Persatuan
atau Persatean Nasional? (II)
Ahmad Syafii Maarif ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA, 23 Mei 2017
Bung Karno lalu mengutip pendapat Clive Day berikut ini:
“Devide et impera” itulah peribahasa asli yang dituruti apabila berhubungan
dengan kerajaan-kerajaan anak negeri dan itulah asas yang dipakai oleh
sebagian besar orang Belanda untuk mencapai hasil yang baik.” (Ibid, hlm 136,
garis miring sesuai dengan aslinya).
Hantaman Bung Karno terhadap imperialisme yang memecah belah
rakyat Indonesia terasa sangat berani. Dan rakyat itu sendiri ternyata masih
rentan terhadap politik devide et impera ini, sebagaimana diakui Bung Karno
sebagai salah satu kelemahan bangsa kita, mudah dijadikan sate.
Lalu, bagaimana upaya untuk menyadarkan rakyat banyak akan
bahaya penyakit perpecahan ini? Bung Karno menjawab: “Kami, kaum PNI, kami
mencoba memberantas penyakit ini dengan mengadakan lebih banyak pendidikan
rakyat, menyokong sekolah-sekolah rakyat, mengurangi buta huruf di kalangan
rakyat.” (Ibid, hlm 140). Bung Karno sangat sadar betapa baji devide et
impera ini cukup ampuh untuk menghancurkan mental rakyat agar tetap menjadi
rapuh, demi mengekalkan sistem penjajahan yang rakus itu. Tetapi lambat laun
nasionalisme Indonesia yang mengobarkan semangat persatuan nasional telah
membuahkan hasil, sekalipun harus didahului oleh PD (Perang Dunia) II,
1939-1945.
Bagaimana pula Bung Hatta berbicara tentang kolonialisme
melalui bahasa yang sangat tajam dalam pidato pembelaannya di Pengadilan Den
Haag bulan Maret 1928 setelah dia dikurung selama sekian bulan di negeri
induk itu. Kita kutip: “Nafsu untuk mengambil sebanyak mungkin keuntungan
dari Indonesia secara langsung maupun tidak langsung, membuat Nederland
melakukan politik kolonial yang garis-garis besarnya ditentukan oleh pikiran,
bagaimana kekuatan supremasi Negeri Belanda dapat dipertahankan untuk
membendung kesadaran bangsa Indonesia yang semakin meluas.” (Lih Mohammad
Hatta, Indonesia Merdeka, terj Hazil dari bahasa Belanda. Jakarta: Bulan
Bintang, 1976, hlm 93).
Saat menyampaikan pembelaan itu, usia Hatta baru 26 tahun,
tetapi secara politik dan intelektual terasa sudah matang karena ditempa oleh
pemihakan total yang tulus terhadap penderitaan rakyat tanah jajahan yang
sebagian besar buta aksara.
Saya sudah lama menganjurkan kepada elite politik
Indonesia agar mau membaca pembelaan Bung Hatta dan pembelaan Bung Karno
melawan rezim kolonial. Dengan menghayati jeritan nurani kedua proklamator
ini, siapa tahu kekerdilan wawasan yang mencekam pikiran mereka akan sedikit
dapat dicerahkan. Pembelaan terhadap prinsip persatuan dan perlawanan
terhadap virus persetanan akan tetap hidup dalam sanubari bangsa ini. Tanpa
kesediaan menengok kelampauan yang belum terlalu jauh sejarah bangsa ini,
orang tidak akan pernah paham apa makna penjajahan dan apa makna kemerdekaan
bagi negara tercinta ini.
Hatta selanjutnya mengatakan: “Maka demikianlah politik
yang di satu pihak berpura-pura memenuhi hasrat penduduk daerah jajahan, dan
di pihak lain menjaga agar kekuatan tetap ada pada kaum penjajah. Posisinya
yang kuat itu harus dipertahankan terus. Pada kenyataannya penduduk bangsa
Indonesia hampir tidak mempunyai hak-hak politik; ia juga tidak dilindungi
terhadap ekses nafsu-berkuasanya kaum kulit putih dan pejabat pemerintah yang
merajalela di daerah jajahan.” (Ibid).
Sebagai salah seorang tokoh puncak PI (Perhimpunan
Indonesia) di Negeri Belanda, pandangan politik Hatta dari waktu ke waktu
semakin radikal, seperti di sini terbaca: “Selamat tinggal politik memohon
dan mengemis! Selamat tinggal politik memohon restu! Selamat tinggal politik
menadahkan tangan! (Ibid, hlm 97).
Terus terang batin saya bergetar keras membaca sikap
perlawanan Bung Hatta ini. Lalu Hatta mengutip pendirian PI yang tegas dan
ringkas yang dirumuskan pada 1926: “Lebih suka kami melihat Indonesia
tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel abadi
daripada suatu negara asing.” (Ibid, hlm 136-137). Dalam usia yang masih
belia, Hatta telah menampakkan dirinya sebagai negarawan-petarung sejati, bak
ayam kinantan dari Timur, bukan lagi sebagai politikus ingusan yang baru
belajar berkokok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar