Jumat, 17 November 2017

72 Tahun Diskriminasi Kepercayaan

72 Tahun Diskriminasi Kepercayaan
Sumiati Anastasia ;  Lulusan University of Birmingham
                                                   JAWA POS, 16 November 2017



                                                           
Era jahiliyah atau kegelapan yang penuh diskriminasi bagi segenap penganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa negeri ini resmi diakhiri oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kita sungguh gembira menyambut keputusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan. Ini terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) para penganut aliran kepercayaan.

Majelis hakim MK mengabulkan seluruh permohonan. MK menyatakan kata “agama” dalam pasal tadi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan. Dengan keputusan MK tersebut, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum sama dengan pemeluk enam agama yang diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

Diskriminasi terhadap penganut aliran kepercayaan selama 72 tahun usia negeri ini resmi tamat. Siapa pun yang menjunjung tinggi demokrasi dan kesataraan, keputusan MK itu sungguh sangat fenomenal. Bayangkan, selama ini negara tidak pernah sekalipun mengakomodasi kepentingan penganut aliran kepercayaan. Ini mulai dari pembuatan akte kelahiran, pernikahan, sampai saat maut menjemput.

Kedua pasal tadi, misalnya, telah menyengsarakan penganut aliran kepercayaan yang melawan jadi calon pegawai negeri atau polisi. Mereka terpaksa mengisi kolom agama dengan agama yang tidak mereka yakini, sehingga ketika akhirnya diverifikasi, ada ketidaksesuaian.

Praktik diskriminasi tersebut jelas merupakan sebuah ironi tersendiri. Ketua MK, Arief Hidayat, sampai mengungkapkan, “Agama impor kita akui. Masa agama para leluhur tidak kita akui?”

Diskriminasi oleh pemerintah dan negara pada para penganut aliran kepercayaan selama ini jelas merupakan kekeliruan besar. Pihak-pihak yang ingin mempertahankan kekliruan itu, sama saja hendak memutar jarum jam ke zaman batu. Seharusnya, sejak negeri ini merdeka, perlakuan negara pada setiap penganut agama dan aliran kepercayaan setara, bukan malah pilih kasih. Kita bersyukur kekeliruan itu sudah diluruskan kembali oleh MK di era Presiden Jokowi.

Jika dikaji, sebenarnya diskriminasi bagi penganut aliran kepercayaan berasal dari teks UU No 1 Tahun 1965. Di situ disebutkan, hanya 6 agama yang “resmi” diakui negara. Dalam penjelasannya, disebutkan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu adalah agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia... .”

Belum Diakui

Negara belum mengakui secara resmi agama-agama asli Nusantara seperti Parmalim (agama asli Batak), Sunda Wiwitan (agama asli Sunda) atau Ilmu Sejati dan Pangestu (dua aliran penghayat terbesar di Jateng dan Jatim) dengan sekitar 12 juta penganut.

Selama ini, aliran kepercayaan tidak diakui negara karena tidak memenuhi kriteria sebagai agama sesuai dengan definisi dalam UU No 1 Tahun 1965. Dalam regulisasi itu disebutkan, agama diakui negara karena memiliki nabi, kitab suci, dan Tuhan definitif. Definisi seperti itu, sebenarnya tidak diakui para pemikir seperti Emile Durkheim. Dalam bukunya The Elementary Forms of the Religious Life (1912), Emile menyebutkan bahwa agama adalah sebuah sistem terpadu yang terdiri dari kepercayaan dan praktik ritual atau peribadatan yang menyatukan para penganutnya dalam komunitas.

Sebagai anggota PBB dan masyarakat dunia, diskriminasi pada para penganut aliran kepercayaan oleh pemerintah jelas bertentangan dengan produk hukum yang telah disepakai masyarakat internasional maupun perundangan lain negeri ini. PBB lewat Resolusi GA 36/55 telah menetapkan sebuah deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan.

Lewat resolusi ini, tidak seorang pun boleh dijadikan objek pemaksaan. Kebebasan setiap warga negara untuk meyakini satu agama atau kepercayaan tidak boleh menimbulkan kerugian atau diskriminasi baik dilakukan negara, lembaga, kelompok, atau individu karena agama atau kepercayaannya.

Resolusi itu tentu senada dengan amanah konstitusi. Dalam UUD 45 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.” Dalam Pasal 28E tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya... (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Selama 72 tahun, para penghayat menanggung diskriminasi negara dengan diam dalam kegetiran dan kepasrahan. Apalagi mayoritas penganut aliran kepercayaan memang tidak pernah reaktif dalam menyikapi setiap bentuk tekanan atau perlakukan diskriminatif. Mereka sungguh cinta damai dan amat toleran. Bahkan leluhur mereka membiarkan setiap agama dari luar bisa tumbuh subur di sini.

Keputusan MK jelas fenomenal karena sesuai dengan cita-cita demokrasi yang hendak dibangun bersama, yakni menjunjung kebebasan sipil dan tidak ada satu kelompok pun dipinggirkan, apalagi didiskriminasi. Aneh sekali, selama 72 tahun lebih, kita malah mendiskriminasi kelompok penganut aliran kepercayaan. Ini jelas sebuah kontradiksi.

Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom (2004) menyebutkan, pemerintahan yang dipilih secara demokratis, sudah seharusnya menjamin tegaknya kebebasan sipil. Ini terutama kebebasan beragama dan tidak beragama. Andai ada penyimpangan, menjadi tugas moral setiap pejuang demokrasi dan kebebasan sipil untuk bersuara. Dalam konteks ini, kita harus mengapresiasi perjuangan panjang Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim yang menggugat dua pasal tadi ke MK.

Semoga pascakeputusan MK ini, tidak ada lagi diskriminasi, khususnya terkait administrasi kependudukan. Kiranya pihak-pihak yang keberatan atas langkah MK, tidak akan menghidupkan lagi diskriminasi bagi penganut aliran kepercayaan. Jangan lupa, agama atau kepercayaan adalah bagian utuh dari hak asasi manusia.

Kita hargai pemerintah yang tunduk dan siap menindaklanjuti keputusan MK. Negara wajib melindungi hak setiap penganut agama atau aliran kepercayaan, bukan malah terus mendiskriminasi dan memarjinalisasi. Dengan demikian, Indonesia akan menjadi rumah yang ramah bagi setiap warganya. Tidak ada lagi rakyat terdiskriminasi gara-gara menganut agama atau aliran kepercayaan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar