Kuasa
Kata
Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual
dan
Dosen Komunikasi Visual
FSR ISI Yogyakarta
|
KOMPAS,
18 November
2017
Kuasa kata menjadi kambing
hitam terjadinya perang pesan verbal antarwarganet di media sosial. Kuasa
kata yang mewujud menjadi ujaran “nyinyirisme” biasa berkelindan dalam
pemandangan lini masa di medsos. Kuasa kata juga menguasai jagat komunikasi
politik di lingkaran tokoh publik, pejabat negara, dan anggota Dewan. Kuasa
kata yang membara menjadi perang pesan
verbal bersumber dari gagasan dan kebijakan yang mereka kumandangkan. Mereka
sengaja menggoreng kebijakan yang
bermuara dari gagasan impulsif bernuansa subyektif. Mereka menisbikan rasa
perasaan warganet dan melumpuhkan akal sehat warga masyarakat.
Pada titik itulah kuasa kata kemudian
melahirkan fenomena gagal paham komunikasi. Dampaknya berhasil
memorakporandakan bangunan konsep komunikasi sosial yang sudah berlangsung
nyaman. Ujung dari semua itu,
menyebabkan kehidupan patembayatan warganet dan warga masyarakat menjadi
gaduh melenguh-lenguh.
Gagal paham
Fenomena gagal paham komunikasi
di atas menegaskan kekuatan kuasa kata yang berujung miskomunikasi di medsos.
Miskomunikasi di medsos paling membahana saat ini adalah kesalahpahaman
antar-para pihak akibat perang wacana atas kuasa kata yang dilontarkan
gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta
Fenomena gagal paham komunikasi yang
dipantik pidato, komentar, pendapat serta pernyataan gubernur dan wakil
gubernur DKI lalu membara di medsos. Alirannya kemudian merembet ke seluruh
media massa cetak dan elektronik. Efek turunannya berlanjut dengan polemik
“nyinyirisme” yang semakin memanas di medsos antara kelompok haters lawan
geng pendukung pernyataan orang nomor satu dan nomor dua di kantor
pemerintahan DKI Jakarta.
Atas fenomena gagal paham
komunikasi ini, sejatinya ada perbedaan pemahaman makna pesan verbal dan
visual atas kuasa kata yang dilontarkan kedua belah pihak ketika sedang beku
hatinya. Akibatnya, gagal paham komunikasi jadi sajian tak membahagiakan yang
harus dikonsumsi warganet dan masyarakat.
Sebaliknya, bagi kelompok
tertentu fenomena gagal paham komunikasi justru sangat membahagiakan dalam konteks perolehan
atensi like jempol biru. Ujungnya, pengelola akun medsos yang mengendalikan
gelombang magnetik gagal paham komunikasi dapat penghasilan tetap. Berbagai
iklan yang menempel di laman yang dikelolanya senantiasa mengucurkan sejumlah
fulus atas capaian ini.
Dalam perspektif budaya visual,
harus diakui, sosok gagal paham komunikasi merupakan representasi setan. Ia
selalu mengejawantah dalam sebuah proses komunikasi. Apalagi proses
komunikasi yang tak sejalan bagi peruntukan komunikasi itu sendiri. Dengan demikian, sosok gagal paham komunikasi
yang menggunakan kendaraan kuasa kata senantiasa jadi musuh bersama umat
manusia.
Dalam pergerakannya, ia
senantiasa menebar energi negatif. Tebaran energi negatif itu wajib dihirup
warganet dan warga masyarakat yang gelap mata atas realitas sosial yang ada.
Hebatnya, perwujudan sosok gagal paham komunikasi sangat rajin mengobrak-abrik
kedamaian warganet. Di sisi lain, keberadaannya juga menciptakan suasana
gaduh melenguh-lenguh warga masyarakat di tengah patembayatan sosial di
medsos.
Menyiangi hati
Di abad budaya layar seperti
sekarang ini, dibutuhkan kehadiran wasit dan hakim garis yang mampu
menyemprit silang sengkarut kelompok gagal paham komunikasi. Wasit dan hakim
garis bertugas mengajak warganet senantiasa bergandengan tangan membangun
kesepahaman bersama saat menjalankan proses komunikasi di medsos.
Hal itu wajib dilakukan agar
antarwarganet yang terbelenggu belitan tangan gurita sosok gagal paham
komunikasi dapat hidup damai di tengah keberagaman sifat kemanusiaannya. Selanjutnya dalam tataran pergaulan sosial,
mereka sesegara mungkin menyiangi hati. Dengan hati yang sareh, sabar plus
sumeleh akan keluar energi positif. Hal itu diyakini mampu menyelaraskan
nalar perasaan dan akal pikiran mereka yang sedang terjerembab dalam kubangan
lubang gagal paham komunikasi.
Untuk itu, marilah kita bangkit berdiri agar
senantiasa mampu membangun kesepahaman diri pribadi dengan pihak lain.
Pejabat publik, elite politik, dan tokoh masyarakat seyogianya menjadi orang
pertama yang mau dan mampu memahami aspirasi warganet serta gerak langkah
masyarakat yang dilayaninya.
Ketika sikap egois semacam itu
terus dikembangbiakkan, sejatinya mereka sedang menjalankan gerakan bunuh
diri massal. Upaya bunuh diri massal itu dilakukan untuk membunuh benih-benih
kebaikan yang seharusnya ditumbuhsuburkan. Karena itu, seyogianya mereka
berani menyematkan konotasi positif atas kuasa kata. Hal itu penting
dilakukan demi bertumbuhnya energi kebaikan bagi hidup dan kehidupan umat
manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar