Minggu, 19 November 2017

Mengajar Murid Kurang Ajar

Mengajar Murid Kurang Ajar
Saifur Rohman  ;  Pengajar Program Doktor  di Universitas Negeri Jakarta
                                                    KOMPAS, 18 November 2017



                                                           
Seorang oknum guru  SMPN 10 Kota Pangkal Pinang, Bangka Belitung, diduga telah menghajar siswa berinisial R, awal Oktober 2017.  Berdasarkan video yang beredar, guru melakukan pemukulan, tendangan, dan penyeretan lebih dari 15 kali. Siswa yang hendak menenangkan pun kena sasaran pukulan lebih dari lima kali. Berdasarkan penyelidikan, kejadian itu akibat murid mengejek dengan cara memanggil nama secara langsung. Setelah kejadian, kepala sekolah menyatakan, badan korban panas karena penyakit bisul di pantatnya.

Sebuah lembaga tentang anak bermaksud melakukan pengaduan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bagaimana pemerintah mesti menyikapi kasus ini? Kalau harus menggunakan prinsip pembenaran, siapa yang pantas disalahkan? Kasus kekerasan dalam pembelajaran tentulah tidak bisa dibenarkan. Dalam prinsip pembelajaran, seorang guru haruslah mampu membawakan materi ajar dengan cara yang menyenangkan. Baik guru maupun murid berada dalam suasana yang akrab dan kondusif untuk pembelajaran.

Guru senang, murid pintar

Dalam praktik tentulah tidak mudah. Persoalan-persoalan yang dihadapi guru bukan sebuah barang yang dapat diidentifikasi berdasarkan sampel, tetapi subyek manusia yang memiliki identitas yang unik. Teknik pembelajaran demikian tidak bisa diseragamkan. Begitu pula dasar-dasar komunikasi juga tidak selalu menggunakan prinsip yang sama di seluruh penjuru negeri.

Bila pemikiran tersebut dipahami, maka tak sulit melihat bahwa kasus kekerasan yang dilakukan guru bukan semata-mata menjadi tanggung jawabnya. Ada persoalan-persoalan dasar yang perlu dipahami bersama. Pertama, perilaku murid yang kurang ajar merupakan kegagalan keluarga, lingkungan, dan sekolah. Dalam teori pendidikan Ki Hadjar Dewantara, pola asuh merupakan bagian penting dalam trisentra pendidikan. Dalam kasus ini, memanggil nama secara langsung dalam konteks di sekolah merupakan pelanggaran yang sangat serius.

Hal itu pastilah bukan yang pertama. Perilaku itu merupakan akumulasi dari peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dalam tradisi masyarakat, panggilan terhadap seseorang menjadi alat ukur kesantunan setiap pribadi. Dalam komunikasi keluarga, seorang anak harus memanggil kakak untuk saudara kandung lebih tua. Di luar keluarga inti, sekalipun umurnya lebih tua dalam jalur saudara sepupu, seorang anak juga harus memosisikan diri sebagai adik untuk anak yang lahir dari kakak orangtuanya.

Dalam pergaulan sehari-hari, panggilan pada seseorang mendapatkan peran penting. Contoh, seorang yang lebih dulu masuk dalam komunitas tertentu secara otomatis akan dipanggil kakak pembina sebagai perwujudan penghormatan terhadap senior.

Kedua, dari perspektif pribadi guru, pemerintah telah keliru melakukan pembinaan terhadap guru. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen memberikan amanat dalam Pasal 10 Ayat 1 tentang pentingnya empat kemampuan dasar bagi guru, yakni kompetensi pedagogi, sosial, kepribadian, dan profesional. Seorang guru dituntut tak hanya mampu mengontrol emosi, tetapi juga santun di dalam sekolah. Hal itu harus ditopang kemampuan guru mengajar dan materi yang diajarkan.

Ketiga, pemerintah selama ini gagal melakukan pembinaan kompetensi sosial dan kepribadian. Hal itu terbukti dalam pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) yang hanya menurunkan soal dari dua kompetensi: profesional dan pedagogis. Isinya tentang teori pembelajaran dan kualitas materi ajar.

Guru pintar

Ujian kompetensi ini hanya meloloskan guru-guru yang pintar secara akademis. Guru-guru yang memiliki pengalaman panjang dalam mengajar dan mengelola siswa tidak dapat tempat dalam tes itu. Jadi, tidak sulit memahami bahwa guru-guru senior memiliki nilai UKG yang buruk.

Di dalam kerangka evaluasi, tolok ukur penting bukan hanya skor hasil penilaian, tetapi juga alat tes yang digunakan. Sebuah skor yang rendah tidak selalu memberikan indikasi buruknya kualitas seorang subyek tes, melainkan perlu menelusuri alat tes yang digunakan. Jika direfleksikan dalam pembinaan guru di Indonesia, alat tes yang tidak memadai kiranya tak bisa dijadikan sebagai alat ukur untuk kompetensi guru secara keseluruhan.

Keempat, Kurikulum 2013 yang dicanangkan pemerintah tak mampu menampung konsep pembelajaran yang didasari pada pembinaan budi pekerti. Kurikulum memusatkan proses pembelajaran pada satu metode saintifik yang sangat pragmatis dan material. Sementara hasil pembelajaran dinilai berdasarkan kemampuan siswa menghasilkan barang. Inovasi dan kreasi jadi kata kunci dalam pembelajaran.

Kurikulum ini tak mampu menjawab pertanyaan tentang rancangan pembelajaran yang didasarkan pada pendidikan budi pekerti. Pembentukan watak cenderung dilakukan oleh satuan pendidikan berdasarkan penafsiran masing-masing. Ada yang mengutamakan cium tangan di pintu gerbang sekolah, membacakan ayat-ayat suci di tengah lapangan, hingga menjalankan ibadah secara bersama-sama.

Pendidikan budi pekerti bukanlah pengetahuan yang luas tentang agama dan urutan melakukan ibadah. Hal itu terletak pada konsep pembangunan manusia seutuhnya yang adil dan beradab. Pendeknya, pendidikan bukan jumlah pengetahuan, melainkan kualitas perilaku dari tiap peserta didik. Disiplin hanya menghasilkan ketundukan, tetapi tidak membentuk mental.

Seperti kata pepatah “mendulang air tepercik ke muka sendiri”, kasus kekerasan di sekolah merupakan bukti kegagalan proyek pendidikan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar