Saiful
Mujani Menyingkap Tabir
Rizal Mallarangeng ; Pendiri Freedom Institute, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2017
KITA harus berterima kasih kepada Saiful Mujani. Dalam situasi
politik yang agak gerah, Saiful dan lembaganya (SMRC) tergerak untuk
melakukan penelitian lapangan, yaitu survei pendapat umum. Inilah tradisi
empirisme ilmu politik dalam bentuknya yang terbaik: manakala spekulasi
merebak, kaum ilmuwan turun gunung mencari data yang bisa dipegang. Hasilnya
ternyata memang menarik, counter-intuitive dalam konteks politik sekarang.
Penelitian Saiful mengatakan beberapa hal. Namun, yang paling menarik ialah
ini: basis pendukung potensial gerakan fanatik seperti ISIS dan HTI
sebenarnya hampir insignificant, yaitu hanya di kisaran 3% dari keseluruhan
populasi.
Artinya, kalau kedua kekuatan Islam pro-negara khilafah
ini diberi kesempatan untuk bergabung menjadi satu, lalu menjadi peserta
Pemilu Legislatif 2019, paling jauh mereka hanya menjadi partai gurem. Selain
itu, Saiful mengungkapkan sisi lain kenyataan yang sama: kebanggaan pada
Indonesia dengan sistem yang ada sekarang ternyata tetap tinggi dan tidak
mengalami erosi, the center is strong
and solid. Hasil penelitian seperti ini tentu menyejukkan. Indonesia
sebagai rumah bersama tetap memiliki fondasi yang kuat, dengan dukungan luas.
Karena itu, barangkali kaum pro NKRI dan pro Pancasila perlu diingatkan untuk
cooling down, bernapas sedikit melegakan dada.
Bisa jadi selama ini info yang mengalir lewat the
twitterland terlalu bertubi-tubi, disaring dengan sebuah mekanisme yang kerap
dikenal sebagai amplification of the
most extremes. Pandangan kita karenanya sering kabur, penuh dengan
bayangan yang tidak lagi proporsional. Singkatnya, lewat tangan Saiful, kita
seolah mengusap mata, menjernihkan pandangan yang kabur tersebut. Catatan
lain yang tentu tidak boleh kita lewatkan: penelitian Saiful ialah tentang
fondasi, bukan isi, pergaulan atau suasana di dalam rumah tersebut. Yang
pertama lebih berhubungan dengan opini atau sikap terhadap konsep negara
kebangsaan serta dasar negara.
Sementara itu, yang kedua berkaitan dengan praktek
demokrasi, toleransi serta cara berpolitik yang cenderung terjadi belakangan
ini. Penelitian Saiful telah menjawab soal yang pertama tadi, tapi mengenai
aspek yang kedua masih banyak pertanyaan yang perlu ditelusuri. Saya yakin
Saiful sudah memikirkan bagaimana penelitian berikutnya harus dirumuskan
untuk menjelaskan masalah tersebut. Sejauh ini, dari pengamatan sementara,
kita dapat berkata perjalanan demokrasi Indonesia akhir-akhir ini bertemu
dengan sebuah persoalan pelik.
Sebelum pilkada DKI, demokratisasi pasca-Orde Baru
kelihatannya berjalan cukup lancar, betapa pun masih banyak persoalan di
dalamnya. Setelah pilkada DKI, mencuat beberapa pertanyaan: mampukah
demokrasi Indonesia bertahan jika masyarakat kita ternyata semakin sensitif
terhadap isu keagamaan, begitu mudah tersulut dalam emosi yang meluap,
mengaburkan semua pertimbangan tentang keadilan dan prinsip kesetaraan?
Bukankah kaum pemimpin dalam demokrasi, apalagi orang-orang yang termasuk
dalam kelompok top political class, seperti Anies Baswedan, Prabowo Subianto
dan Zulkifli Hasan, terikat oleh sebuah code
of honor untuk meredakan emosi massa, bukan malah memanfaatkannya?
Pertanyaan berikutnya ialah: kalau cara seperti itu
kemudian menjadi semacam template di banyak pilkada lainnya, jika isu agama
digunakan secara luas sebagai jalan pintas mencapai tujuan elektoral, apalagi
jika berhadapan dengan pesaing yang kebetulan menganut agama berbeda, apakah
'beban' seberat ini mampu ditanggung demokrasi Indonesia yang sebenarnya
masih relatif muda? Apa yang akan terjadi jika metode demikian kemudian
terangkat ke dalam panggung politik nasional?
Dalam hal terakhir ini, kita perlu menggarisbawahi di
berbagai belahan dunia sekarang demokrasi sedang terdesak. Bahkan di Amerika
Serikat, sebuah negeri yang begitu matang, dengan tradisi demokrasi lebih dua
abad, sejak tahun lalu mengalami sebuah prahara politik dengan kemunculan
Donald Trump. Prahara ini melanda begitu tiba-tiba, seperti tornado yang
datang tak terduga. Kalau di AS saja hal demikian bisa terjadi, bayangkanlah
apa yang mungkin dialami demokrasi kita. Karena itu, kita perlu lebih mendalami
apa yang sesungguhnya terjadi belakangan ini, baik di tingkat bawah maupun di
lapisan kepemimpinan politik, khususnya di kalangan yang sering disebut
sebagai the Islamic political community. IS dan HTI hanyalah cabang-cabang
sungai kecil--yang perlu kita simak ialah sungai besarnya.
Adakah undercurrents yang mengalir di bawah permukaan
sungai besar ini yang belum kita mengerti atau luput dari perhatian kita?
Kalau betul sebuah proses besar memang sedang terjadi, yang sederhananya kita
sebut sebagai santrinisasi kebudayaan Indonesia, apakah manifestasi politik
dari proses ini akan memperkuat atau justru melemahkan demokrasi Indonesia di
masa mendatang? Semua pertanyaan ini dapat dijawab dengan berbagai teori dan
spekulasi. Namun, barangkali sudah saatnya kita mendorong para ilmuwan sosial
untuk lebih giat melakukan penelitian antropologi lapangan di berbagai kota
Indonesia, seperti yang dilakukan Clifford Geertz pada 1950an.
Geertz waktu itu 'menemukan' tipologi sosial yang
berbeda-beda, yaitu santri, priayi, abangan. Ketiga tipologi sosial ini
berakar dalam kelompok yang berlainan; dan tak terhindarkan konflik serta
persaingan tajam terjadi di dalam ya. Namun, Geertz yang melakukan penelitian
selama tiga tahun di sebuah kota kecil Jawa Timur--juga melihat selain itu
ada banyak mekanisme sosial dan kultural yang melembutkan serta merajut
perbedaan itu menjadi oneness as a nation, yaitu semua kelompok merayakan
persamaan mereka, bukan mempertajam perbedaan yang ada.
Setelah lebih setengah abad, dengan begitu banyak
peristiwa yang telah terjadi, dengan pembangunan ekonomi dan perubahan
politik dalam dua generasi, apakah kini terjadi pergeseran fundamental dalam
mekanisme sosial di berbagai kota Indonesia? Santrinisasi kini tampaknya
telah terjadi di kalangan priayi, bahkan di kaum abangan sekali pun. Dengan
dominasi baru ini, apakah kemungkinan bagi toleransi sosial meningkat, atau
justru sebaliknya? Begitu banyak pertanyaan penting. Inilah tantangan bagi
kaum ilmuwan sosial sekarang: bagaimana mengembangkan metode penelitian serta
mengumpulkan data agar potret baru tersebut bisa dijelaskan dengan baik.
Hasil penelitian seperti ini pasti sangat bermanfaat. Jika
disandingkan dengan data-data empiris hasil olahan kaum ilmuwan politik
seperti Saiful Mujani, mata kita niscaya akan terbuka untuk lebih memahami
karakteristik yang sesungguhnya dari masyarakat Indonesia di awal Abad ke-21.
Knowledge is the beginning of wisdom:
ketika tabir sudah semakin tersingkap, ketika pengetahuan lebih mendalam,
kita tentu akan lebih mampu memberi peringatan sebelum datangnya malapetaka,
dengan harapan bahwa Indonesia terhindar darinya. Bukan begitu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar