Mencari
Tokoh Besar
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
18 November
2017
Maaf, sandiwara politik yang
dipentaskan pekan ini rasanya kurang menarik ditonton. Ada rasa kesal, sebal,
marah, karena perlawanan atau menghindari proses hukum-apa pun cara dan
dalihnya-bisa dicap sebagai warga negara yang tidak taat hukum. Kalau dia
pejabat tinggi negara, tentu lebih memprihatinkan lagi. Integritas dan
tanggung jawabnya dipertanyakan. Menguji kebenaran hanyalah di pengadilan.
Ah, daripada pusing, lebih baik mari kita bercerita tentang sosok besar
bangsa ini. Bukan pejabat negara, tetapi dialah salah satu pendiri bangsa
(founding fathers). Jadi, kelasnya jauh lebih hebat dari pejabat negara.
Sosok itu adalah Tjipto
Mangunkusumo. Tokoh besar pergerakan bangsa pada awal abad ke-20. Lahir di
Ambarawa pada 1883. Tjipto meninggal di Jakarta pada 1943, dua tahun sebelum
proklamasi. Ia tak sempat menyaksikan hasil perjuangannya membebaskan
negerinya dari cengkeraman penjajah. Namun, namanya abadi dicatat tinta emas
sejarah bangsa kita.
Sejak muda ia dikenal berwatak
keras. Saking kerasnya, organisasi yang didirikannya hampir selalu dilarang
penguasa kolonial Belanda. Indische Partij, misalnya, dibubarkan. Tjipto
bersama Ki Hajar Dewantara (Suwardi Surjaningrat) dan Douwes Dekker yang
dikenal sebagai “Tiga Serangkai” itu diasingkan. Meskipun berwatak keras,
Tjipto selalu menunjukkan kebesaran jiwa menghadapi risiko apa pun akibat
perjuangan yang dipilihnya. Begitulah cerita tokoh yang benar-benar besar.
Tahun 1920 dia diincar Belanda
karena dianggap tokoh yang memobilisasi pemogokan petani di Solo. Di kalangan
petani, pengaruhnya memang luar biasa. Kala itu dia juga mengkritik Raja Solo
lewat tulisannya di majalah Penggugah. Akibatnya Tjipto yang kalau dilihat
dalam foto-foto selalu mengenakan belangkon itu dilarang tinggal di daerah
yang masyarakatnya berbahasa Jawa. Ini artinya ia dicabut dari ruang
hidupnya, dari basis massa dan basis budayanya.
Namun, Tjipto tidak mengeluh.
Ia mengambil risiko itu dengan gagah berani ketika memilih menetap di
Bandung, pusatnya masyarakat berbahasa Sunda. Justru perannya terus menguat
ke masyarakat. Sampai-sampai ia dituduh sebagai penyokong pemberontakan yang
dilakukan “kelompok kiri” pada tahun 1926. Tahun 1927, ia dibuang ke Banda.
Ia menjadi pejuang pertama yang meretas jalan ke pulau terpencil di Laut
Banda, di antara pemimpin bangsa yang dianggap berbahaya bagi penguasa
Belanda.
Namun, Tjipto benar-benar tokoh
besar. Tak gentar, tak cemas. Ia menerima risiko perjuangannya. Walaupun
diadili dengan hukum kolonial, ia pantang mundur. Saat masih dalam tahanan,
ada tawaran pertolongan dari Profesor Hazeu, pembesar Belanda yang menjadi
penasihat urusan pribumi (Inlandse Zaken), tetapi ditolaknya. Bagi Tjipto,
pengorbanan adalah hak setiap pemimpin. Ketika banyak sesama pejuang
membelanya, ia mengingatkan, apa pun risikonya harus diterima. Pemimpin itu
harus berani.
Kepada Soekarno, ia menulis
surat: “Janganlah kita menangis dan dengan mata kering (gembira) kita terima
itu, layak ataupun tidak layak. Riwayat tanah air kita meneruskan
perjalanannya. Jika riwayat tersebut menghendaki untuk memperoleh
korban-korban seberapa yang diminta, kita harus berikan pengorbanan itu
dengan gembira.”. Sekitar tahun 1932, ada tawaran pembebasan dirinya,
terlebih ia sakit-sakitan, tetapi dengan beberapa syarat. Pastilah Tjipto
menolak dipulangkan ke Jawa kalau harus dengan sejumlah persyaratan.
Tjipto adalah tokoh besar bangsa
kita. Dia bukanlah pejabat tinggi. Namanya wangi bukan karena memegang
jabatan, melainkan karena jiwa juangnya. Bagi seorang pemimpin sejati,
jabatan bukanlah ukuran harga seorang manusia. Pemimpin berbakti kepada Tanah
Air bukan karena jabatannya, tetapi karena panggilan jiwanya untuk mengabdi
dan mempertaruhkan jiwa raga untuk bangsa dan negara. Dia tidak pernah
memikirkan diri sendiri, tetapi memikirkan masyarakat. Seperti kata John F
Kennedy (1917-1963), presiden ke-35 AS: “Jangan tanyakan apa yang negara
berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada
negaramu.”
Tiba-tiba pemimpin hebat dan
berjiwa besar seperti Tjipto dan pejuang lainnya ibarat kita tengah membaca
kisah dongeng. Sebab, pada hari ini, mencari pemimpin hebat seperti itu
ibarat “mencari jarum dalam tumpukan jerami”. Barangkali yang banyak adalah
pemimpin karbitan. Kalau melihat banyak pemimpin sekarang yang tersangkut
kasus korupsi, kemungkinan besar Tjipto dan pejuang lainnya akan menangis.
Mengapa banyak pemimpin sekarang menunggangi jabatannya untuk mengeruk
kekayaan negara. Pemimpin seperti itu cuma melahirkan watak-watak kerdil,
pengecut, tak bertanggung jawab.
Itulah yang tidak diwariskan
oleh Tjipto, yang namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit terbesar di
Jakarta: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jalan Salemba. Dan, sejak
Jumat (17/11), RSCM menjadi tempat perawatan Ketua DPR Setya
Novanto-tersangka kasus korupsi KTP elektronik-pindahan dari RS Medika
Permata Hijau setelah terjadi kecelakaan, sehari sebelumnya. Malam
sebelumnya, Novanto menghilang saat dijemput KPK di rumahnya. Padahal, ia
pejabat tinggi negeri ini, yang seharusnya memberi contoh dalam penegakan
hukum. Siapa tahu, dari ruang perawatan di RSCM, ia tersadar akan kebesaran
sosok Tjipto Mangunkusumo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar