuhannya sudah dipenuhi
oleh negara. Sekarang ini, berdasarkan kasus-kasus yang ada, semakin tinggi
jabatannya, semakin besar pula korupsinya.
Masalahnya, mengapa ada
era korupsi bisa diperangi dengan efektif dan ada era lain saat mana korupsi
menjadi kanker yang menggurita seperti sekarang ini. Jika dilihat dari
konfigurasi politik maka jawabannya menjadi agak sederhana, yakni korupsi
bisa diperangi secara lebih efektif jika konfigurasi politik benar-benar
demokratis.
Ada penilaian bahwa
masifikasi dan mengguritanya korupsi pada saat ini disebabkan oleh karena
bergesernya konfigurasi politik dari konfigurasi politik yang demokratis pada
awal reformasi ke konfigurasi politik yang oligarkis dan poliarkis selepas periode
pertama era reformasi. Alhasil, kita tidak boleh percaya bahwa korupsi itu
budaya kita.
Pernyataan Bung Hatta itu
harus dimaknai bahwa Sang Proklamator hanya ingin mengingatkan kita agar
berhati-hati dalam menyelenggarakan negara sehingga tidak lalai dan
membiarkan berkembangnya korupsi.
Kalau kita percaya bahwa
korupsi itu budaya kita, berarti kita adalah bangsa yang pesimistis dan
takluk kepada korupsi. Padahal, korupsi itu bisa dilawan oleh hadirnya
konfigurasi politik yang baik, yakni konfigurasi yang mampu membuat jaringan
instrumen untuk menegakkan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar