Persatuan
atau Persatean Nasional? (III)
Ahmad Syafii Maarif ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA, 30 Mei 2017
Bung Karno menyadari bahwa untuk mencerahkan mental rakyat
jajahan, cara yang terbaik adalah melalui pendidikan yang dilakukan PNI,
sekalipun selama ini dalam kenyataannya agitasi politik lebih menonjol. Bung
Hatta juga punya pendirian serupa, karena jika persatuan nasional hanya
direkat melalui agitasi politik tidak akan efektif.
Itulah sebabnya nama PPNI (Partai Pendidikan Nasional
Indonesia) Sjahrir-Hatta yang dibentuk pada Desesember 1931 bukan
perpanjangan dari Partai Nasional Indonesia, tetapi partai ini berdasarkan
“Kedaulatan Rakyat.” (Hatta, Memoir, hlm. 261, cetakan miring sesuai dengan
aslinya). Setelah kepulangan Bung Hatta dari Negeri Belanda tahun 1932, PNI
ini yang semula dipimpin Sutan Sjahrir, lalu diserahkan kepada Bung Hatta
Mengapa harus didirikan partai baru yang P keduanya
berarti Pendidikan? Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, Bung Hatta kecewa
dengan pembubaran PNI oleh Mr. Sartono setelah Bung Karno ditangkap oleh
pemerintah kolonial pada 29 Desember 1929. Ini pernyataan Hatta selanjutnya:
“Pemimpin-pemimpin yang membubarkan P.N.I. lupa, bahwa dengan tidakan itu
mereka menunjukkan kelemahan mereka dan menyatakan pula bahwa mereka tidak
bersedia berkorban. Pada hal kemauan memberikan korban itulah yang dididik
bertahun-tahun oleh Perhimpunan Indonesia.” (Ibid., hlm. 244). Pendidikan
politik kepada kader PPNI-Baru masih diteruskan Bung Hatta di Jakarta setelah
kembali ke tanah air.
Mengapa masalah pendidikan rakyat itu demikian penting di
mata Hatta agar mereka berdaulat penuh dalam menentukan nasib bangsanya
sekarang dan di kemudian hari? Inilah jawaban yang diberikan Bung Hatta:
Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang
mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit). Karena rakyat itu jantung
hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi-rendahnya derajat
kita. Dengan rakyat itu kita naik dan dengan rakyat itu kita akan
tenggelam…Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti,
kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatannya
sendiri. (Ibid.).
Sekiranya pemikiran Hatta ini menjadi arus utama dalam
perpolitikan nasional pasca-Proklamasi, tentu bangsa ini tidak perlu
tertatih-tatih dan sempoyongan dalam menata dan memperjuangan prinsip
demokrasi yang kuat dan sehat yang memang sudah menjadi pilihan kita semua
sejak pergerakan kebangsaan dulu. Ulang lagi baca kutipan di atas:
“Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti, kalau di
belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatannya sendiri.”
Untuk membentuk mentalitas “rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatannya
sendiri” itu ternyata bukan pekerjaan mudah, apalagi jika ggasan mulia itu
tidak menjadi perhatian elite politik bangsa.
Amat disayangkan pendidikan politik ini terpaksa terhenti karena
tidak lama sesudah itu Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap rezim kolonial dan
dibuang ke tempat yang berbeda selama beberapa tahun sampai invasi tentara
Jepang ke Indonesia bulan Maret 1942 yang tidak kurang brutalnya. Dalam
bacaan saya, sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai
hari ini partai-partai politik tidak punya agenda yang sungguh-sungguh untuk
pendidikan politik para kadernya. Akibat buruknya adalah bahwa rahim bangsa
ini kesulitan melahirkan negarawan dengan wawasan keindonesiaan yang menukik
jauh ke depan. Yang banyak muncul adalah politisi dengan pragmatisme untuk
kepentingan sesaat, sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini.
Dalam majalah Daulat Rakyat No 37, tertanggal 20 September
1932, Hatta menulis: “Tidak perlu tepuk dan sorak, kalau kita tidak sanggup
berjuang, tidak tahu menahan sakit. Indonesia Merdeka tidak akan tercapai
dengan agitasi saja. Perlu kita bekerja dengan teratur; dari agitasi ke
organisasi.” (Ibid., hlm. 260-261). Ini adalah sindiran Hatta, 13 tahun
sebelum proklamasi, kepada demagog bangsa dengan yel-yel penuh emosi dan
hasutan, tetapi kurang atau tidak menghiraukan metode kerja yang teratur dan
disiplin.
Tujuan kemerdekaan bangsa hanya mungkin dicapai melaui
alur fikir yang benar dan cara kerja yang direncanakan secara matang, sesuatu
yang sering luput dalam sejarah perpolitikan kita. Maksud menghadirkan
kembali pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta pada saat bangsa ini seperti
kehilangan pedoman dan arah adalah agar kita semua menjadi sadar dan insaf
kembali tentang keteledoran dan kecerobohan kita dalam mengurus bangsa dan
negara, demi menguatkan buhul persatuan dan menghindari perpecahan yang parah
yang bisa meluluhlantakkan negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar