Menjadi
Sahabat Anak
Seto Mulyadi ; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma;
Ketua Umum Lembaga
Perlindungan Anak Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2017
TANPA kita sadari, kita semua telah mengajarkan kekerasan
dan kebencian pada anak-anak kita. Mulai kebiasaan orangtua membentak,
menjewer atau memukul saat anak-anak tidak mau menuruti perintah, atau guru
memaki murid saat mereka datang terlambat atau tidak mengerjakan tugas,
sampai kepada pawai beramai-ramai yang mengajak anak-anak untuk menyerukan
ujaran kebencian. Ajaran kekerasan ini dengan sangat efektif telah direkam
anak-anak kita, yang suatu saat nanti akan ditiru dan ditampilkan kembali
dalam bentuk aneka perilaku kekerasan saat remaja atau dewasa.
Apakah itu dalam bentuk bullying, tawuran massal, geng motor, sampai kepada teror bom
yang sangat mengerikan. Para ahli psikologi mengatakan suatu perilaku
diperoleh melalui proses belajar. Artinya seseorang akan menempuh suatu
proses belajar yang sistematis untuk bisa menjadi seorang yang dapat
melakukan suatu perbuatan tertentu.
Apakah itu perbuatan baik seperti: sikap penuh
persahabatan, perdamaian, dan saling menolong. Atau sebaliknya, perbuatan
yang penuh nuansa kekerasan, kebencian, dan permusuhan. Apabila pelajaran
kekerasanlah yang selalu menjadi menu utama dalam pendidikan anak-anak kita,
apakah itu di rumah, di sekolah, maupun di tengah masyarakat, berbagai tindak
kekerasan dan permusuhan itu pulalah yang tidak akan pernah usai terjadi di
negeri kita.
Untuk itu, sudah saatnya kita semua berani bertindak
tegas, mengubah cara pendidikan anak-anak yang penuh ajaran kekerasan, baik
dalam pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Hal ini pula yang saya
kemukakan saat menjadi keynote speaker dalam Asian Psychological Association
Convention 2017 di Malang bulan lalu. Kekeliruan pendidikan terhadap anak
sudah semakin meluas dan mengkhawatirkan di kawasan Asia sehingga para ahli
psikologi perlu aktif turun tangan ikut membenahi berbagai kesalahan
pendidikan yang penuh nuansa kekerasan ini.
Perlindungan anak
Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, baik dari
sisi bentangan geografis maupun jumlah penduduk, situasi perlindungan anak di
Indonesia niscaya dianggap sebagai potret nyata tentang hal yang sama di
kawasan Asia bahkan dunia. Dengan dasar berpikir seperti itu, apakah
kegentingan situasi keamanan anak-anak di Indonesia juga mencerminkan
realitas tingginya risiko anak-anak di wilayah Asia? Memang, masih dibutuhkan
kajian mendalam untuk menjawabnya.
Sebagai ilustrasi, Child Helpline International memetakan
situasi kekerasan di 145 negara. Hasilnya cukup melegakan; jika dibandingkan
dengan belahan dunia lainnya, rerata kekerasan terhadap anak di kawasan Asia
Pasifik adalah 10%. Angka itu setengah dari rerata di Afrika, Eropa, dan
Amerika. Bahkan sepertiga dari rerata di Timur Tengah.
Namun, apabila perbandingan dilakukan dengan sesama negara
Asia, simpulannya cukup mengejutkan. Metaanalisis estimasi UNICEF pada 2014,
yang dimuat dalam Violence against Children in East Asia and the Pacific-A
Regional Review and Synthesis of Findings, menunjukkan perlindungan anak
masih lemah dan kekerasan terhadap anak tersebar di seluruh kawasan Asia.
Pengamatan saya menemukan kecenderungan bahwa tindak
kekerasan, apalagi yang dilakukan orangtua terhadap anak, bagaikan duplikasi
pengasuhan penuh kekerasan yang pernah diterima pelaku semasa kecilnya dulu.
Dari perspektif psikologi belajar, diasumsikan bahwa orangtua pelaku dulunya
hanya memiliki satu perbendaharaan pola pengasuhan, yaitu pengasuhan yang
secara ironis mengandalkan kekerasan. Untuk itulah, ilmu psikologi khususnya
psikologi keluarga perlu memperkaya perbendaharaan pengetahuan para orangtua
dan kemudian melatih mereka mengembangkan keterampilan pengasuhan baru.
Dari perspektif psikologi faali, masyarakat layak risau
bahwa pengalaman bertahun-tahun diasuh dalam kekerasan telah mengubah
struktur dan proses kerja otak orangtua. Para orangtua dengan hardware dan
software otak yang dibentuk lewat kekerasan itu kemudian mengasuh anak-anak
mereka. Begitu terus sehingga antargenerasi berkembang pola evolusi otak yang
serbakekerasan. Tantangannya ialah bagaimana membalik proses evolusi itu.
Perlu orang sekampung
Sering kali orangtua sendiri tidak sanggup untuk mengatasi
kekeliruan cara pendidikan anak yang sudah lama dipraktikkan. Mereka juga
sangat memerlukan bantuan dari orang lain. Maka dalam hal ini warga sekitar
perlu ikut dilibatkan. Seperti kata bijak: mendidik dan melindungi anak perlu
orang sekampung. Memberdayakan warga dalam lingkungan RT dan RW untuk saling
mengingatkan dan peduli manakala ada tindak kekerasan atau penelantaran yang
dilakukan warga terhadap anak-anaknya merupakan salah satu kuncinya. Langkah
awal sudah dilakukan beberapa pimpinan daerah yang mewajibkan setiap RT dan
RW di wilayahnya untuk melengkapi adanya Satgas (Satuan Tugas) Perlindungan
Anak atau Satgas Sahabat Anak, antara lain di Kota Tangerang Selatan,
Kabupaten Banyuwangi, dan Kabupaten Bengkulu Utara.
Satuan inilah yang juga berfungsi melatih para orangtua di
lingkungan mereka agar memosisikan diri sebagai sahabat anak sehingga dapat
memulai era baru: pendidikan yang ramah anak. Demikian pula orangtua di
sekolah, yaitu guru, memegang peran sentral agar memastikan lingkungan
pendidikan betul-betul bebas dari kekerasan. Perlu diusulkan kepada otoritas
pendidikan bahwa sekolah berkualitas tidak cukup hanya diukur semata-mata
berdasarkan prestasi yang bersumber dari tempaan kognitif siswa. Masyarakat
pun perlu bersepakat bahwa sekolah yang nirkekerasan ialah penanda utama
sekolah unggulan. Bahkan sungguh tepat jika sekolah nirkekerasan menjadi
unsur kunci, yaitu unsur mutlak yang harus bisa direalisasikan dalam proses
akreditasi sekolah.
Para aktivis perlindungan anak diharapkan dapat
berkontribusi lebih besar untuk merealisasikan sekolah yang bebas dari
kekerasan ini. Mengubah mindset para pemangku kepentingan, lalu
menginternalisasikan ke dalam berbagai kebijakan, sungguh merupakan langkah
yang sangat mendesak. Para pemangku kepentingan perlindungan anak di mana pun
sudah saatnya siap terpanggil untuk menjadi sahabat anak. Apakah sebagai
orangtua, guru, pemuka agama, ketua RT, polisi, wali kota, bupati, gubernur,
sampai kepada menteri dan presiden.
Bersama mengampanyekan cara mendidik anak yang penuh persahabatan
dan jauh dari kekerasan. Pendidikan kekerasan yang masih banyak terjadi
mungkin juga karena kelalaian kita semua. Namun, tentu tidak ada kata
terlambat. Kita masih punya ruang luas untuk membayar keterlambatan ini.
Mari, selamatkan anak-anak kita demi Indonesia yang lebih maju dan damai.
Siap menjadi sahabat anak, mendidik anak dengan kekuatan cinta, bukan cinta
pada kekerasan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar