Rabu, 22 November 2017

Tertawa

Tertawa
Acep Iwan Saidi ;  Dosen Sekolah Pascasarjana Seni Rupa dan Desain ITB
                                                    KOMPAS, 21 November 2017



                                                           
Sebagaimana diketahui bersama, Setya Novanto (Setnov), Ketua DPR yang kemudian menjadi tersangka kasus korupsi KTP-el, kecelakaan. Kendaraan yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Bagian depan mobil penyok. Salah satu bannya pecah. Kepala Setnov memar dan berdarah. ”Pelipis Bapak benjol sebesar bakpao,” demikian kurang lebih kata pengacaranya, Fredrich Yunadi. Setnov pun dilarikan ke rumah sakit.

Tentu kecelakaan adalah musibah. Ia pasti membuat air mata mengalir, setidaknya empati. Bukankah kita sering refleks berteriak ”Awas!”, misalnya, saat melihat seseorang di seberang jalan hendak ketiban bahaya.

Tubuh kita seperti ”hendak” merasa sakit, padahal orang lain yang akan mengalaminya. Di situ terdapat semacam hubungan misterius antara kita dan orang itu. Hubungan itu bisa jadi merupakan titik pertemuan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki: semacam kasih yang ikhlas.

Pun demikian ketika Setnov mengalami kecelakaan. Kita, khususnya penduduk dunia maya (netizen), refleks bereaksi. Hanya, ekspresi yang keluar bukan teriakan yang merepresentasikan kesedihan, apalagi kesakitan.

Alih-alih demikian, yang muncul justru berbagai bentuk olok-olok. Kemudian, kalkulasi dari banyak ungkapan dalam berbagai bentuk itu (verbal, visual, audiovisual) adalah (tindakan) tertawa. Betapa, dalam beberapa hari ini, kita menjadi sukaria. Tubuh seolah-olah terus-menerus diasupi kabar gembira.

Refleks tubuh

Tentu situasi itu tidak normal. Bagaimana bisa, orang lain celaka, kita tertawa. Tetapi, siapakah yang tidak normal: kita atau kecelakaan Setnov?

Tubuh kita adalah wujud yang tidak pernah bisa dibohongi. Ia akan memberi makna pada stimulus (realitas) seturut karakter stimulus tersebut. Melalui lidah yang dikendalikan pikiran, stimulus itu memang bisa direspons dan dibelokkan ke berbagai arah, positif atau negatif. Dari lidahlah kemudian kita mengenal dusta.

Namun, tertawa bukanlah tindakan lidah (yang tidak bertulang) sedemikian. Meskipun tentu ada peran otak di sana, tertawa cenderung merupakan refleks tubuh. Oleh karena itu, tertawa adalah ekspresi paling jujur manusia. Paling tidak, saat tertawa, kita terlepas dari berbagai ingatan, dan dengan demikian, terlepas pula dari berbagai beban. Itulah yang disebut kejujuran.

Lantas, apakah yang menyebabkan timbulnya tindakan tertawa?

Heraty (1983) menyebutkan bahwa tertawa umumnya dimotivasi oleh humor, muncul karena adanya berbagai asosiasi yang saling bertentangan hingga menimbulkan bisosiasi dalam waktu bersamaan. Benturan dua asosiasi atau lebih ini menyebabkan kita tidak mampu lagi berpikir, kecuali hanya bisa meresponsnya melalui tertawa. Perhatikan ilustrasi berikut.

Seorang tukang ojek mengantar seorang ustaz untuk ceramah di sebuah televisi swasta. Ia mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan tinggi karena jadwal ceramah ustaz sudah mepet.

Di sebuah tikungan, polisi menghentikan dan memperingatkan bahwa cara mengendarai tukang ojek itu membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Merasa mengantar ustaz, tukang ojek menjawab, ”Tenang saja, Pak Polisi, kami tidak akan celaka. Tuhan bersama kami.”  Dengan geram polisi membentak, ”Kalau begitu, kamu saya tilang karena mengendarai motor bertiga!”

Bagaimana pikiran kita bisa menanggapi peristiwa percakapan tersebut?

Sebelum mengatakan sesuatu, pasti tubuh kita akan mendahului merespons, yakni dengan tertawa. Hal itu karena, melalui ucapan polisi tersebut, si pembuat humor membenturkan asosiasi tentang Tuhan yang telah lumrah dalam keseharian kita.

Ungkapan ”Tuhan bersama kami” adalah kalimat metaforis yang dapat diartikan ”Tuhan melindungi kami”. Asosiasi ini dibenturkan dengan ”Tuhan hadir secara fisik membonceng si tukang ojek yang sudah membawa ustaz”. Sepeda motor pun disebut ditumpangi bertiga.

Lantas, pada kasus kecelakaan Setnov, asosiasi apa yang dibenturkan dalam berbagai ungkapan (verbal, visual, audio) yang beredar itu?

Sejauh yang teramati, berbagai varian humor tersebut salah satunya bertumpu pada tiang listrik yang masih tegak, padahal ditabrak mobil yang ukurannya cukup besar dan mengakibatkan benjol sebesar bakpao di pelipis Setnov.

Dari sini asosiasi berkembang dan saling berbenturan. ”Tiang listrik jadi tersangka, tiang listrik membuat listrik seluruh Jakarta mati, tiang listrik yang berulah, tiang listrik sakti”, dan seterusnya.

Nyaris semua asosiasi itu mengindikasikan bahwa kecelakaan Setnov tidak normal. Walhasil,  tubuh pembuat humor yang normal (kemudian kita) refleks menertawakan ketidaknormalan itu. Perhatikan sekali lagi, semua tindakan tertawa itu sesungguhnya dibangun oleh humor yang sinis, ironis, bahkan juga sarkas.

Vonis arbitrer

Sekarang, baiklah, kita berbaik sangka.

Bahwa apa yang menimpa Setnov memang benar-benar terjadi, bukan sebuah rekayasa. Tapi, publik tetap tertawa. Jika begitu, peristiwa yang menimpa Setnov dapat dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan paling menyedihkan di akhir tahun ini, barangkali dalam sepanjang prosa sejarah kasus korupsi di Indonesia.

Kecelakaan fisik si tersangka korupsi adalah bahan yang layak ditertawakan. Tentu ini sebuah kontradiksi dalam relasi kemanusiaan. Namun, ini sekaligus menunjukkan bahwa naluri dasar manusia telah memutuskan hubungan dengan si (tersangka) koruptor. Tidak layak bersedih untuknya. Tidak ada ampun baginya. Tidak ada lagi kasih itu kepadanya!

Akibat paling mengerikan tentu harus diterima Setnov sendiri.

Dalam perspektif semiotika peircian, cara Setnov menyikapi posisi sebagai tersangka, sejak awal, telah menjadikan dirinya berada pada level tanda legisign (tanda yang legitimate): bahwa status tersangka yang diberikan KPK itu memang benar-benar layak ia terima.

Pada taksonomi tanda semiotika, status tersangka sejatinya berada pada posisi qualisign, yakni status yang menunjuk bahwa penyandangnya hanya memiliki potensi bersalah sebagai koruptor. Status ini masih memberi ruang yang membatalkan tanda bersalah tadi.

Pada fase berikutnya, status ini dapat naik ke level sinsign (spesifik tapi belum definitif) ketika telah menjadi terdakwa. Terakhir, palu hakimlah  yang akan memutuskannya menjadi legisign.

Setnov, sekali lagi, dengan caranya bersikap, telah memotong dua level tanda terbawah. Cara ini telah memaksa hakim nonformal untuk menjatuhkan vonisnya.

Hakim nonformal yang dimaksud tidak lain adalah publik. Sebagai hakim nonformal, publik tentu punya banyak palu arbitrer, palu yang dapat dipukulkan secara mana suka. Dalam konteks ini, tertawa adalah salah satu palu yang telah dipilih itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar