Politik
Layak Buat Anak Muda?
Sayfa Auliya Achidsti ; Dosen FISIP Universitas Sebelas Maret;
Ketua Riset LPBH NU DIY
|
DETIKNEWS,
20 November
2017
Survei politik sudah mulai
ramai belakangan ini. Menariknya, umumnya survei memasukkan komponen persepsi
kelompok muda mengenai perkembangan politik, baik pendapat tentang kinerja
pemerintahan, harapan, hingga kapasitas pemimpin muda sendiri. Wajar, kelompok
usia muda sangat potensial dari sisi jumlah.
Pasca Reformasi dengan
perubahan aturan dan tradisi politik, kelompok usia 17-30 tahun dianggap
kantong suara strategis. Sifat mereka pragmatis, konsumtif tren isu dan
informasi, berpreferensi dinamis, dan minim pengetahuan politik. Ini membuat
mereka jadi "bancakan" politik.
Proporsi pemilih muda Indonesia
(penduduk usia 17-30) mencapai 24,5 persen, sedangkan potensi politisi muda
(21-30 tahun) 17,5 persen dari populasi (sensus BPS). Dengan jumlah tersebut,
muncul dua pertanyaan. Pertama, apakah demografi ini sudah layak diwakilkan
dengan terpilihnya politisi muda itu sendiri? Kedua, lebih mendasar,
bagaimana sebenarnya kelompok usia muda dilihat dan diposisikan dalam
perpolitikan Indonesia?
Dua pertanyaan itu penting
dijawab bukan untuk mendikotomi politisi muda dan tua. Namun, besarnya
konstituen dan kuatnya pengaruh karakteristik kelompok muda nyatanya
mempengaruhi langsung proses politik nasional.
Swing Voters
Bagaimana mereka dilihat lalu
diposisikan dalam ekosistem politik Indonesia agaknya perlu lebih dulu
dijawab, supaya pertanyaan pertama dapat ditimbang lebih bijak. Pilkada DKI
Jakarta yang lalu bisa jadi ilustrasi. Pemilih muda diperebutkan sebagai 29
persen potensi konstituen. Artinya, hampir sepertiga upaya kampanye
(seharusnya) mempertimbangkan keterwakilan isu kepemudaan. Alih-alih
merangkai program kepemudaan secara substantif, pemilih usia muda lebih
dianggap sebagai swing voters (berkemungkinan berubah-ubah pilihan) dan
floating mass (massa mengambang).
Hal itu tampak dari tidak
adanya tawaran program segmentatif usia muda. Kesimpulannya, merayu swing
voters cukup "mudah", tidak harus kampanye serius menawarkan
program kepemudaan untuk mengumpulkan dukungan rasional. Bisa lewat cara lain,
yaitu suguhan informasi sensasional yang menjatuhkan musuh politik (Robinson
dan Torvik, 2009). Mereka tidak dilihat esensinya (usia dan segmen isu),
melainkan kelemahannya (berubah dan mengambang).
Kampanye politik via online
akhirnya dijadikan metode penting, melalui penyebaran isu dan informasi
viral. Ongkos "lebih murah", karena berita cepat menyebar.
Bagaimana tidak? Jakarta adalah kota terbesar kedua pengguna Facebook di
dunia. Sedangkan, Indonesia urutan empat dunia (data We Are Social dan Hootsuite,
2017) dengan 85 persen pengguna aktifnya usia 18-34 tahun (data Facebook
Insight, 2014).
Media sosial tersebut menjadi
instrumen penyebaran informasi terefektif dalam dunia digital hari ini.
Imbasnya bisa ditebak, penyebaran materi politik via online dalam kondisi
minimnya informasi dan keterhubungan riil antara politisi dan pemilih (less
political engagement) membuat isu bergulir bak bola salju: membesar dan tidak
terkontrol.
Panasnya politik membuahkan isu
SARA sebagai ekses destruktif. Pilkada DKI Jakarta yang hanya puncak dari
fenomena gunung es di Indonesia membuat semua resah, hingga KPU dan Bawaslu
mulai mengkaji aturan larangan penggunaan isu SARA mulai Pilkada 2018 nanti.
Semua yang dijelaskan di atas
menjadi paradoks tentang pemuda di Indonesia. Besar dalam jumlah (suara) dan
pengaruh (keaktifan penyebaran informasi) tetapi tidak menentukan. Masyarakat
pernah dibuat gaduh ketika pada akhir 2011 sebuah lembaga survei nasional
merilis persepsi tentang politisi muda. Hasilnya, hanya seperempat responden
menganggap baik kualitas politisi muda. Politisi tua (senior) masih dianggap
lebih baik. Terlepas dari perang komentarnya, yang jelas, mengapa begitu
minim stok politisi muda di Indonesia? Tentu kita khawatir jika segelintir
politisi muda yang kebetulan berkasus hukum itu jadi wajah dari karakter
politisi muda.
Kebutuhan Keterwakilan
Inter-Parliamentary Union
(2016) mencatat Indonesia di peringkat ke-33 dari 126 negara (setara Malta)
untuk proporsi anggota parlemen berusia di bawah 30 tahun (2,9 persen), dan
peringkat ke-51 untuk proporsi di bawah 40 tahun (17,9 persen). Tentu sangat
jomplang dengan 24,5 persen populasi 17-30 tahun, dan 40,4 persen populasi
17-40 tahun secara nasional.
Mari kita lihat pemerintahan
daerah. Kemendagri menetapkan daerah berkinerja terbaik tahun 2014, terdiri
dari 3 provinsi dan 20 kabupaten/kota (Kepmendagri No. 800-35/2016). Dari
daftar itu, pimpinan daerah berusia di bawah 45 tahun hanya Bupati Bintan (37
tahun) dan Walikota Semarang (43 tahun). Sementara, hanya Gubernur Jawa
Tengah (46 tahun) dan Gubernur Jawa Barat (48 tahun) yang berusia di bawah 50
tahun.
Di sisi lain, di Indonesia
mulai bermunculan sentra perekonomian yang mayoritas diinisiasi dan
dijalankan kelompok usia muda. Sektor ekonomi kreatif (utamanya berbasis IT
dan pariwisata) telah terbukti menampilkan percepatan ekonomi baik dari
kesempatan kerja, memotong hambatan transaksi, peningkatan iklim kompetisi
usaha, dan interkoneksi produksi. Perubahan zaman yang serba cepat ini
mensyaratkan responsivitas kebijakan yang tinggi dan adaptatif. Dengan ini,
makna kelompok muda akhirnya bukan lagi hanya berdasar usia, melainkan
karakteristik: yang inovatif, dinamis, tanpa batasan konvensional
(borderless), dan penekanan hasil (output-based).
Pertanyaan di awal, apakah
demografi muda sudah layak diwakilkan pada politisi muda? Dengan kondisi
demografi, isu, dan kebutuhan zaman, jawabannya "ya". Namun, apakah
sudah saatnya? Jomplangnya keterwakilan di legislatif dan eksekutif adalah
fakta gap struktural. Proses politik yang masih mempertontonkan kelompok muda
sebagai "anak bawang" akan cenderung terus meregenerasi
objektivikasi: bukan sebagai subjek, apalagi aktor (pemain).
Lalu, bagaimana memotong siklus
tradisi politik semacam ini? Kita tidak bisa berharap status quo berubah
dengan sendirinya. Mahatma Gandhi pernah berkata, "We must become the
change we want to see." Artinya, kelompok usia muda punya
"pe-er" dalam membentuk kesadaran bahwa mereka adalah potensi
sekaligus kebutuhan politik. Berikutnya, perguruan tinggi perlu kembali
menyadari bahwa peran utamanya adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian
yang tidak gagap problem riil masyarakat. Mereka bukan hanya memproduksi
lulusan terampil, melainkan juga individu yang mampu menghargai dirinya,
masyarakat, dan negaranya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar