Kamis, 09 November 2017

Senjakala Kedigdayaan APBN

Senjakala Kedigdayaan APBN
Haryo Kuncoro  ;   Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta;
Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta
                                              KORAN SINDO, 06 November 2017



                                                           
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 baru saja disahkan DPR menjadi undang-undang (24/10). Pengesahan UU APBN 2018 menjadi sangat krusial terkait dengan 2018 sebagai tahun politik.

Imbasnya, semua item yang ada dalam APBN 2018 bisa menjadi ”komoditas politik”. Utang pemerintah adalah satu diantara sasaran empuknya. Per September 2017 misalnya total utang pemerintah menembus Rp3.866,45triliun. Jikadi lihat sejak 2014 sebesar Rp2.604,93 triliun, selama pemerintahan Jokowi-JKjum lahutangmelesat Rp1.261,52 triliun atau rata-rata naik Rp400 triliun lebih setiap tahun.

Besaran utang pemerintah niscaya terus bertambah sebagai akibat kebijakan defisit APBN. Defisit pada APBN 2018 mencapai Rp325,94 triliun. Namun, melihat utang yang akan jatuh tempo pada tahun depan menjangkau Rp315,1 triliun, peningkatan utang tampak nya akan lebih ekspansif. Meroketnya utang publik menimbulkan kegalauan perihal kemampuan keuangan negara dalam memenuhi kewajibannya.

Alhasil, kesinambungan (sustainability) fiskal menjadi isu utama dalam APBN 2018. Per definisi kesinambungan fiskal dimaknai sebagai kemampuan APBN untuk mem biayai seluruh kewajibannya da lam jangka panjang tanpa kehilangan kemampuan stimulasi dalam jangka pendek.

Literatur ekonomi menawarkan banyak kriteria kuantitatif untuk meng ukur derajat kesinambungan fiskal. Kriteria yang paling sederhana berbasis pada prinsip dasar akuntansi, yakni debet (penerimaan) harussamabesarde ngan kredit (kewajiban). Praktis, penerimaan pada APBN 2018 yang ditarget Rp1.618,1 triliun tidak cukup untuk menopang sasaran belanja Rp2.220,7 triliun.

Akibat itu, pemerintah harus menombok Rp325,94 triliun (2,19% dari PDB) untuk menutupi itu. Kendati defisit sudah menyusut dari outlook defisit 2017 (2,67%), tetap saja pemerintah mengalami ”besar pasak daripada tiang”. Karena itu, kegamangan awal terhadap kesinambungan fiskal sangat masuk akal.

Sinyal peringatan ketidakmam puan fiskal juga terpancar dari aspek dinamisnya. Celakanya, estimasi utang pada tahun berjalan (Rp399,2 triliun) lebih besar dari nilai defisit itu sen diri. Artinya, terjadi kelebihan aliran utang neto alih-alih berutang sesuai dengan ke butuhan.

Utang yang ditarik pada periode berjalan beserta aku mulasinya pada tahun-tahun sebelum nya membawa konse kuensi finansial berupa ke wajiban pembayaran bunga. Total pene rimaan dikurangi belanja di luar kewajiban bunga didapatkan neraca keseimbangan primer (primary balance).

Implisit, neraca keseimbangan primer menunjukkan kemampuan membayar bunga tanpa kehilangan kemampuan menjalankan fungsi utama APBN, yakni pertumbuhan, distribusi, dan stabilisasi sekaligus sebagai ruang gerak fiskal (fiscal space) dalam pengelolaan ekonomi makro suatu negara.

Demi memelihara fungsi utama APBN, neraca keseimbangan primer wajib positif. Faktanya, neraca keseimbangan primer malahan mencatatkan minus sebesar Rp87,3 triliun. Angka itu bahkan naik Rp9 triliun dari sasaran Rancangan APBN 2018. Intinya, struktur bangunan APBN 2018 sejatinya sudah rapuh.

Kerapuhan APBN 2018 berlanjut pada modus pembayaran bunga utang. Untuk tahun depan, pemerintah mengang garkan Rp220 triliun untuk membayar bunga. Dengan ruang gerak fiskal yang sempit, hanya ada satu kemungkinan pembayar anbungaberasal, yaknidari kelebihan aliran utang neto tadi.

Dengan demikian, APBN 2018 sudah bangkrut (insolvent). Kecenderungan bangkrut yang terjadi sejak 2012 ini patut diwaspadai. Fenomena gali lubang tutup lubang membawa konsekuensi risiko gagal bayar (default) terhadap kewajiban pembayaran utang dan bunganya semakin besar.

Risiko default yang semakin besar me nuntut suku bunga yang lebih tinggi lagi untuk dapat utangan baru. Mengambil contoh utang dalam negeri, kecenderungan di atas tampaknya berlaku. Surat utang negara (SUN) atau obligasi ritel Indonesia (ORI) menawarkan bunga 8% sampai 9% yang lebih tinggi daripada tingkat bunga deposito perbankan pada umumnya agar pemilik dana tertarik memegang SUN dan ORI.

Tingkat bunga tersebut, celakanya lagi, lebih tinggi daripada target pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,4%. Sederhananya, beban bunga utang lebih berat dari kapasitas ekonominya. Ini berarti pendayagunaan utang belum sampai pada level optimal sehingga tidak mampu memaksimalkan multiplier effect pada perekonomian.

Efek dari kondisi di atas ialah rasioutangpemerintahatasPDB selalu meningkat. Pada 2014 rasio utang publik mencapai 24,7% dan merangkak ke level 29% pada 2017 yang merupakan rasio tertinggi selama enam tahun terakhir. Alhasil, gradasi rasio utang mengisyaratkan probabilitas terjadi jeratan utang (debt trap) yang semakin besar pula.

Ringkasnya, eksistensi defisit, aliran utang neto, neraca ke seimbangan primer yang minus, insolvent, dan peningkatan rasio utang menjadi sehimpun variabel yang mengindikasikan bahwa APBN 2018 tidaklah berkesinambungan dalam arti yang sesungguhnya.

Dengan konfigurasi problematika di atas, implementasi fiskal 2018 dan tahun-tahun berikutnya mutlak harus mengedepankan aspek kesinambungan. Tantangannya, kenaikan belanja lebih banyak dialokasikan pada bantuan sosial yang memiliki kemampuan stimulasi yang lebih rendah daripada belanja barang/jasa misalnya.

Harapan stimulasi agaknya tercurah pada belanja infra struktur. Dalam pandangan pemerintah, belanja infra struk tur yang masif menciptakan daya dorong bagi perekonomian. Outcomenya bisa diserap kembali dalam bentuk pajak untuk meng akselerasi surplus neraca keseimbangan primer.

Agaknya, skenario ini tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Padahal, dalam jangka menengah dan panjang, berbagai perubahan niscaya terjadi. Konsekuensinya, APBN 2018 harus memperhitungkan pula risiko semacam ini. Risiko fiskal muncul tatkala terjadi peristiwa yang dapat diperkirakan sebelumnya seperti tidak terpenuhinya asumsi dasar penyusunan APBN.

Hal yang paling sulit ialah ketika risiko fiskal muncul tibatiba akibat suatu peristiwa yang berada di luar kendali seperti bencana, krisis global, dan turbulensi ekonomi eksternal. Semua ini, lagi-lagi, membawa akibat tambahan kewajiban kontingensi yang ujung-ujungnya merecoki keberlangsungan APBN.

Sampai pada titik ini, kemampuan mewawas jauh ke depan menjadi prasyarat utama. Prasayarat yang jauh lebih penting lagi ialah strategi antisipasinya. Kegagalan menyeimbangkan tujuan jangka pendek (stimulasi) dan jangka panjang (sustainability) menjadi ujian sebelum senjakala kedigdayaan APBN segera tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar