Negara
(Pura-pura) Pancasila
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS, 06 Juni 2017
Pancasila adalah gagasan mulia dan terbukti digdaya
sehingga berhasil mengobarkan niat dan semangat semua komponen bangsa
Indonesia merebut kemerdekaan dari cengkeraman negara yang mengumbar nafsu
angkara murka. Rakyat tidak pernah meragukan validitas keperkasaannya. Namun,
dalam perjalanan membangsa dan menegara, selalu saja terselip tanda tanya,
mengapa usia Pancasila yang lebih dari tujuh dasawarsa masih banyak rakyat
merasa sengsara dan teraniaya?
Penyebabnya multikausa, tetapi penyebab utama semakin lama
semakin kasatmata: para penguasa meskipun mulutnya berbusa-busa mengamalkan
Pancasila, tetapi ternyata sebatas bersimulakra. Mengolah, mengonstruksi,
serta memanipulasi kata-kata sekadar untuk bersiasat mereguk, memelihara, dan
mengumbar nafsu kuasa. Perilaku tercela dilakukan dengan sadar, sengaja,
saksama, dan terencana, serta sistematika yang sempurna. Ringkasnya, negara
pura-pura ber-Pancasila.
Obral retorika
Kurun waktu yang disebut Orde Lama, tatanan negara disebut
Demokrasi Terpimpin, pada galibnya lebih dari dua dasawarsa, mengobral
retorika dan bermuara pada kebenaran adalah milik penguasa. Berbeda pendapat
dengan penguasa, hampir dapat dipastikan rute menuju penjara. Pancasila hanya
direduksi maknanya sebagai alat pemersatu bangsa atau jimat dan pusaka;
tetapi bukan cita-cita yang menuntun kebijakan negara mewujudkan warga bangsa
bahagia.
Tatanan negara Demokrasi Pancasila, sama dan serupa dengan
periode sebelumnya. Diawali dengan retorika tekad melaksanakan Pancasila dan
konstitusi secara murni, konsekuen dan saksama, praktiknya selama lebih
kurang tiga dasawarsa, kenyataannya berbanding terbalik dengan kata-katanya.
Alih-alih merawat semangat Bhinneka Tunggal Eka, bahkan
siapa yang berani berselisih pendapat dengan penguasa langsung mendapatkan
stigma menista negara dan dicari sampai ke ujung dunia untuk digiring ke
penjara. Pancasila berhenti menjadi mantra negara dan dimanipulasi penguasa
untuk membenarkan perilaku serakahnya, bukan cita-cita yang diterjemahkan
menjadi kebijakan negara yang memihak kepada kepentingan rakyat jelata.
Koreksi terhadap Demokrasi Pancasila dilakukan oleh
kekuatan rakyat jelata yang sudah tidak mampu lagi memikul kesewenang-wenangan
penguasa. Babak baru disebut era Reformasi karena gelora semangat membangun
tatanan negara yang benar-benar merupakan perwujudan dari kedaulatan para
kawula.
Cita-cita mulia yang memerlukan tekad dan energi raksasa
serta menuntut kemampuan mati raga agar penguasa negara tak hanyut oleh
hasrat dan goda nikmat kuasa. Agenda berat lainnya adalah membangun
lembaga-lembaga politik dan negara guna menampung dan mengelola ledakan
partisipasi warga yang menggelora karena puluhan dasawarsa dikekang dan dibungkam.
Selama hampir dua dasawarsa banyak dilakukan agenda
perubahan tatanan negara. Lembaga-lembaga negara disusun atas prinsip saling
mengontrol dan memeriksa sehingga tidak satu pun institusi paling berkuasa.
Kekuatan masyarakat menjadi modal utama mengontrol kuasa negara. Sedemikian
perkasanya semangat populisme berbasis massa, membuat eksistensi negara
antara ada dan tiada. Akibatnya, negara sering kali nyaris tidak berdaya
menghadapi tekanan massa.
Digerogoti
Prinsip setara di depan hukum dan regulasi negara bablas
menjadi kebebasan tiada tara. Kebebasan berbicara tidak hanya mereka yang
mendukung Pancasila, bahkan ujaran bernuansa suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) yang menggerogoti falsafah bangsa, dianggap sebagai
manifestasi prinsip setara. Potensi anarki menjadi semakin kasatmata dan
mulai merajalela bila negara tidak segera bertindak tegas dan cekatan
terhadap anasir-anasir yang akan menghancurkan tatanan negara dan
memorakporandakan sendi-sendi hidup bersama.
Gelombang ancaman bersemangat SARA terhadap Pancasila
semakin menggila melalui media sosial, terutama dalam pertarungan merebut
kuasa yang seharusnya merupakan kompetisi politik biasa memuliakan
kepentingan bersama. Kewarasan kolektif warga limbung digulung oleh banjir
kata-kata tanpa makna yang menyesatkan logika. Iming- iming surga menjadi
kekuatan tanding terhadap kerja nyata di dunia.
Oleh sebab itu, isu sentral bukan SARA melainkan sentimen
primordial bernuansa SARA yang disalahgunakan untuk menggalang solidaritas
massa demi hasrat kemaruk kuasa. Akibatnya, pemungutan suara yang seharusnya
menjadi sarana memperkukuh dinamika soliditas dan stabilitas pemerintahan
malah berpotensi membelah bangsa.
Tindakan tegas Presiden Joko Widodo mencegah berlarutnya
perseteruan bangsa antara lain dengan mengirim pesan akan ”menggebuk” siapa
pun yang berniat menumbangkan negara Pancasila. Penegasan tersebut melengkapi
gaya kepemimpinan Presiden dengan keteladanan hidup sederhana, kerja nyata,
dan bersedia berbela rasa dengan rakyat jelata.
Tekad tersebut wajib ditindaklanjuti dengan kebijakan
politik pendidikan untuk menggembleng karakter rasa keindonesiaan generasi
muda serta rasa saling berbela rasa dalam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an.
Cita-cita mewujudkan bangsa yang bahagia hanya menjadi nyata kalau semua anak
bangsa dapat merasakan derita sesamanya. Para penguasa harus bersedia
menderita dan mati raga membatasi nafsu angkara mereka.
Keniscayaan bagi negara berhenti pura-pura ber-Pancasila
dan berwacana berselimutkan simulakra karena mengundang bencana bagi bangsa
dan negara. Bangsa Indonesia dilarang putus asa membela Pancasila karena
nilai-nilainya telah memberikan bukti nyata bagi kedigdayaan melawan penjajah
dan mempersatukan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar