Jilbab
dan
Debat-Debat
Artifisial atas Tubuh Perempuan
Kalis Mardiasih ; Menulis opini dan
menerjemah;
Aktif sebagai Periset
dan Tim Media Kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan
pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama
|
DETIKNEWS,
17 November
2017
Kain penutup kepala perempuan
muslimah kini memang bukan sebuah barang asing di media massa Eropa. Ia ada
di majalah, ada di televisi, bahkan ada di panggung Yezzy Season 5 Catwalk
yang mempertontonkan desain terbaru kerudung keluaran Nike dan Debenhams. Banyak
industri kelas dunia kini menggunakan model berhijab untuk menyukseskan
hasrat bisnis, seperti L'Oreal Paris yang menggaet youtuber berhijab Amena
Kin.
Tetapi, peraturan yang
dikeluarkan oleh pengadilan Eropa ternyata berlawanan. Mereka melarang pekerja
mengenakan pakaian yang memuat simbol pemikiran maupun agama, utamanya di
lingkungan profesional. Peraturan itu paling kuat tentu merujuk kepada
pemakaian jilbab. Dalam hal ini, syukurlah perdana Menteri Inggris masih
cukup lunak mengakomodasi desakan dari para aktivis Hak Asasi Manusia untuk
memberikan hak pekerja berjilbab, di saat Pemerintah Austria telah sejak lama
menerapkan larangan ini.
Meskipun demikian, terbitnya
peraturan legal ini sedikit banyak tentu memiliki pengaruh pada kebijakan
internal perusahaan tertentu. Laporan European Network Against Racism pada
Agustus 2016 menyebutkan, lebih dari 50% perempuan yang mengenakan jilbab
kehilangan kesempatan untuk berkiprah di ruang publik karena alasan
diskriminasi keagamaan.
Dalam kolom berjudul OK in
Magazines, No Go in Workplaces, Humairah Hanif memungkasi opininya dengan
kalimat, "So please start accepting me for what is in my head, rather
than what is on it." Kalimat itu terdengar sedikit depresif. Humairah
sedang ingin meminta masyarakat Inggris untuk melihat isi otaknya, dengan
tanpa mengunggulkan jilbab di kepalanya. Dalam kalimat Humairah, jilbab di
kepalanya seperti tidak memiliki kuasa apa pun. Ia hanya ingin dilihat dari
sisi lain yang ia miliki, dalam hal ini adalah intelektualitas. Benar bahwa
jilbab adalah identitasnya sebagai muslimah. Titik. Tapi jilbab Humairah
tidak mewakili kesalehan, moralitas, ataupun gerakan perlawanan tertentu
layaknya Iran pada medio 70-an.
Seharusnya memang begitu.
Terlalu remeh menyetarakan kesalehan dengan selembar kain tipis di kepala.
Secara subjektif sekaligus objektif, saya yang telah berjilbab selama lebih
dari separuh masa usia saya, berani menjamin itu. Masalah yang datang silih
berganti dalam hidup, dalam konteks pemecahannya yang terkait spiritualitas,
tidak ada kaitannya dengan jilbab. Pelajaran kebaikan seperti keikhlasan,
tawakal, qanaah, serta mengasihi lebih cenderung melibatkan pergulatan batin
yang berlipat kali lebih rumit dari sekadar kain. Sebaliknya, jilbab juga tak
memiliki peran kepada tindakan kesalahan yang akhirnya disesali seperti
kebohongan dan kebencian.
Rina Nose baru-baru ini dihujat
warganet sebab melepas jilbab. Ia bilang, "Mereka yang beragama justru
yang paling keras menghujat saya dan membuat saya takut." Diam-diam, saya
mendukung langkah Rina. Saya selalu ingat nasihat Habib Luthfi Bin Yahya
untuk tetap menjadi manusia biasa. Kita boleh berproses mendekat kepada Tuhan
selangkah demi selangkah seiring pekerjaan yang kita geluti, juga aktivitas
yang kita cintai saat ini, tanpa harus meninggalkannya. Habib Luthfi pandai
menyanyi dan bermain alat musik. Gus Mus pandai bersajak dan piawai melukis.
Dalam nasihat itu, ada pesan,
siapa tahu dalam kiprah kita saat ini adalah yang paling membawa manfaat dan
keberkahan untuk diri sendiri, keluarga, atau publik luas? Misalnya,
bagaimana jadinya ketika kita dituntut meninggalkan pekerjaan tiba-tiba sebab
pekerjaan kita dituduh riba dan nista, padahal pendapatan itu selama ini
adalah sumber halal untuk membiayai pendidikan anak atau orangtua yang tengah
sakit keras? Percayalah, memakai simbol kesalehan lalu berjualan oleh-oleh
dengan label islami bukanlah jalan hijrah satu-satunya. Biarkan Rina Nose
menempuhi jalan hijrah dengan lebih tenang dan tidak terburu-buru.
Memang banyak kesalahpahaman
tentang hal ini. Kondisi semakin buruk ketika alur reproduksi ilmu
pengetahuan keagamaan terkait kehidupan perempuan, rantai makanannya
bersumber dari para dai yang mempersetankan perempuan. Masih ingat Febri
Sugianto yang berujar bahwa pembalut dan sepatu hak tinggi dapat
mengakibatkan perempuan susah hamil? Ambisi sesatnya untuk mengatur bagaimana
perempuan berpakaian itu jatuh kepada pernyataan yang begitu diskriminatif
dan patriarkis. Pertama, seolah perempuan yang tak bisa hamil adalah kesialan
sekaligus kesalahan. Kedua, perempuan yang susah hamil disebabkan oleh
tindakannya yang tidak patut soal apa yang ia kenakan.
Atau, masih ingat pernyatan
Zulkifli Ali yang memvonis perempuan sesar disebabkan mereka dirasuki jin?
Juga, Syamsuddin Nur Makka yang penuh semangat mengimajinasikan pesta seks di
surga dengan belasan bidadari perawan yang ia objektifikasi? Klaim-klaim yang
memposisikan perempuan semacam daging mati yang tak punya akal pikiran dan
kehendak itu, selamanya tak akan mengizinkan perempuan memiliki hak untuk
bertindak.
Selain kepada produksi dai yang
misoginis itu, kita juga wajib mendiskusikan bagaimana kalimat iklan industri
jilbab bekerja. Brand pakaian muslimah seorang ustaz mualaf misalnya, selalu
mengkampanyekan bahwa perempuan yang memakai jilbab akan nampak lebih cantik,
dan tentu saja lebih salihah. Kalimat jualan ini dibungkus oleh ayat-ayat
agama yang memiliki kekuatan kepada truth. Sehingga, simpulan yang diproduksi
adalah mereka yang tak berjilbab tidak cantik dan tidak memiliki moralitas
yang lebih baik. Simpulan semacam ini menajamkan perang stigma
antarperempuan.
Di tengah perempuan yang tengah
memperjuangkan hak akan sesuatu yang lebih substantif seperti cuti hamil,
gaji buruh perempuan, hukum pelecehan dan kekerasan seksual hingga wacana
affirmative action yang belum optimal, kita selalu saja tersandung oleh debat
artifisial atas kuasa tubuh semacam ini. Sayangnya, produsen pakaian muslimah
yang percaya pada klaim kecantikan dan kesalihan nan rapuh itu sebagian besar
juga adalah perempuan sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar