Menegakkan
Konstitusi, Konsolidasi Demokrasi
Jakob Tobing ; Ketua PAH I BP-MPR 1999-2004;
Ketua Komisi A ST MPR
2000, 2001, 2002, 2003: Amendemen UUD 1945
|
KOMPAS, 06 Juni 2017
Berbagai aksi belakangan ini yang nyata-nyata berusaha
mengganti Pancasila, mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia, hendak
mengganti kedaulatan rakyat, sungguh sudah kebablasan.
Indoktrinasi ajaran radikal dilakukan secara sistematis
dan telah berlangsung lama, sudah merasuk jauh ke tengah masyarakat. Demikian
pula latihan ala militer, bom Bali, teror Poso, pawai akbar mendukung Negara
Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Bundaran HI (2014), bom Marriott, bom
Sarinah, bom Kampung Melayu, dan lain-lain mengisi daftar panjang ancaman
yang makin serius atas bangsa dan negara yang berdasar Pancasila dan UUD
1945.
Ada yang menganggap berbagai aksi itu adalah konsekuensi
kebebasan berpendapat yang dijamin UUD 1945 setelah amendemen, sebagai akibat
yang tidak diharapkan dari demokrasi. Salah kaprah ini dan pembiaran selama
belasan tahun sejak reformasi telah memberi ruang tumbuh dan ruang gerak bagi
berbagai paham yang menentang Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan wawasan
kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya, ada yang berkomentar: lihatlah,
demokrasi memang tak bisa mengatasi gangguan seperti itu, tidak cocok, harus
dicari cara lain, dan selanjutnya.
Tugas besar menunggu
Istilah demokrasi memang sering diartikan sebagai
kebebasan berbuat apa saja. Namun, istilah demokrasi juga didaku berbagai
pihak dalam berbagai arti dan maksud, seperti demokrasi mayoritarian,
demokrasi liberal, demokrasi konstitusional, bahkan juga demokrasi rakyat
seperti yang dikenal di negara sosialis kiri. Oleh karena itu, perlu jelas
terlebih dahulu demokrasi yang dimaksud UUD 1945.
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa
"kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD".
Ayat itu dengan tegas menautkan dalam satu tarikan napas kedaulatan rakyat
(demokrasi) dengan konstitusi. Dengan demikian, demokrasi dan hukum adalah
dua muka dari satu koin yang sama, yang biasa disebut sebagai demokrasi
konstitusional atau nomokrasi.
Dalam kerangka ini, demokrasi diatur oleh dan ditundukkan
kepada hukum tertinggi dalam negara, yaitu konstitusi (Walter F Murphy,
2007). Tegas sekali bahwa UUD 1945 adalah hukum tertinggi, di mana semua
peraturan perundang-undangan dan semua kebijakan bernegara secara hierarkis
harus tegak lurus terhadap dan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan
dengan UUD tersebut (Hans Kelsen, 1967).
UUD 1945 memuat Pembukaan yang menyatakan: pemerintahan
adalah untuk melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, membentuk susunan negara yang berkedaulatan
rakyat, menegaskan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, serta
pasal-pasal. Pasal-pasal adalah pengorganisasian nilai-nilai dasar Pembukaan
itu ke dalam susunan bernegara, antara lain pasal-pasal menetapkan: Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, negara hukum, menghormati
HAM, peradilan yang merdeka, sirkulasi kekuasaan secara demokratis dan
berkala, serta berbagai struktur dan prosedur bernegara.
Keseluruhan ketentuan UUD 1945 menjadi bingkai yang
membentuk ruang yang luas di mana kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung.
Dengan demikian, hidup bernegara dan berbangsa kita tidak berlangsung dalam
ruang hampa tanpa nilai, tetapi mengacu pada UUD 1945. Semua pihak,
pemerintah dan rakyat, harus bahu-membahu menegakkan prinsip itu.
UU dan segala peraturannya membentuk acuan tata kerja yang
seharusnya, memelihara ketertiban, mencari penyelesaian permasalahan, dan
menjaga hak-hak asasi manusia agar UUD dapat ditegakkan sebaik-baiknya, bukan
untuk mempersulit atau menghalangi penegakan UUD.
DPR, oleh Pasal 20 (1) UUD 1945, diberi kewenangan dan tugas memegang
kekuasaan membentuk UU. Pasal 20 (2) menentukan bahwa untuk dapat jadi UU,
setiap RUU memerlukan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Karena
itu, baik DPR maupun Presiden secara sendiri-sendiri dan bersama- sama
bertanggung jawab agar tiap UU harus sesuai dengan, bertunduk kepada, dan
untuk melaksanakan perintah UUD 1945.
Kini disadari bahwa berbagai UU dan kebijakan yang ada
berpotensi melemahkan kemampuan negara untuk menegakkan UUD 1945. Selain itu,
berbagai UU dan kebijakan yang diperlukan untuk menegakkan UUD belum ada,
belum dibuat.
Itulah tugas besar bangsa ini sekarang: meluruskan
berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tak sesuai dan
membentuk peraturan perundangan yang diperlukan untuk menjalankan perintah
UUD 1945. Misalnya, UU No 17/2013 tentang Organisasi kemasyarakatan (Ormas)
tidak mewajibkan ormas agar menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945,
sementara sanksi pembubarannya tidak mudah dilaksanakan.
Kita juga belum memiliki peraturan perundang-undangan yang
mumpuni, yang dapat secara dini mencegah dan jika diperlukan mengerahkan
segenap kemampuan negara, termasuk TNI, untuk menangkal dan melumpuhkan
terorisme. UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU
No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme tidak cukup kuat
untuk mencegah rencana dan untuk menindak terorisme.
Berbagai "keanehan"
Masalah lain, Pasal 10 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden
memegang kekuasaan tertinggi atas TNI. Akan tetapi, UU No 34/2004 tentang
TNI, pada Pasal 13 Ayat (2) mengatur bahwa Panglima TNI diangkat dan
diberhentikan Presiden setelah mendapat persetujuan DPR.
Ketentuan ini didasarkan pada Pasal 3 Ayat (3) Tap MPR
VII/2000 yang kedudukannya di bawah UUD. Artinya, Presiden yang oleh UUD
dinyatakan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi TNI hanya dapat mengangkat
dan memberhentikan bawahannya dengan persetujuan pihak lain. Ketentuan UU itu
tak sesuai UUD 1945 dan melemahkan kedudukan Presiden dalam melaksanakan
kewenangan dan kewajibannya. Pada Desember 2015, Mahkamah Konstitusi menolak
uji konstitusional atas UU No 34/2004 tersebut.
Kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim juga
diperlemah. Misalnya, MK tahun 2006 membatalkan kewenangan KY untuk mengawasi
hakim konstitusi yang sekaligus melemahkan kemampuan MK sendiri untuk
menegakkan ketertundukan UU terhadap UUD 1945. Maksud semula (original
intent) para pelaku amendemen UUD 1945 adalah: KY, dengan tetap menghormati
kemerdekaan kekuasaan kehakiman, berwenang mengawasi semua hakim, kecuali
"hakim garis". Secara bergurau, para anggota PAH I amendemen UUD
1945 hanya mengecualikan "hakim garis", maksudnya hakim garis
pertandingan sepak bola. Hakim MK, semua hakim, adalah manusia biasa yang
bisa khilaf, sengaja atau tidak. Buktinya, ada hakim konstitusi dan hakim
lain yang terjerat tindak pidana korupsi.
Pada sisi lain, paham politik dan sebagainya juga dapat memengaruhi
seseorang.
Putusan MK tahun 2015 membatalkan peran dan keterlibatan
KY dalam proses perekrutan hakim tingkat pertama juga telah melemahkan
perintah Pasal 24 UUD 1945 untuk membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka
guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam demokrasi, hukum yang adil dan
tegak amatlah penting. Oleh karena itu, perekrutan hakim yang baik merupakan
awal yang amat menentukan.
Demikian pula, April 2017, MK membatalkan UU No 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah mengenai kewenangan Presiden/ Mendagri
membatalkan perda yang tak sesuai UU, lalu mengalihkan kewenangan itu ke MA.
Keputusan itu memperlemah hierarki perundang-undangan sekaligus memperlemah
sistem negara kesatuan. Indonesia adalah negara kesatuan, itulah sistem
induknya. Otonomi, desentralisasi dan tugas pembantuan adalah subsistemnya.
Subsistem itu harus taat asas pada induknya, sistem negara kesatuan.
Mengingat kedudukan itu, seharusnya, sesuai dengan Pasal 24A (1) UUD 1945,
Presiden berhak menertibkan semua peraturan yang ada di bawah kekuasaannya.
Mestinya yang dapat diajukan banding sampai ke MA adalah keputusan Presiden
untuk membatalkan perda, bukan sebaliknya.
Demikianlah berbagai contoh langkah menegakkan konstitusi
yang juga berarti konsolidasi demokrasi yang perlu dilakukan. Negara hukum
yang terbelenggu dan tidak mampu menegakkan hukum bukanlah negara hukum.
Negara demokrasi yang tidak menegakkan hukum juga bukan negara demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar