Kaleidoskop
Partisipasi ”Netizen” 2017
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
13 Desember
2017
Media sosial telah mengubah politik
Indonesia secara drastis, dari semula strukturalis menjadi populis dan dari
berorientasi kepada kekuasaan kini lebih kepada keseharian.
Perubahan drastis ini berimplikasi penting
pada menguatnya representasi dan partisipasi netizen melalui medsos secara
besar-besaran. Sepanjang 2017, netizen lewat berbagai aktivisme kliknya
mewarnai suhu politik, mulai dari kasus korupsi, pilkada, hingga suksesi
jabatan publik. Medsos telah memberikan konstruksi besar bahwa urusan
partisipasi dalam demokrasi Indonesia hari ini dimanifestasikan dalam isu yang jadi viral, dikomentari dengan
emoticon ”like”, ”love”, ”sad”, maupun ”angry”, kemudian diteruskan ke
berbagai grup medsos lain. Berbagai macam ekspresi ini sebenarnya sebentuk
ruang publik yang dibentuk dari ekspresi demonstratif yang kemudian merambah
ke relasi partisipatif.
Ruang publik digital selalu menyugesti
untuk selalu posting, viral, dan forward sehingga menimbulkan efek adiktif.
Inilah yang menciptakan berbagai macam karakter netizen yang tumbuh dan berkembang
di Indonesia. Netizen adalah demos versi digital di mana mereka berusaha
mengimplementasikan demokrasi substantif di medsos.
Alih-alih mendapatkan konsensus demi
kemaslahatan bersama seperti era
Yunani kuno, demokrasi digital justru menciptakan desas-desus yang berujung
pada kontestasi kepentingan. Hal ini sejalan dengan karakter netizen
Indonesia yang mewakili individualisme kelas menengah yang berpacu dalam
rivalitas mencari materi. Ekspresi dan partisipasi kelas menengah dalam
medsos adalah sebentuk konfirmasi ulang terhadap pemenuhan kepentingan yang
lebih besar melalui media digital. Maka, masalah eksistensi itu menjadi poin
penting dalam partisipasi digital untuk mendapatkan atensi yang lebih besar.
Dalam konteks ini, partisipasi politik melalui
medsos sebenarnya masalah eksistensi, apresiasi, dan kontestasi mengenai isu
dan masalah privat yang mampu menjadi isu publik. Kondisi ini yang kemudian
menciptakan polarisasi dalam partisipasi politik di medsos. Partisipasi
politik melalui netizen sublim yang didominasi kelas menengah atas lebih
condong mengangkat masalah apresiasi dengan mengangkat glamoritas sebagai
tema partisipasi politiknya.
Secara sosiologis mereka ingin diakui
sebagai kelas atas, secara politis mereka ingin diapresiasi sebagai kelompok
kepentingan. Sementara partisipasi politik netizen medium yang notabene
kalangan menengah didominasi kalangan terdidik lebih mengangkat masalah
eksistensi isu keseharian. Masalah pribadi terkait pelayanan publik jadi
bahasan kunci dari eksistensi politik mereka. Oleh karena itu membosankan
karena keluhan, desakan, dan tuntutan jadi tema utama.
Positifnya, kedua tipe netizen mencerminkan
adanya rasionalitas yang hendak dibangun kelas menengah Indonesia bahwa
kepekaan terhadap politik dimulai dari lingkungan sekitar. Karakter politik
dalam status medsos mereka bersifat post and discuss. Mereka bertanggung
jawab atas narasi informasi yang ditulis sehingga terjadi pola diskursif.
”Netizen”
anonim
Dibanding kedua tipe partisipasi netizen
itu, yang sebenarnya perlu dapat perhatian adalah netizen anonim yang mampu
menghasilkan relasi intim karena menghadirkan keterikatan masalah personal.
Netizen anonim menampilkan vulgarisme informasi yang secara cepat diserap
publik. Mereka memilih menyamarkan nama asli dan lebih menggunakan nama
populer yang mampu menjaring massa. Umumnya mereka mampu menciptakan
kebenaran dan hasutan dalam sekali menuliskan status di akun medsosnya.
Mereka umumnya menyasar kelas menengah bawah yang menempati porsi terbesar
dalam piramida demografi politik kelas menengah.
Netizen anonim hadir dari kelas menengah
bawah yang secara materi dan intelektual tak seperti dua tipe netizen lain.
Mereka menggunakan masalah emosional, identitas, atau primordial saat
menuliskan status di akun medsos. Status politik netizen anonim ini bersifat
hit and run sehingga tak bertanggung jawab atas substansi informasi yang
ditulis. Kondisi ini membuat isu cepat menyebar dan membesar di ruang publik,
baik nyata maupun maya.
Berbagai macam praktik intoleransi,
radikalisme, dan vigilantalisme lebih cepat menyubur melalui masyarakat kelas
menengah bawah daripada kelas menengah atas. Ini yang sebenarnya jadi celah
potensi hasutan menjadi terbuka di dunia maya, diteruskan di dunia nyata.
Kelas menengah yang mengklaim diri sebagai kalangan rasional bisa menjadi
delusional dan primordial karena celah hasutan ini.
Sepanjang 2017, ketiga tipe dan karakter
netizen ini yang mewarnai kancah politik informal dan politik digital. Untuk
2018, mereka bisa jadi aktor berpengaruh, apalagi dalam konteks pemilu
serentak dan pemanasan menjelang 2019. Namun, ada potensi berkembang tipe
netizen lain di kelas menengah mengingat karakternya yang dinamis dan butuh
kejelian menafsirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar