Menekan
Kredit Bermasalah
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice
President BNI
|
KOMPAS, 09 Juni 2017
Sekalipun di tengah pelambatan ekonomi, bank pemerintah
tetap mampu meraih laba tinggi. Wow! Akan tetapi, jalan ke depan masih
terjal.
Hingga kuartal I-2017, bank pemerintah yang meliputi empat
bank—Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI),
dan Bank Tabungan Negara (BTN)—sanggup menggapai laba tinggi. BTN merajai
secara kualitatif dalam meraih laba bersih yang naik 21,03 persen dari Rp
0,49 triliun per Maret 2016 menjadi Rp 0,59 triliun per Maret 2017. Kinerja
unggul itu disusul BNI dengan laba bersih naik 8,50 persen dari Rp 2,97
triliun menjadi Rp 3,23 triliun, BRI 5,55 persen dari Rp 6,13 triliun menjadi
Rp 6,47 triliun, dan Bank Mandiri 7,61 persen dari Rp 3,81 triliun menjadi Rp
4,10 triliun.
Tantangan bank pemerintah
Lantas apa tantangan utama bank-bank pemerintah? Pertama,
bank pemerintah wajib menambah modal. Ingat bahwa pemerintah pernah
menggelontorkan modal berupa obligasi rekapitalisasi (bond recap) kepada
semua bank pemerintah pada 1999. Itu terjadi segera setelah krisis ekonomi
melanda Indonesia pada 1997-1998 sehingga permodalan perbankan nasional
hancur lebur. Dengan obligasi rekapitalisasi itu, bank termasuk bank
pemerintah mendapatkan bunga kupon yang merupakan pendapatan bank.
Saat itu, pemerintah harus mengeluarkan biaya sangat
tinggi, sekitar 50 kali produk domestik bruto (PDB) untuk menyelamatkan
perbankan nasional. Awalnya, pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi
kepada 28 bank nasional dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan
Gubernur Bank Indonesia Nomor 53/KMK.017/1999 dan Nomor 31/12/KEP/GBI tentang
Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum. Aturan ditetapkan 8 Februari
1999, tetapi berlaku surut pada 9 Desember 1998.
Bank penerima obligasi rekapitalisasi adalah Bank Mandiri,
BRI, BNI, Bank Central (BCA), Bank Niaga, Bank Lippo (Bank Niaga dan Bank
Lippo telah merger menjadi CIMB Niaga pada 2009), Bank Danamon, Bank
Internasional Indonesia (BII), Bank Permata, BTN, Bank Bukopin, Bank Patriot,
Bank Prima Express, Bank Universal, Bank Bali, dan Bank Arta Media. Ada pula
12 bank dari 27 bank pembangunan daerah (BPD) yang menerima obligasi
rekapitalisasi, yakni BPD Nusa Tenggara Timur, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD
Nusa Tenggara Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Kalimantan Barat, BPD Jawa
Timur, BPD Daerah Istimewa Aceh, BPD Maluku, BPD DKI Jakarta, BPD Sumatera
Utara, BPD Jawa Tengah.
Total biaya untuk obligasi rekapitalisasi itu pada tahap
awal mencapai Rp 240 triliun dan sampai akhir 2001 telah mencapai Rp 600
triliun (Tim Indef, Restrukturisasi Perbankan di Indonesia, Pengalaman Bank
BNI, 2003: 164-165). Tak hanya itu. Pada 1999, pemerintah menerbitkan
obligasi Rp 655,75 triliun. Dari jumlah itu, sekitar Rp 427,46 triliun untuk
merekapitalisasi bank-bank negara, sedangkan Rp 144,53 triliun untuk
mengganti bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan sisanya untuk rekapitalisasi
bank-bank swasta (Iskandar, Ahmad, Obligasi Rekapitalisasi Perbankan, 2011:
118).
Dengan bahasa lebih bening, obligasi rekapitalisasi
menjadi salah satu pilar perkasa bagi bank pemerintah menggalang pendapatan
yang gurih tanpa usaha keras.
Kedua, oleh karena itu, bank pemerintah hendaknya dapat
lebih memanfaatkan sisa obligasi rekapitalisasi. Bagaimana kiatnya? Bank
pemerintah dapat mengakuisisi bank lain dengan menukar obligasi
rekapitalisasi dengan saham bank yang akan diakuisisi itu. Kiat itu lebih
bermanfaat daripada bank pemerintah menjual obligasi rekapitalisasi kepada
bank lain. Hal itu juga membantu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam
mewujudkan rencana konsolidasi industri perbankan yang selama ini jalan di
tempat.
Meningkatkan kualitas kredit
Ketiga, bank pemerintah juga wajib terus menekan rasio
kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Ekonomi yang kurang darah telah
mendorong NPL bank pemerintah menebal.
Dalam industri perbankan dikenal lima kolektibilitas
kredit, yakni kredit lancar atau kolektibilitas 1 (dengan menyediakan dana
cadangan 1 persen), kredit dalam perhatian khusus atau kolektibilitas 2 (5
persen), kredit kurang lancar atau kolektibilitas 3 (15 persen), kredit
diragukan atau kolektibilitas 4 (50 persen), dan kredit macet atau
kolektibilitas 5 (100 persen). Kolektibilitas kredit apa saja yang termasuk
NPL? Kolektibilitas 3 hingga 5.
Liriklah NPL kotor (gross) Bank Mandiri yang menebal dari
2,89 persen per Maret 2016 menjadi 3,95 persen per Maret 2017 dan BNI dari 2,8
persen menjadi 3 persen. Sebaliknya, NPL kotor BTN menipis dari 3,59 persen
menjadi 3,34 persen dan BRI dari 2,22 persen menjadi 2,16 persen.
Sekalipun di bawah ambang atas 5 persen, NPL itu merupakan
peringatan keras bagi bank pelat merah, terutama Bank Mandiri, BTN, dan BNI,
untuk meningkatkan kualitas kredit. Apa risiko NPL? Pastilah cadangan
kerugian penurunan nilai (CKPN) akan meningkat tajam. Ada bank pemerintah
yang menetapkan cadangan melebihi 100 persen atau bahkan mendekati 150
persen. Hal itu bertujuan untuk melakukan antisipasi pembengkakan NPL pada
tahun berjalan. Akibatnya, laba akan tertekan. Namun, sebaliknya ketika tak
terjadi pembengkakan NPL pada akhir tahun, cadangan itu sebagai pendapatan
lain-lain bank untuk menjadi laba pada akhir tahun.
Keempat, kini saatnya bank pemerintah menggenjot kredit
untuk membiayai proyek infrastruktur, seperti bandar udara, pelabuhan laut,
jalan tol, jalan kereta api, jembatan, irigasi (bendungan), pembangkit
listrik. Kredit yang satu ini akan menghasilkan pendapatan bunga kredit
(interest income) yang manis sehingga dapat memenuhi fungsinya sebagai
intermediasi keuangan (financial intermediary). Jangan sampai bank pemerintah
yang sekaligus sebagai agen pembangunan hanya mengejar pendapatan dari komisi
(fee-based income) seperti wealth management dan cash management. Lugasnya,
bank pemerintah harus mengoptimalkan semua produk dan jasa perbankan untuk
menyuburkan pertumbuhan ekonomi.
Tak ayal lagi, bank pemerintah harus menjadi panglima
terdepan dalam membangun negeri. Ingat bahwa CIMB Niaga sudah naik kelas
dengan menjadi anggota baru bank umum kategori usaha (BUKU) 4 dengan modal
inti Rp 30 triliun ke atas. Bank Panin dan Bank Danamon segera menyusul yang
telah mengantongi modal inti masing-masing sekitar Rp 28 triliun. Pendatang
baru itu akan menjadi lawan tangguh untuk memperebutkan kue industri
perbankan yang lezat.
Kelima, pada 1999, sebagai upaya untuk menyehatkan bank,
pemerintah mengundang investor asing melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
29 Tahun 1999 tentang Pembelian Saham Bank Umum. Pasal 3 PP itu menyatakan
jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau Badan Hukum
Asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui Bursa
Efek sebanyak-banyaknya adalah 99 persen.
Pasti undangan itu langsung disambut hangat investor
asing. Untuk itu, jangan merasa heran ketika sekarang terdapat sekitar 17
bank nasional yang mayoritas sahamnya dikuasai investor asing dari Singapura,
Malaysia, Inggris, Australia, India, China, Korea Selatan, dan Qatar.
Sesungguhnya, Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/8/PBI/2012 tanggal 13 Juli 2012
tentang Kepemilikan Saham Bank Umum. Aturan itu bertujuan meningkatkan
ketahanan industri perbankan nasional sehingga mampu menghadapi dinamika
perkembangan perekonomian regional dan global. Hal itu juga bertujuan untuk
meningkatkan penerapan prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank yang baik
(good corporate governance/GCG).
Dengan PBI itu, BI mengatur batas maksimum kepemilikan
saham pada bank 40 persen, 30 persen, dan 20 persen dari modal bank
masing-masing untuk kategori pemegang saham berupa badan hukum lembaga
keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), badan hukum bukan LKBB,
dan perseorangan.
Apakah investor masih dapat menguasai mayoritas saham bank
lokal di atas 40 persen? Ternyata masih, sejauh investor memenuhi delapan
syarat, yakni mempunyai tingkat kesehatan bank peringkat I atau II atau
peringkat tingkat kesehatan bank yang setara bagi bank berkedudukan di luar
negeri, memiliki modal minimum sesuai profil risiko, modal inti (tier 1)
minimal 6 persen dan mendapatkan rekomendasi dari otoritas pengawas bank bagi
bank yang berkedudukan di luar negeri. Syarat lainnya, bank telah go public,
memiliki komitmen memenuhi kewajiban membeli surat utang bersifat ekuitas
yang diterbitkan bank yang akan dimiliki, berkomitmen memiliki bank minimal
dalam jangka waktu tertentu dan memiliki komitmen mendukung pengembangan
perekonomian nasional melalui bank yang akan dimiliki.
Bagaimana bank yang telanjur memiliki saham bank melebihi
40 persen? Bank demikian tetap boleh melenggang lantaran aturan kepemilikan
saham bank umum tak berlaku surut (retroaktif). Akan tetapi, pemegang saham
bersangkutan wajib mengikuti batas kepemilikan saham bank jika tingkat
kesehatan bank dan/atau GCG pada peringkat III, IV, atau V posisi akhir
Desember 2013. Pemegang saham wajib memenuhi aturan itu paling lama lima
tahun sejak 1 Januari 2014 untuk melepas saham (divestasi). Celakanya,
landasan hukum aturan itu (PBI) masih kalah tinggi daripada PP sehingga PP
itu masih berlaku hingga kini.
Mengingat kini permodalan bank sudah kian perkasa, sudah
semestinya rasio kepemilikan mayoritas saham bank lokal oleh investor asing
direvisi dari maksimal 99 persen menjadi maksimal 40 persen. Itu sebagai
wujud keberpihakan pemerintah terhadap bank lokal. Bandingkan dengan China
yang hanya 25 persen, Thailand 25 persen, Malaysia 30 persen, dan Singapura
40 persen sehingga pemerintah masih dapat mengendalikannya.
Manakala mampu menghadapi tantangan demikian, bank pelat
merah diharapkan dapat lebih trengginas dalam menghadapi persaingan. Sungguh!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar