Tertawa
Acep Iwan Saidi ; Dosen Sekolah Pascasarjana Seni Rupa dan Desain
ITB
|
KOMPAS,
21 November
2017
Sebagaimana diketahui bersama,
Setya Novanto (Setnov), Ketua DPR yang kemudian menjadi tersangka kasus
korupsi KTP-el, kecelakaan. Kendaraan yang ditumpanginya menabrak tiang
listrik. Bagian depan mobil penyok. Salah satu bannya pecah. Kepala Setnov
memar dan berdarah. ”Pelipis Bapak benjol sebesar bakpao,” demikian kurang lebih
kata pengacaranya, Fredrich Yunadi. Setnov pun dilarikan ke rumah sakit.
Tentu kecelakaan adalah
musibah. Ia pasti membuat air mata mengalir, setidaknya empati. Bukankah kita
sering refleks berteriak ”Awas!”, misalnya, saat melihat seseorang di seberang
jalan hendak ketiban bahaya.
Tubuh kita seperti ”hendak”
merasa sakit, padahal orang lain yang akan mengalaminya. Di situ terdapat
semacam hubungan misterius antara kita dan orang itu. Hubungan itu bisa jadi
merupakan titik pertemuan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki: semacam kasih
yang ikhlas.
Pun demikian ketika Setnov
mengalami kecelakaan. Kita, khususnya penduduk dunia maya (netizen), refleks
bereaksi. Hanya, ekspresi yang keluar bukan teriakan yang merepresentasikan
kesedihan, apalagi kesakitan.
Alih-alih demikian, yang muncul
justru berbagai bentuk olok-olok. Kemudian, kalkulasi dari banyak ungkapan
dalam berbagai bentuk itu (verbal, visual, audiovisual) adalah (tindakan)
tertawa. Betapa, dalam beberapa hari ini, kita menjadi sukaria. Tubuh seolah-olah
terus-menerus diasupi kabar gembira.
Refleks tubuh
Tentu situasi itu tidak normal.
Bagaimana bisa, orang lain celaka, kita tertawa. Tetapi, siapakah yang tidak
normal: kita atau kecelakaan Setnov?
Tubuh kita adalah wujud yang
tidak pernah bisa dibohongi. Ia akan memberi makna pada stimulus (realitas)
seturut karakter stimulus tersebut. Melalui lidah yang dikendalikan pikiran,
stimulus itu memang bisa direspons dan dibelokkan ke berbagai arah, positif
atau negatif. Dari lidahlah kemudian kita mengenal dusta.
Namun, tertawa bukanlah
tindakan lidah (yang tidak bertulang) sedemikian. Meskipun tentu ada peran
otak di sana, tertawa cenderung merupakan refleks tubuh. Oleh karena itu,
tertawa adalah ekspresi paling jujur manusia. Paling tidak, saat tertawa,
kita terlepas dari berbagai ingatan, dan dengan demikian, terlepas pula dari
berbagai beban. Itulah yang disebut kejujuran.
Lantas, apakah yang menyebabkan
timbulnya tindakan tertawa?
Heraty (1983) menyebutkan bahwa
tertawa umumnya dimotivasi oleh humor, muncul karena adanya berbagai asosiasi
yang saling bertentangan hingga menimbulkan bisosiasi dalam waktu bersamaan.
Benturan dua asosiasi atau lebih ini menyebabkan kita tidak mampu lagi
berpikir, kecuali hanya bisa meresponsnya melalui tertawa. Perhatikan
ilustrasi berikut.
Seorang tukang ojek mengantar
seorang ustaz untuk ceramah di sebuah televisi swasta. Ia mengendarai sepeda
motornya dengan kecepatan tinggi karena jadwal ceramah ustaz sudah mepet.
Di sebuah tikungan, polisi
menghentikan dan memperingatkan bahwa cara mengendarai tukang ojek itu
membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Merasa mengantar ustaz, tukang
ojek menjawab, ”Tenang saja, Pak Polisi, kami tidak akan celaka. Tuhan
bersama kami.” Dengan geram polisi
membentak, ”Kalau begitu, kamu saya tilang karena mengendarai motor bertiga!”
Bagaimana pikiran kita bisa
menanggapi peristiwa percakapan tersebut?
Sebelum mengatakan sesuatu,
pasti tubuh kita akan mendahului merespons, yakni dengan tertawa. Hal itu
karena, melalui ucapan polisi tersebut, si pembuat humor membenturkan
asosiasi tentang Tuhan yang telah lumrah dalam keseharian kita.
Ungkapan ”Tuhan bersama kami”
adalah kalimat metaforis yang dapat diartikan ”Tuhan melindungi kami”.
Asosiasi ini dibenturkan dengan ”Tuhan hadir secara fisik membonceng si
tukang ojek yang sudah membawa ustaz”. Sepeda motor pun disebut ditumpangi
bertiga.
Lantas, pada kasus kecelakaan
Setnov, asosiasi apa yang dibenturkan dalam berbagai ungkapan (verbal,
visual, audio) yang beredar itu?
Sejauh yang teramati, berbagai
varian humor tersebut salah satunya bertumpu pada tiang listrik yang masih
tegak, padahal ditabrak mobil yang ukurannya cukup besar dan mengakibatkan
benjol sebesar bakpao di pelipis Setnov.
Dari sini asosiasi berkembang
dan saling berbenturan. ”Tiang listrik jadi tersangka, tiang listrik membuat
listrik seluruh Jakarta mati, tiang listrik yang berulah, tiang listrik
sakti”, dan seterusnya.
Nyaris semua asosiasi itu
mengindikasikan bahwa kecelakaan Setnov tidak normal. Walhasil, tubuh pembuat humor yang normal (kemudian
kita) refleks menertawakan ketidaknormalan itu. Perhatikan sekali lagi, semua
tindakan tertawa itu sesungguhnya dibangun oleh humor yang sinis, ironis,
bahkan juga sarkas.
Vonis arbitrer
Sekarang, baiklah, kita berbaik
sangka.
Bahwa apa yang menimpa Setnov
memang benar-benar terjadi, bukan sebuah rekayasa. Tapi, publik tetap
tertawa. Jika begitu, peristiwa yang menimpa Setnov dapat dikatakan sebagai
tragedi kemanusiaan paling menyedihkan di akhir tahun ini, barangkali dalam
sepanjang prosa sejarah kasus korupsi di Indonesia.
Kecelakaan fisik si tersangka
korupsi adalah bahan yang layak ditertawakan. Tentu ini sebuah kontradiksi
dalam relasi kemanusiaan. Namun, ini sekaligus menunjukkan bahwa naluri dasar
manusia telah memutuskan hubungan dengan si (tersangka) koruptor. Tidak layak
bersedih untuknya. Tidak ada ampun baginya. Tidak ada lagi kasih itu
kepadanya!
Akibat paling mengerikan tentu
harus diterima Setnov sendiri.
Dalam perspektif semiotika
peircian, cara Setnov menyikapi posisi sebagai tersangka, sejak awal, telah
menjadikan dirinya berada pada level tanda legisign (tanda yang legitimate):
bahwa status tersangka yang diberikan KPK itu memang benar-benar layak ia
terima.
Pada taksonomi tanda semiotika,
status tersangka sejatinya berada pada posisi qualisign, yakni status yang
menunjuk bahwa penyandangnya hanya memiliki potensi bersalah sebagai
koruptor. Status ini masih memberi ruang yang membatalkan tanda bersalah
tadi.
Pada fase berikutnya, status ini
dapat naik ke level sinsign (spesifik tapi belum definitif) ketika telah
menjadi terdakwa. Terakhir, palu hakimlah
yang akan memutuskannya menjadi legisign.
Setnov, sekali lagi, dengan
caranya bersikap, telah memotong dua level tanda terbawah. Cara ini telah
memaksa hakim nonformal untuk menjatuhkan vonisnya.
Hakim nonformal yang dimaksud
tidak lain adalah publik. Sebagai hakim nonformal, publik tentu punya banyak
palu arbitrer, palu yang dapat dipukulkan secara mana suka. Dalam konteks
ini, tertawa adalah salah satu palu yang telah dipilih itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar