Momen
Kritikal Kaum Milenial
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
18 November
2017
Sesungguhnya betapa indah dan
melegakan optimisme yang meruyak di masyarakat kita, dari akar rumput hingga
elite, bahkan pimpinan tertinggi, terutama tentang bangkitnya generasi baru
bangsa. Generasi yang kita sebut milenial alias mereka yang lahir sebagai
bagian dari generasi Y (lahir tahun 1980-an) dan Z (lahir tahun 2000-an).
Sesungguhnya, jika optimisme itu berbasis pada realitas yang juga
sesungguhnya.
Namun, baiklah, kita berefleksi
sejenak tentang optimisme yang sesungguhnya. Mengingat belakangan hari ini,
negeri kita justru dilanda pelbagai gangguan, dalam dimensi sosial, politik,
hukum, agama, hingga kultural. Harus diakui, gangguan-gangguan itu dalam
praksisnya menciptakan kerepotan serius dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa sehingga hampir semua kalangan-jujur saja-mengalami semacam
kecemasan yang hampir tak ada presedennya dalam sejarah negeri ini. Apakah
republik ini dapat dilanjutkan, kesatuan bangsa juga apakah dapat
dipertahankan? Demikian antara lain kecemasan itu.
Optimisme lahir sebagai jawaban
abstrak-jika tidak absurd-atau panasea dari kecemasan yang dalam beberapa
tingkatan bersifat akut, bahkan kronis, itu. Tentu saja refleksi dibutuhkan
agar jawaban tersebut tidak menjadi semacam pelarian (escaping) dari kondisi
psiko-sosial kita yang menderita semacam neurotika keadaban. Katakanlah,
seperti dinyatakan Voltaire, optimisme itu tidak lain semacam kegilaan yang
meyakini “kita baik-baik saja” walau kenyataan sesungguhnya memilukan.
“Optimism is the opium of the people,” kata novelis Milan Kundera yang
seperti mengingatkan adanya bahaya lain di balik optimisme, apalagi jika ia berlebihan.
Boleh jadi. Optimisme
belakangan ini menjadi semacam social (lebih tepatnya political) bubble, yang
digelembungkan dalam suasana di mana kita bersama sering bicara tentang
kelebihan, potensi, hingga keajaiban bangsa dan negeri ini, hampir tanpa
argumentasi atau penjelasan historik dan akademik yang kuat.
Jika tidak persepsi, ia
imajinasi, bahkan ilusi. Soal kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Atlantis yang
tersembunyi, “bangsa yang luar biasa kebudayaannya”, masyarakat yang santun
dan gotong royong, manusianya yang jujur, toleran dan multikulturalistik, dan
sebagainya.
Namun, siapakah pihak yang
memiliki kemampuan, apalagi otoritas, menjelaskan latar dari semua pernyataan
indah yang kian lama terasa menjadi slogan di atas? Dari akar faktual apa kita
ini bangsa yang, katakanlah, “santun” dan “gotong royong”, dan lain-lain?
Kecuali dengan beberapa penjelasan “ideologis” yang kita mafhum-sebagaimana
umumnya ideologi-didesain untuk menciptakan mimpi bahkan ilusi tentang masa
kini dan masa nanti.
Mengapa kita begitu mudahnya
menciptakan frasa-frasa indah dalam diksi, bahkan ajaib dalam persepsi,
seolah kita begitu bernafsunya hendak menutupi kenyataan buruk dan bobroknya
dari diri kita, secara eksistensial juga aktual.
Situasi ini menjadi momen yang
sangat kritikal, bukan hanya pada umumnya kita seluruh bangsa, namun terutama
pada generasi milenial, pihak di mana kita bebankan berat dan tingginya
harapan kita pada pundak mereka. Apakah benar mereka, kaum milenial itu,
adalah ingredient utama dari gelembung optimisme itu?
Adakah mereka sadar, menerima,
dan merasa mampu untuk membawa beban yang dengan “seenak udelnya” kita
kalungkan di leher mereka? Tidakkah sesungguhnya realitas mutakhir malah
menunjukkan bukti-bukti sebaliknya, dan dalam waktu lama akan membuat
balon-balon slogan itu meletus, menciptakan bencana yang lebih tak terduga?
Tragedi pendidikan
Seperti pernah saya tulis di
harian ini, sebuah film dokumenter produksi CNN International, Ivory Tower,
melukiskan dengan gamblang bagaimana bobroknya dunia perguruan tinggi di
Amerika, di mana hampir semua mahasiswanya terjerat dalam kredit pendidikan
yang sebagian besar tak dapat dilunasi, bahkan hingga mereka bekerja dua kali
seumur hidupnya. Bagaimana universitas-universitas ternama menawarkan jasa pendidikannya
seperti menawarkan jasa wisata berbiaya sangat tinggi karena dilengkapi
dengan fasilitas atau fitur-fitur mewah yang membuat iri lembaga pendidikan
mana pun di dunia.
Kenyataannya, mereka yang
akhirnya lulus, bahkan dari pelbagai perguruan tinggi ternama, tidak
mendapatkan pekerjaan yang pantas, kecuali menjadi pelayan restoran, juru
tik, atau tenaga sales dari produk rumahan. Beberapa artikel di media
ternama, termasuk buku-buku dari sarjana terkemuka, belakangan hari bahkan
menihilkan fungsi dari ijazah berbagai universitas top sebagai modal mencari
kerja. Berkat banyak perusahaan multinasional terkemuka justru membuka
peluang lowongan kerja eksekutif tanpa syarat ijazah atau gelar kesarjanaan
apa pun.
Dan kita sama-sama tahu info
leaks terbaru, hasil investigasi wartawan The Guardian dan teman-teman
jurnalisnya dari sekitar 100 media dan kemudian dikenal sebagai Paradise
Papers, juga menunjukkan bagaimana busuknya praktik keuangan dan para
perilaku elite pengurus perguruan tinggi di AS. Bisa Anda bayangkan sendiri,
menurut laporan itu, tak kurang dari 104 universitas ternama di AS telah
menanamkan uangnya-tentu hasil dari memeras orangtua mahasiswa atau lembaga
donor-di lembaga-lembaga keuangan off-shore yang merupakan tempat
persembunyian para pengemplang pajak (tax haven) di mana mereka dapat sedikit
saja atau bahkan sama sekali tidak membayar pajak secara “legal”.
Di antara universitas itu
termasuk lembaga-lembaga yang tergabung dalam Ivy League, seperti universitas
di Princeton atau universitas-universitas negara macam Rutgers di New Jersey
dan Ohio. Atau katakanlah beberapa nama yang penuh prestise dan gengsi juga
jadi acuan mahasiswa kita dan seluruh dunia, semacam universitas Columbia,
Stanford, Pennsylvania, dan lainnya. Dan dana yang mereka simpan atau putar
di luar negeri itu ada dalam jumlah yang tak terbayangkan hingga memosisikan
mereka sebagai pemain utama dalam kriminalitas keuangan terbaru ini, yakni
500 miliar dolar AS atau sekitar Rp 6.500 triliun-lebih dari tiga tahun Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara 250 juta manusia di negara kita.
Fakta ini seperti membakar
hangus persepsi, imaji, hingga mimpi-mimpi kita tentang kedigdayaan perguruan
tinggi di AS. Lembaga yang menghasilkan mayoritas penerima Nobel, karya
ilmiah utama dunia lebih dari seabad terakhir, hingga program, fasilitas,
studi-studi hebat tentang lingkungan, kenaikan air laut, atau perubahan
iklim. Ternyata sebagian cukup besar dari dana yang dihimpun dari kaum pemuda
milenial AS itu ditanamkan pada beberapa lembaga lindung nilai (hedge fund)
utama dunia untuk diinvestasikan pada pelbagai perusahaan global yang
mengurus energi fosil dan industri-industri penghasil polutan.
Maka, bukan lagi ironi, tetapi
segera menjadi tragedi, ketika ideal-ideal yang ada dalam kepala kita,
termasuk generasi milenial dan lembaga-lembaga pendidikan (termasuk milik
negara) kita, diajukan dan diacukan pada realitas idealistik yang tidak lain
adalah gelembung akademik (academic bubble) yang diciptakan dengan
kesengajaan mengerikan di atas. Pendidikan, dunia akademik, mungkin keilmuan
sejak mula awal di sistem pendidikan kita harus diperhitungkan lagi sebagai
sumber modalitas perkembangan, kemajuan, atau kejayaan masa depan seorang
anak.
Dengan itu, sesungguhnya satu
dari tiga pilar utama, selain aksesibilitas pada internet dan energi usia
muda, yang mengonstruksi bangunan harapan atau optimisme pada generasi
terbaru kita sudah runtuh seperti Menara Babel.
Masa depan katastrofi
Maka, kemudian dengan modal
pengetahuan skolastik yang invalid dalam menciptakan hubungan antara
abstraksi kognitif dan realitas empiris itu, kaum milenial masuk dalam
kehidupan nyata yang sulit diprediksikan dan penuh tantangan keras ini.
Begitu memasuki ruang-ruang aktualisasi, hampir di semua dimensi kehidupan,
mereka harus berhadapan dengan taipan-taipan (bisnis, politik, akademik,
hingga budaya) yang kaki-kakinya begitu besar sehingga mereka harus jadi
kurcaci yang hanya bisa mengikuti angin langkah kaki para taipan itu.
Relasi sosio-kultural yang
paternalistik atau patron-klienistik di negeri ini tidak hanya harus dipahami
dalam hubungan moral dan perilaku saja, tetapi juga sebagai bentuk dominasi,
penaklukan, atau pengerdilan mereka yang menjadi “klien”, kelas bawah, rakyat
kecil dan menengah. Itu kenyataan di mana-mana, sebenarnya, terlebih ketika
negara tidak menjadi pengawal atau moral canopy dari para klien alias
rakyatnya yang jelata.
Di saat bersamaan, kenyataan
kehidupan yang terus bergerak dalam rezim pembangunan yang represif, kemajuan
teknologi dan geopolitik yang kian mencengkeram hingga tingkat personal, tak
peduli keterbatasan posisional yang dialami klien, kaum milenial dalam hal
ini. Kaum ini sesungguhnya cukup belingsatan saat harus menerima, sekali
lagi, secara represif, tsunami perubahan yang memaksa mereka tidak hanya
membuka ruang-ruang privat mereka, tetapi menekan mereka untuk melakukan
perubahan-dari identitas hingga tradisi mereka-sebagai satu hal yang seakan
taken for granted.
Mereka tak tahu, karena tak
sama sekali memiliki bekal, nilai-nilai, moralitas, hingga standar etika dan
estetika, apa cara terbaik menghadapi represi perubahan itu ketika
sumber-sumber tradisional yang selama ini mengisi jiwa dan batin kita,
seperti adat, agama, dan hukum formal, jika tak jadi pecundang juga jadi
korban dari zaman itu. Betapa sesungguhnya bukan optimisme yang pantas kita
gelembungkan di dada dan kepala mereka, melainkan keprihatinan dan kewajiban
yang berlipat kuat untuk membantu mereka mengatasi kondisi kritikal yang
memilukan, yang membuat mereka menjadi generasi yang sesungguhnya lost alias
lenyap itu.
Di saat itulah, kaum milenial
ini menemukan sebuah “dunia baru”, di mana mereka seperti bisa bermain bebas,
termasuk bebas nilai, bahkan seolah bisa dan bebas mewujudkan apa yang
menjadi kegelisahan, mimpi, hingga imajinasi mereka, yakni dunia virtual dari
platform internet. Mereka mungkin tak sadar, dunia baru yang bebas itu
sebenarnya memang kebebasan sesungguhnya, yang bukan hanya tanpa preseden,
melainkan juga tanpa demarkasi apa pun, tanpa hukum, tanpa agen atau lembaga
yang mendukung atau melindungi. Dunia yang tak lain adalah hutan selebat dan
seganas rimba purba, di mana survival of the fittest adalah hukum utama,
sebagaimana zaman primitif dulu.
Di dalamnya, pertarungan bebas
yang lebih kejam dari free fighting terjadi di hampir tiap detiknya. Entah
berapa banyak yang menjadi korban, tewas tidak hanya secara eksistensial,
tetapi juga bahkan finansial hingga fisikal. Para pemenang besar pun
bermunculan menjadi pohon-pohon besar yang menguasai rimba itu, yang akan
segera melahap pohon kecil mana pun yang sedang tumbuh memperkuat akarnya.
Itulah nasib, katakanlah, bisnis start-up yang kini menjadi andalan kaum
milenial. Nasib para pejuang mula yang harus berhadapan dengan gergasi macam
Facebook, Apple, Google, atau Alibaba, kekuatan gigantik yang siap menelan
mereka dengan akuisisi triliunan rupiah, uang receh bagi mereka.
Dan apa yang terjadi pada
generasi sisanya dari bangsa ini, para eksponen generasi X dan sebelumnya?
Bukannya menjadi pasukan pengawal atau pemberi modal-baik modal sosial,
kultural, politis, maupun yuridis-yang memproteksi atau melindungi
penjelajahan penuh tantangan kaum milenial itu, kita justru memundakkan
gelembung karung optimisme pada langkah mereka yang sudah berat itu. Ini akan
menjadi tidak hanya kesesatan (fallacy) bagi para penanggung jawab negeri
ini, tetapi juga menjadi dosa besar karena sesungguhnya dengan itu kita telah
memperkuat ancaman atau membuat sumbu bom waktu itu kian pendek: meledakkan
katastrofi generasi milenial kita.
Maka, berhentilah kita bercanda
dengan senyum-senyum penuh dusta itu. Marilah bekerja keras untuk kaum
milenial itu, bukan sebaliknya, mendesak mereka bekerja keras untuk rasa
nyaman kita. Rasa nyaman koruptif yang mengorosi justru bangunan kebangsaan
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar