Demokrasi
Pancasila
untuk
Lompatan Kemajuan Ekonomi
Eva K Sundari ; Anggota Kaukus Pancasila DPR, Fraksi PDIP;
Wakil Ketua DPP Alumni
GMNI
|
JAWA
POS, 31
Mei 2017
PANCASILA adalah jalan tengah, mengambil kebaikan
kebebasan (freedom) dari kapitalisme
dan solidaritas dari sistem sosialisme. Bagi Sukarno, demokrasi Pancasila
adalah demokrasi yang berwajah dua: demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Keduanya ibarat dua sisi dari satu mata uang.
Soal kinerja politik, kita sudah punya reputasi sebagai
negara mayoritas muslim yang demokratis. Kinerja di bidang ekonomi juga tidak
buruk, posisi Indonesia kukuh di G20, dan yang terakhir tiga lembaga
terkemuka dunia, yaitu S&P, Moody, Flitch, menempatkan Indonesia sebagai
tempat paling menjanjikan untuk investasi (Bloomberg, 2017).
Meski demikian, prestasi ekonomi tersebut belum otomatis
memenuhi definisi demokrasi ekonomi Pancasila yang berinti soal keadilan.
Satu untuk semua, semua untuk semua (Sukarno, 1 Juni 1945). Sehingga, isu
keadilan atau pemerataan ekonomi tidak boleh diabaikan karena hal tersebut
prasyarat kebersamaan.
Untuk mewujudkan keadilan ekonomi, pilihannya hanya satu,
yaitu pemihakan (afirmasi) kepada kelompok yang lemah untuk diberdayakan.
Program-program khusus didesain untuk mereka agar bisa produktif dan mampu
melawan jebakan kemiskinan. Tetapi, keadilan juga mengharuskan tiadanya gap
yang tajam antargenerasi, kelompok masyarakat, atau antarkawasan.
Dari Kemenko Perekonomian, argumen sekaligus tujuan untuk
kebijakan pemerataan adalah demi sila persatuan dan keadilan sosial.
Strateginya adalah yang kaya tetap boleh kaya, tapi
kelompok yang rentan tidak menjadi miskin. Istilah populernya, pertumbuhan
ekonomi yang berkeadilan, yaitu pemerataannya membaik (growth with equity).
Sesungguhnya, isu keadilan sosial harus dikaitkan dengan
sila 4 yang Sukarno menyebutnya sosio-demokrasi di mana demokrasi politik dan
ekonomi sama-sama maju. Penggunaan konsep ini akan berdampak pada pilihan
metode, bukan semata capaian-capaian ekonomi yang parsial dari pembangunan
nasional.
Gotong Royong untuk Mewujudkan
Keadilan Sosial
Sukarno dalam kursus Pancasila pada 21 Februari 1959
mengurai bahwa untuk mencapai demokrasi ekonomi syaratnya adalah gotong
royong. Artinya, semua warga dengan kemampuan masing-masing bekerja untuk
satu tujuan, yaitu kemajuan bersama mencapai masyarakat adil dan makmur.
Sukarno mengibaratkan gotong royong bagai sebuah orkestra.
Masing-masing alat musik yang berbeda bermain di lagu dengan partiturnya sama
di bawah pimpinan satu dirigen. Sehingga, musik yang akan terdengar adalah
harmonis dan lagu dapat ditampilkan secara sempurna.
Analogi yang lain adalah gotong royong membangun sebuah
rumah. Masing-masing pelaku berbeda peran, tapi saling melengkapi hingga
sebuah rumah terwujud. Masing-masing bagian melaksanakan kepemimpinan sesuai
peran spesifiknya.
Gotong royong bersifat dinamis karena membuka ruang bagi
inisiatif-inisiatif meski masing-masing inisiatif kepemimpinan harus berdasar
satu rancang bangun yang sama.
Lalu, apa motif masing-masing kepemimpinan dalam kerja
yang saling menggenapi tersebut? Tanggung jawab kepada Tuhan di akhirat
kelak.
Sukarno (21/2/1959) mengingatkan akan pertanggungjawaban
atas kepemimpinan kita kelak di akhirat dengan merujuk peran manusia sebagai
representasi zat Tuhan di dunia. Sehingga, isu moralitas agama adalah inheren
dalam sistem demokrasi (ekonomi) gotong royong Pancasila.
Ini demokrasi unik pilihan Indonesia, yaitu demokrasi
gotong royong dengan adanya sila ketuhanan YME. Ini menegaskan bahwa RI bukan
negara agama, bukan negara sekuler, tapi negara Pancasila. Bukan pula negara
bukan (ini) bukan (itu).
Sebagaimana partitur dalam orkestra atau rancang bangun
rumah, gotong royong untuk keadilan sosial juga membutuhkan blue print pembangunan.
Blue print pembangunan nasional itulah yang disebut demokrasi terpimpin
(guided democracy) yang mengarahkan kerja masing-masing komponen agar
konvergen.
Konsep demokrasi terpimpin sebenarnya muncul terkait
konteks pembangunan ekonomi (bukan politik) demi menjamin terwujudnya
keadilan sosial (Sukarno, 20/2/1959). Salah kaprah bahwa demokrasi terpimpin
sering dikaitkan dengan sosok orang (BK) juga harus diluruskan karena
sebenarnya merujuk pada adanya desain perencanaan nasional yang harus jadi
pedoman para pemimpin (presiden) hasil pemilu.
Keadilan sosial membutuhkan peran negara, termasuk untuk
mengendalikan mekanisme pasar yang mengabaikan soal keadilan. Peran negara
bukan saja sebagai regulator, tapi juga eksekutor agar blue print yang
mengatur peran BUMN, corporate (DN dan LN), dan rakyat (koperasi, UMKM,
sektor informal) dapat diarahkan untuk gotong royong.
Revolusi Mental dan Lompatan
Kemajuan
Model negara kesejahteraan (welfare state) bukan saja
model yang sesuai Pancasila, tapi juga menjadi tren global reformasi
perekonomian negara-negara berkembang, termasuk di ASEAN. Keunggulan model
negara ini terbukti bisa menjamin indeks pembangunan manusia yang tinggi
sekaligus menjadi faktor tingginya indeks kebahagiaan rakyat. Bahkan 10
negara yang tergolong islami adalah negara-negara yang masuk kategori ini.
Sukarno menyebutkan bahwa perkembangan fase-fase tingkatan
kemajuan negara tidak bersifat linier (21/2/59). Sebuah negara bisa melompat
menjadi negara kesejahteraan tanpa melampaui fase kapitalis. Sebuah lompatan
menuju negara kesejahteraan inilah yang harus bisa dilakukan Indonesia.
Banyak negara yang membuktikan diri bisa melakukan
lompatan, yang paling fantastis tentu Tiongkok. Mereka membuat blue print
pembanguanan untuk jangka panjang yang dipakai oleh 4 presiden sehingga dalam
waktu 20 tahun mampu menyalip Jepang dan menjadi perekonomian terbesar kedua
di G20 di bawah Amerika.
Lompatan ekonomi tersebut bisa diwujudkan Tiongkok dengan
dibarengi revolusi mental berupa upaya memberantas korupsi dengan pembentukan
komite disiplin di birokrasi dan partai komunis. Penegakan hukum tegas
diberlakukan tanpa pandang bulu. Lompatan ekonomi terwujud.
Gotong royong bisa jadi modal kapital untuk melakukan
kompatan karena di mana pun nasionalisme adalah dorongan paling ampuh untuk
menang di kompetisi global. Riset membuktikan bahwa identitas nasional yang
kuat penyokong terwujudnya keadilan sosial di negara-negara kesejahteraan
(Miller, 1995).
Indonesia harus melakukan percepatan pelaksanaan program
revolusi mental agar mampu mencetak warga yang berintegritas, beretos kerja
tinggi, dan berkepribadian Pancasila. Harusnya pula, proses politik membentuk
blue print untuk memimpin kolaborasi/gotong royong warga bangsa sudah dimulai
secara simultan. Tanpa keduanya, lompatan ekonomi mustahil diciptakan oleh
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar