Kangen
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI
Kompas Minggu
|
KOMPAS,
19 November
2017
Di suatu akhir pekan ketika
hujan turun dan langit menjadi gelap, saya menikmati suasana itu sambil
membaca novel Sang Priyayi karya Umar Kayam. Entah mengapa, ketika suasana
hati sedang gulana, buku itu selalu menjadi sasaran sebagai penghibur.
Dulu
Sebuah buku dengan tulisan yang
mudah dicerna, dan yang bisa membawa lamunan saya ke masa kecil dahulu. Ke
halaman di belakang rumah dengan pohon nangka yang berbuah ranum dan halaman
luas di depan rumah dengan pohon mangganya yang berdiri kokoh.
Di hari Sabtu yang berhujan itu
pun perasaan itu timbul lagi. Tiba-tiba rasa kangen yang sangat menyergap.
Kangen dengan ayah dan ibu, dan dengan si mbok yang kini sudah meninggal
dunia, yang kedekatannya telah membuat saya merasa ia menjadi Ibu kedua.
Masa kecil yang tak selalu
bahagia. Meski demikian, kebahagiaan kadang hadir saat bermain di halaman
belakang atau depan rumah itu. Dan ketika hari hujan dan angin lebat menerpa
seperti hari-hari belakangan ini, saya dan adik berlarian bermain hujan dan
tak pernah khawatir disambar petir atau kejatuhan ranting-ranting pohon.
Saya kangen dengan diri saya
dahulu, meski sejujurnya saya tak ingin memiliki masa kecil seperti yang
pernah saya jalani. Saya rindu dengan kelengkapan anggota keluarga meski tak
selalu rukun, meski kekesalan terhadap anggota keluarga itu membekas,
kerinduan kadang menyelinap masuk ketika kesendirian terasa di masa menjelang
tua ini.
Di masa itu tak sekalipun
terlintas bahwa kematian itu bisa terjadi kepada keluarga kami dan
memorakporandakan kebahagiaan. Saya rindu akan masa kecil itu, pada sebuah
masa di mana ketakutan akan masa depan dan kesendirian tak pernah
terpikirkan.
Sedari kecil, saya tak pernah
menjadi bintang. Baik bintang kelas dan bintang dalam gaya hidup anak di
zaman itu. Saya bukan rajanya pesta, penampilan saya sangat biasa
dibandingkan mereka yang zaman itu sudah mampu bepergian ke luar negeri dan
berpenampilan dengan pakaian yang saya tahu itu menjadi pembeda status.
Saya bukan anak yang dilahirkan
dengan kekayaan yang luar biasa. Saya bukan murid yang dipilih menjadi ketua
kelas. Saya hanya anak yang sangat biasa, pesonanya sama sekali tak ada.
Di masa kecil itu, saya tak
bisa mem-bully, tetapi acapkali jadi korban bully-an.
Sekarang
Saya rindu kepada keadaan yang
biasa saja itu meski di masa itu olok-olok soal kebodohan dan soal penghinaan
sudah sering keluar masuk ke dalam gendang telinga dan ke dalam hati. Saya
kangen dengan kegalakan ayah, dengan kekikirannya yang sangat.
Saya kangen pada badan ibu yang
lumayan montok dan terlihat cantik ketika berkebaya. Saya kangen kepada
kebiasaannya mengajak saya ke pasar basah dan melihat ia menyapa dengan ramah
tukang daging dan sayur langganannya. Dan saat ibu meninggal dunia, mereka
yang disapanya di pasar basah itu hadir di antara kerumunan lainnya.
Sekarang ini, saya sudah tak
pernah ke pasar lagi. Kalau keramahan ibu hadir di antara bau ikan dan
beceknya keadaan pasar basah, sekarang ini saya menyapa manusia di
ruang-ruang yang harum mewangi. Berbeda suasana, berbeda manusia.
Saya rindu kepada keberadaan
saya yang biasa itu, yang meski dihina sekalipun saya dapat menyapa orang
lain dengan tanpa alasan di belakangnya. Sekarang ini, saya seperti bintang
layar lebar. Bisa berakting menyapa dan memeluk sesuai skenario yang saya
buat sendiri dan yang saya sesuaikan dengan keadaan.
Saya bisa mengenal mereka hari
ini, dan melupakan mereka di lain hari. Kalau tukang patri, pedagang ikan,
dan sayuran hadir di pemakaman ibu, saya sungguh tak tahu apakah yang saya
sapa dan saya peluk dengan skenario di belakangnya juga akan hadir ketika
saya terbaring di pemakaman.
Sekarang saya belajar soal
gengsi, sementara di masa kecil itu, di masa saya berlarian di taman luas di
bawah pohon mangga yang rindang dan kokoh, gengsi pun saya tak mengerti.
Sekarang, untuk menjadi sederhana itu susahnya setengah mati. Bagaimana
tidak?
Waktu saya kecil tak pernah
mengenal uang. Saya tak dibekali uang. Pertama kali memiliki uang adalah saat
bekerja sebagai perancang busana di masa menjadi mahasiswa. Uang dua ratus
lima puluh ribu rupiah itu mampu melambungkan saya ke langit ketujuh dan
merasa menjadi begitu kayanya.
Sekarang uang menjadi nomor
satu. Dan sering kali menjadi frustrasi mengapa saya tidak juga kaya raya.
Meski demikian, saya tak pernah merasa perlu untuk korupsi. Seingat saya,
saya tak pernah melakukan kegiatan gelap itu.
Di akhir pekan itu, ketika
hujan dengan derasnya mengguyur Jakarta, saya merasa saya sudah berubah
terlalu drastis. Saya kangen kepada hidup yang dulu begitu sederhananya. Saya
rindu kepada keadaan yang tak pernah cemburu dan kesepian.
Saya rindu pada ketidaktahuan soal
perselingkuhan dan rindu kepada keyakinan bahwa saya tak akan pernah sendiri.
Sebuah kehidupan yang tak pernah tersakiti karena cinta, meski ketika ayah
saya menikah untuk kedua kalinya karena cinta, saya seperti orang gila
rasanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar