Imunitas
Ketua DPR
Mangadar Situmorang ; Ketua LPBH NU DIY; Peneliti di Pukat FH UGM
|
KOMPAS,
16 November
2017
Setya Novanto, Ketua DPR, yang
ditersangkakan (lagi) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan korupsi
KTP-el, akan meminta perlindungan Presiden Joko Widodo jika dipanggil paksa
oleh komisi antikorupsi. Menurut advokatnya, pemeriksaan anggota DPR harus
seizin Presiden, Kompas.com (13/11).
Anggota DPR memang memiliki
imunitas (parliamentary immunity). Wajar saja Novanto mendalilkan bahwa ia,
sebagai Ketua DPR, wajib dilindungi dalam jabatannya. Ia kebal dalam
statusnya sebagai anggota parlemen. Hanya, apakah kekebalan itu bersifat
selamanya?
Imunitas parlemen
Konstitusi Indonesia memang
memberikan perlindungan atau hak imunitas bagi anggota Dewan. Hak itu diatur
dalam Pasal 20A Ayat (3) UUD 1945. Konstitusi kemudian memerintahkan
pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang.
Turunan perintah konstitusi
tentang imunitas anggota parlemen dimuat dalam Pasal 224 UU Nomor 17 Tahun
2014. Disebutkan bahwa anggota DPR tidak dapat dituntut hukum karena
pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapatnya, baik secara lisan atau tulisan,
sepanjang berkaitan dengan fungsi, wewenang, dan tugasnya, kecuali untuk
pembocoran materi rahasia negara.
Anggota DPR juga tidak dapat
dituntut hukum atas sikap, tindakan, atau kegiatannya, baik di dalam rapat
maupun di luar rapat parlemen semata-mata karena hak dan kewenangan
konstitusional personal anggota atau institusional DPR. Bahkan untuk menjamin
hak ini, anggota DPR tak dapat diganti antarwaktu.
Jelaslah, konstitusi-dan oleh
karena itu juga UU-menghendaki perlindungan bagi anggota parlemen. Akan
tetapi, kata “sepanjang berkaitan” dan “semata-mata karena” dalam Pasal 224
UU No 17/2017 menjadi pembatas. Hak konstitusional, kewenangan
konstitusional, fungsi (legislasi, anggaran, dan pengawasan), wewenang, serta
tugasnya adalah batasan yang dipatok oleh konstitusi dalam melaksanakan
imunitas parlemen.
Pesannya adalah kekebalan
anggota DPR tidak bersifat abadi, sangat bergantung pada syarat tertentu.
Anggota Dewan tidak boleh menggunakan imunitas parlemen dengan sembarangan.
Pendek kata, kekebalan anggota Dewan tak bisa dipakai sebagai instrumen untuk
melindungi perilaku yang hanya menguntungkan dirinya sendiri dan
menyalahgunakan kewenangannya.
Hak imunitas adalah kekuatan
yang luar biasa. Akan tetapi, kadang kala di situlah celahnya. Kekuatan yang
sangat besar dapat membuat anggota Dewan dengan gagah mengambil imunitas
parlemen dan bersuara seakan- akan segala tindakannya kebal, bersikukuh bahwa
perlindungan konstitusional secara otomatis ada dalam dirinya selama menjabat
sebagai anggota DPR. Melampaui apa pun, tanpa batasan.
Cobaan terhadap pemanfaatan
kekuatan imunitas parlemen selalu eksis dalam setiap pelaksanaan parlemen di
negara demokratis. Simon Wigley, ilmuwan politik dari Universitas Bilkent,
Turki, dalam artikelnya “Parliamentary Immunity: Protecting Democracy or
Protecting Corruption?” menyebutkan bentuk-bentuk potensi menyimpang dari
imunitas parlemen.
Misalnya, menjalankan aktivitas
yang terindikasi korupsi. Menerima suap atas semua pernyataan, pertanyaan,
atau keputusan yang disampaikan, berbuat nepotis, kolusi, perdagangan gelap,
dan sebagainya. Atau bertingkah laku dalam koridor yang ilegal, seperti
melakukan fitnah, menyampaikan ujaran kebencian, menggunakan narkoba, hingga
berkendara dalam keadaan mabuk. Imunitas parlemen tidak bisa melindungi
anggota Dewan dari perbuatan-perbuatan yang demikian.
Ketentuan hukum
Teknis prosedural untuk
melindungi anggota parlemen-juga sebagai bentuk pelaksanaan imunitas
parlemen-diatur dalam Pasal 224 Ayat (5) UU No 17/2014. Pasal itu mengatur
pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana harus seizin Majelis Kehormatan Dewan (MKD).
Izin MKD diperlukan hanya untuk
anggota Dewan yang sudah diduga sebagai pelaku pidana saja. Sudah ditetapkan
tersangka. Jika hanya dipanggil sebagai saksi, maka tak perlu izin.
Setiap orang, termasuk anggota
DPR, harus memenuhi panggilan apabila diminta bersaksi atau dimintai
keterangan sebagai saksi, kecuali ditentukan lain atau tertolak untuk itu.
Menolak bersaksi adalah sebuah tindak pidana.
Perlindungan terhadap anggota
Dewan juga diatur dalam Pasal 245 UU No 17/2014. Penyidik harus mendapatkan
izin tertulis dari MKD terlebih dahulu apabila ingin memanggil dan meminta
keterangan dari anggota Dewan yang diduga melakukan tindak pidana. Ketentuan
izin tertulis dari MKD tak berlaku apabila anggota parlemen telah tertangkap
tangan, melakukan tindak pidana khusus, dan/atau tindak pidana yang diancam
dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Ketentuan izin dari MKD-bukan
ketentuan status anggota DPR sebagai terduga tindak pidana maupun sebagai
saksi-dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 76/PUU-XII/2014.
Pertimbangan hukum majelis dalam putusan, pada pokoknya, berisi dua hal.
Pertama, izin MKD digeser menjadi izin Presiden dengan asumsi dasar checks and
balances antarcabang kekuasaan. Kedua, izin yang tertuang dalam Pasal 245
berlaku juga untuk Pasal 224 Ayat (5) UU No 17/2014.
Dapat dibaca bahwa putusan
MK-yang diputuskan dengan final dan mengikat-setidaknya, mengindikasikan dua
hal utama. Pertama, untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak
pidana umum, bukan sebagai saksi, penyidik harus mendapatkan izin tertulis
dari Presiden. Kedua, untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana khusus, bukan sebagai saksi, maka tidak perlu izin Presiden.
Dengan demikian, konsep
imunitas parlemen (parliamentary immunity), saling awas dan saling imbang
dalam pelaksanaan kekuasaan negara (check and balance), dan jaminan atas
persamaan hak hukum (equality before the law) memiliki korelasi dan
batas-batas yang rasional. Ketua DPR dilindungi dan kebal hukum atas semua
pernyataan dan perilakunya sepanjang terkait dengan hak, konstitusionalitas,
fungsi, kewenangan, dan tugas representatif-legislatifnya.
Namun, ketua DPR tidak kebal
hukum apabila ia melakukan tindak pidana, terlebih tindak pidana khusus
(extraordinary crime), semisal korupsi. Penyidik tidak perlu meminta izin
Presiden. Begitulah semestinya jika memutuskan untuk bernegara hukum, kecuali
mulai berpikir untuk bernegara tanpa hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar