Merajut
Kerukunan Umat Beragama
Ikhwanul Kiram Mashuri ; Penulis Kolom RESONANSI Republika
|
REPUBLIKA, 29 Mei 2017
Ketika menulis seseorang yang masuk Islam, saya selalu
berupaya menghindari menyebut agama yang bersangkutan sebelum menjadi mualaf.
Saya cukup menyebut, sebelum mualaf orang tersebut sebagai non-Muslim. Hal
ini saya lakukan sejak saya menjadi reporter, lalu redaktur, redaktur
pelaksana/redaktur eksekutif, pemimpin redaksi, direktur news and content,
direktur utama Republika Media Visual (RMV) hingga menjadi redaktur senior
dan kolomnis sekarang ini.
Semua itu saya lakukan sebagai upaya untuk tidak menyakiti
perasaan dan sekaligus menghormati keyakinan dan agama orang lain. Sebagai
Muslim tentu ada rasa kecewa bila terdapat orang Islam yang berpindah agama.
Dalam Islam, orang tersebut disebut murtad. Hal serupa, saya pikir, juga akan
dirasa oleh umat dari agama lain. Mereka juga akan kecewa bila ada orang yang
seagama berpindah ke agama lain, termasuk ke agama Islam.
Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), berdasarkan Pancasila, berkonstitusikan UUD 1945, dan
bermotokan Bhinneka Tunggal Ika, adalah negara yang mengakui pluralitas
warganya. Mengakui kemajemukan masyarakatnya. Baik yang menyangkut suku, agama,
ras, maupun kelompok atau golongan.
Khusus mengenai agama, Indonesia secara resmi mengakui
keberadaan enam agama. Yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan
Konghucu. UUD 1945 pasal 29 dengan tegas menyatakan Indonesia adalah negara
yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Negara juga menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya itu.
Dengan fakta seperti ini, maka menjaga keharmonisan dan
kerukunan umat beragama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia mutlak
diperlukan. Antara lain dengan tidak menghina, melecehkan, menodai, dan
merendahkan agama dan pemeluk agama lain. Dan, karena itu, pasal-pasal
tentang penodaan agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mutlak
diperlukan justru untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan kehidupan umat
beragama.
Karena itu sangat aneh bila akhir-akhir ini ada
kelompok-kelompok atau orang per orang yang menuntut penghapusan pasal-pasal
tentang penodaan agama dari KUHP. Pertanyaan saya, apakah orang atau kelompok
orang lalu bebas melecehkan, merendahkan, menodai, dan menjelekkan agama atau
penganut agama lain? Kalau itu yang berlaku, perang besar seperti Brontoyudo
atau Baratayuda bisa saja terjadi.
Harus diakui agama adalah persoalan yang sensitif. Ia
menyangkut keyakinan atau akidah. Istilahnya, mati pun dibelain bila terkait
dengan akidah atau keyakinan agama. Orang bisa cepat marah bila akidah atau
keyakinan agamanya dilecehkan, dihina, direndahkan, dan apalagi dinodai.
Karena itu, saling menghormati antarpemeluk agama mutlak diperlukan demi
menjaga kerukunan dan keharmonisan kehidupan antarumat beragama.
Meminjam apa yang pernah disampaikan almarhum KH Hasyim
Muzadi alias Abah, urusan akidah atau keyakinan adalah urusan internal
masing-masing pemeluk agama. Orang atau pihak lain tidak boleh intervensi
atau ikut campur terhadap akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Sedangkan
masalah muamalah harus didayagunakan dalam bentuk kerja sama untuk membangun
negeri ini.
Setiap pemeluk agama, menurut Abah, harus meyakini
agamanyalah yang paling baik dan benar. Namun, bukan berarti kita bisa
mengatakan bahwa semua agama adalah baik dan benar. Justru hal ini akan
membingungkan, apalagi buat anak-anak. Sebab bagi Muslim, Islam adalah paling
baik dan benar. Inna ad diina ‘indallahi al Islam. Sementara buat pemeluk
agama lain, mereka pasti berkeyakinan agamanyalah yang paling baik dan benar.
Yang diperlukan adalah bagaimana kita bisa saling
menghormati. Umat Islam menghormati bahwa pemeluk agama lain berkeyakinan
agamanyalah yang paling baik dan benar. Begitu pula sebaliknya. Hanya dengan
saling menghormati seperti inilah kerukunan dan keharomonisan kehidupan umat
beragama di negeri tercinta ini akan tercipta.
Misalnya pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Bagi
umat Islam, Ramadhan adalah bulan suci, bulan ibadah, dan bulan penuh ampunan
serta barakah. Akan sangat baik bila pemeluk agama lain ikut menghormati
bulan yang sangat suci ini. Seperti tidak membuka warung makanan atau restoran
— termasuk di mal-mal — secara mencolok. Juga tidak mengoperasikan
tempat-tempat hiburan malam. Begitu pula sebaliknya, pada hari-hari yang
dianggap suci oleh agama lain, umat Islam juga harus ikut menjaga dan
menghormatinya.
Saya termasuk yang tidak setuju dengan adanya sweeping
yang dilakukan ormas-ormas tertentu terhadap tempat-tempat hiburan, terutama
pada bulan Ramadhan. Akan lebih baik bila dengan kesadaran sendiri masyarakat
negeri ini saling menghormati hari-hari suci umat beragama lain, termasuk
menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan
ini.
Di sinilah diperlukan aparat hukum dan keamanan yang
sigap, senstif, responsif, transparan, bijak, obyektif, dan bertindak adil
terhadap kasus-kasus yang bisa mengganggu kerukunan kehidupan umat beragama.
Terutama kasus-kasus yang mengindikasikan penistaan terhadap suatu agama atau
umat beragama. Termasuk tindakan dari orang-orang yang dengan sengaja
mengganggu kekhusukan umat Islam beribadah puasa pada bulan Ramadhan sekarang
ini.
Jangan sampai akibat dari ketidaksensitifan dan kelambanan
aparat keamanan dan hukum menangani kasus, terutama terkait dengan penistaan
terhadap agama dan umat beragama, berkembang menjadi penekanan-penekanan
massa. Menjadikan umat bertindak sendiri-sendiri. Bila ini yang terjadi,
akibatnya bisa sangat fatal.
Apalagi bila kemudian muncul kesan bahwa aparat keamanan
dan hukum sengaja melindungi orang-orang atau kelompok tertentu. Atau ada
kesan adanya kesengangajaan untuk mengincar orang-orang tertentu. Seperti
yang muncul akhir-akhirnya dengan istilah ‘kriminalisasi ulama’.
Semua itu mungkin tidak benar. Namun, sebuah kesan bila
tidak segera dijawab dengan tindakan nyata yang objektif dan transparan akan
sangat berpotensi berkembang menjadi sikap radikal. Seseorang yang bersikap
radikal akan sangat mudah dipengaruhi atau direkrut untuk menjadi teroris.
Hal inilah yang sungguh sangat kita khawatirkan.
Bila saya sampaikan hal ini, bukan berarti saya
menoleransi, apalagi mendukung sikap radikal dalam beragama. Sebab sikap
radikal dalam beragama, apalagi tindakan teror para teroris yang
mengatasnakamakan agama, justru merugikan umat Islam sendiri daripada umat
agama lain. Sikap radikal justru merusak Islam yang merupakan agama yang penuh
toleransi, kedamaian, dan rahmamatan lil’alamin.
Tengoklah serangan bom bunuh diri di Terminal Kampung
Melayu, Jakarta Timur, beberapa hari lalu. Yang menjadi korban adalah warga
Muslim sendiri, baik polisi maupun warga sipil. Lalu bagaimana bisa dikatakan
bahwa tindakan kedua teroris bom bunuh diri itu demi membela Islam dan umat
Islam bila yang dibunuh adalah sesama Muslim? Sungguh sangat keji perbuatan
para teroris.
Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Mari kita jalin
kerukunan umat beragama. Termasuk menghormati umat Islam yang sedang
menjalankan ibadah puasa Ramadhan sekarang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar