Sejarah
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan
Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
18 November
2017
Hari ini, Kamis Kliwon, 18
Agustus 2078, sebagai guru sejarah Nusantara, saya sudah siap di depan ratusan
pelajar sekolah menengah. Ini kelas gabungan karena seusai perayaan hari
kemerdekaan selalu ditradisikan ada pelajaran sejarah Nusantara untuk seluruh
siswa. Oya, negeri ini masih bernama Indonesia, namun banyak yang sudah
memakai nama Nusantara lantaran ada ahli yang menyebutkan nama Indonesia
secara nilai angka kurang bagus alias lebih banyak sialnya. Tapi itu tak ada
dalam buku sejarah yang saya pakai untuk acuan mengajar.
"Anak-anak, kita langsung
pada halaman 14," saya mengawali pelajaran. Semua anak membuka buku
pegangan yang sama dengan buku yang saya bawa. Guru sejarah saat ini tak
boleh keluar dari buku pegangan, betapa pun buku itu ditulis dengan
tergesa-gesa. Beda dengan guru bahasa. "Di akhir tahun 2017, 60 tahun
yang lalu saat kita semua belum lahir, ada ketua parlemen yang menghilang
sehari gara-gara mau diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi."
Saya teruskan. "Di halaman
5 sudah dijelaskan korupsi itu artinya ada pejabat yang menilap uang pajak
dari rakyat, padahal mereka sudah digaji." Seorang murid mengacungkan
tangan. "Pak Guru, korupsi itu kan haram. Kok, tak takut sama hukum
duniawi dan hukum akhirat?" Saya langsung jawab: "Waktu itu hukuman
duniawi sangat ringan untuk koruptor. Sedang hukum akhirat tidak ditakuti
karena agama di era itu lebih banyak untuk keperluan mengisi kolom KTP."
Tak ada yang ngacung, lalu saya
lanjutkan. "Anak-anak, kembali ke ketua parlemen yang diduga korupsi
itu. Sempat menghilang sehari, malamnya dia ditabrak tiang listrik. Eh,
maksud saya, mobilnya menabrak tiang listrik. Akhirnya masuk rumah sakit.
Cerita selanjutnya sesuai dengan yang ada di buku, penuh humor karena
masyarakat justru menuntut agar tiang listrik itu diperiksa sebagai
tersangka. Silakan kalian baca sendiri. Yang perlu saya garis bawahi, eh
jangan mengeluarkan penggaris, meski ketua parlemen jadi tersangka dan sempat
menghilang, dia tetap saja menjadi ketua. Itu karena wakil ketuanya juga
bermasalah, sudah dipecat dari partai."
Ada anak yang ngacung.
"Pak Guru, soal tiang listrik yang ditabrak, apa ada hubungannya dengan
penggabungan daya listrik yang heboh saat itu?" Saya kesal. "Kita
bicara korupsi, soal listrik tak ada di buku sejarah. Memang buku lain
menyebutkan, waktu itu PLN utangnya banyak, Rp 186 triliun, sementara listrik
berlimpah karena proyek ambisius 35 ribu megawatt hampir rampung.
Sebenarnya belum seluruh desa
di Nusantara teraliri listrik. Tapi, kalau itu dikerjakan, PLN kesulitan
membangun distribusinya, utangnya banyak. Ironis, setrum berlimpah, jaringan
distribusi tak bisa dibangun, akal-akalan pun dibuat. Pelanggan diguyur
listrik berlimpah dengan harapan rakyat boros pakai listrik. Lumayan, ada
pemasukan buat PLN."
Saya baru sadar memberi
pelajaran sejarah yang kurang fokus. "Anak-anak, kembali ke ketua
parlemen. Dia disebut sebagai orang yang licin, berkali-kali kena kasus
tetapi selalu selamat. Selain licin, juga cerdik. Selalu menempel kekuasaan
sehingga kasusnya semua masuk angin. Tapi di akhir tahun 2017 itu Presiden
Nusantara bernama Jokowi. Meski ketua parlemen itu sudah mendekat bahkan
mendukung pencalonan Jokowi untuk periode kedua, ketika dia kena kasus dugaan
korupsi KTP itu, Jokowi tak mau membantu. Sang Ketua tak bisa ngeles
lagi."
"Apa itu ngeles Pak
Guru?" seorang anak memotong. Saya kesal dan menggebrak meja: bruakkk.
Astaga, saya terbangun. Wow, rupanya saya lagi bermimpi. Edan tenan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar