Minggu, 19 November 2017

Mencari Tokoh Besar

Mencari Tokoh Besar
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                    KOMPAS, 18 November 2017



                                                           
Maaf, sandiwara politik yang dipentaskan pekan ini rasanya kurang menarik ditonton. Ada rasa kesal, sebal, marah, karena perlawanan atau menghindari proses hukum-apa pun cara dan dalihnya-bisa dicap sebagai warga negara yang tidak taat hukum. Kalau dia pejabat tinggi negara, tentu lebih memprihatinkan lagi. Integritas dan tanggung jawabnya dipertanyakan. Menguji kebenaran hanyalah di pengadilan. Ah, daripada pusing, lebih baik mari kita bercerita tentang sosok besar bangsa ini. Bukan pejabat negara, tetapi dialah salah satu pendiri bangsa (founding fathers). Jadi, kelasnya jauh lebih hebat dari pejabat negara.

Sosok itu adalah Tjipto Mangunkusumo. Tokoh besar pergerakan bangsa pada awal abad ke-20. Lahir di Ambarawa pada 1883. Tjipto meninggal di Jakarta pada 1943, dua tahun sebelum proklamasi. Ia tak sempat menyaksikan hasil perjuangannya membebaskan negerinya dari cengkeraman penjajah. Namun, namanya abadi dicatat tinta emas sejarah bangsa kita.

Sejak muda ia dikenal berwatak keras. Saking kerasnya, organisasi yang didirikannya hampir selalu dilarang penguasa kolonial Belanda. Indische Partij, misalnya, dibubarkan. Tjipto bersama Ki Hajar Dewantara (Suwardi Surjaningrat) dan Douwes Dekker yang dikenal sebagai “Tiga Serangkai” itu diasingkan. Meskipun berwatak keras, Tjipto selalu menunjukkan kebesaran jiwa menghadapi risiko apa pun akibat perjuangan yang dipilihnya. Begitulah cerita tokoh yang benar-benar besar.

Tahun 1920 dia diincar Belanda karena dianggap tokoh yang memobilisasi pemogokan petani di Solo. Di kalangan petani, pengaruhnya memang luar biasa. Kala itu dia juga mengkritik Raja Solo lewat tulisannya di majalah Penggugah. Akibatnya Tjipto yang kalau dilihat dalam foto-foto selalu mengenakan belangkon itu dilarang tinggal di daerah yang masyarakatnya berbahasa Jawa. Ini artinya ia dicabut dari ruang hidupnya, dari basis massa dan basis budayanya.

Namun, Tjipto tidak mengeluh. Ia mengambil risiko itu dengan gagah berani ketika memilih menetap di Bandung, pusatnya masyarakat berbahasa Sunda. Justru perannya terus menguat ke masyarakat. Sampai-sampai ia dituduh sebagai penyokong pemberontakan yang dilakukan “kelompok kiri” pada tahun 1926. Tahun 1927, ia dibuang ke Banda. Ia menjadi pejuang pertama yang meretas jalan ke pulau terpencil di Laut Banda, di antara pemimpin bangsa yang dianggap berbahaya bagi penguasa Belanda.

Namun, Tjipto benar-benar tokoh besar. Tak gentar, tak cemas. Ia menerima risiko perjuangannya. Walaupun diadili dengan hukum kolonial, ia pantang mundur. Saat masih dalam tahanan, ada tawaran pertolongan dari Profesor Hazeu, pembesar Belanda yang menjadi penasihat urusan pribumi (Inlandse Zaken), tetapi ditolaknya. Bagi Tjipto, pengorbanan adalah hak setiap pemimpin. Ketika banyak sesama pejuang membelanya, ia mengingatkan, apa pun risikonya harus diterima. Pemimpin itu harus berani.

Kepada Soekarno, ia menulis surat: “Janganlah kita menangis dan dengan mata kering (gembira) kita terima itu, layak ataupun tidak layak. Riwayat tanah air kita meneruskan perjalanannya. Jika riwayat tersebut menghendaki untuk memperoleh korban-korban seberapa yang diminta, kita harus berikan pengorbanan itu dengan gembira.”. Sekitar tahun 1932, ada tawaran pembebasan dirinya, terlebih ia sakit-sakitan, tetapi dengan beberapa syarat. Pastilah Tjipto menolak dipulangkan ke Jawa kalau harus dengan sejumlah persyaratan.

Tjipto adalah tokoh besar bangsa kita. Dia bukanlah pejabat tinggi. Namanya wangi bukan karena memegang jabatan, melainkan karena jiwa juangnya. Bagi seorang pemimpin sejati, jabatan bukanlah ukuran harga seorang manusia. Pemimpin berbakti kepada Tanah Air bukan karena jabatannya, tetapi karena panggilan jiwanya untuk mengabdi dan mempertaruhkan jiwa raga untuk bangsa dan negara. Dia tidak pernah memikirkan diri sendiri, tetapi memikirkan masyarakat. Seperti kata John F Kennedy (1917-1963), presiden ke-35 AS: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.”

Tiba-tiba pemimpin hebat dan berjiwa besar seperti Tjipto dan pejuang lainnya ibarat kita tengah membaca kisah dongeng. Sebab, pada hari ini, mencari pemimpin hebat seperti itu ibarat “mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Barangkali yang banyak adalah pemimpin karbitan. Kalau melihat banyak pemimpin sekarang yang tersangkut kasus korupsi, kemungkinan besar Tjipto dan pejuang lainnya akan menangis. Mengapa banyak pemimpin sekarang menunggangi jabatannya untuk mengeruk kekayaan negara. Pemimpin seperti itu cuma melahirkan watak-watak kerdil, pengecut, tak bertanggung jawab.

Itulah yang tidak diwariskan oleh Tjipto, yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di Jakarta: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jalan Salemba. Dan, sejak Jumat (17/11), RSCM menjadi tempat perawatan Ketua DPR Setya Novanto-tersangka kasus korupsi KTP elektronik-pindahan dari RS Medika Permata Hijau setelah terjadi kecelakaan, sehari sebelumnya. Malam sebelumnya, Novanto menghilang saat dijemput KPK di rumahnya. Padahal, ia pejabat tinggi negeri ini, yang seharusnya memberi contoh dalam penegakan hukum. Siapa tahu, dari ruang perawatan di RSCM, ia tersadar akan kebesaran sosok Tjipto Mangunkusumo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar