Multiperan
Agama
Komaruddin Hidayat ; Dosen pada Fakultas Psikologi UIN Jakarta
|
KOMPAS, 03 Juni 2017
Di kalangan sarjana ahli, sulit dirumuskan definisi agama
yang bisa diterima dan disepakati bersama. Jadi, sejak merumuskan definisi
saja, para sarjana ahli sudah berselisih sehingga mudah dipahami kalau sikap
masyarakat terhadap dalil-dalil agama berbeda dari penyikapan mereka terhadap
formula sains yang lebih mudah diterima sekalipun beda bangsa dan agama.
Di samping persoalan definisi, juga ada beberapa kategori
agama, misalnya, revealed religion dan natural religion. Agama wahyu bikinan
Tuhan dan agama evolusi alam rekayasa manusia. Agama langit dan agama bumi.
Ada agama rumpun Abrahamik, Yahudi, Nasrani, Islam, dan agama non-Abrahamik.
Dalam literatur filsafat, ideologi semacam Marxisme pun ada juga yang
memasukkan kategori religion.
Dibandingkan ideologi sekuler dan ilmu pengetahuan, agama
Abrahamik memiliki distingsi tersendiri, yaitu doktrin keselamatan abadi di
akhirat nanti, berupa kehidupan surgawi yang telah dijanjikan Tuhan. Bagi
orang beriman, seindah dan senikmat apa pun kehidupan dunia tak akan
sebanding dengan kenikmatan janji surga yang dijanjikan Tuhan. Oleh karena
itu, terdapat pemeluk agama yang lebih mengharapkan kehidupan akhirat dan
mengecilkan kehidupan duniawi.
Bahasa agama
Oleh pemeluknya, agama diyakini sebagai jalan keselamatan
yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan, yang di dalamnya terdapat kredo,
kitab suci, pedoman ritual, konsep tempat suci, dan etika sosial
kemasyarakatan. Keyakinan tentang hari akhir, pengadilan ilahi, dan balasan
surga-neraka merupakan kredo yang paling fundamental dalam rumpun agama
Ibrahim. Oleh karena itu, konsep dan keyakinan akan "jalan
keselamatan" (salvation)
menjadi inti keyakinan orang yang beriman. Apakah jalan keselamatan, dan
bagaimana untuk meraihnya, masing-masing agama memiliki ajaran dan tafsiran
berbeda-beda yang tak mungkin dipersatukan, sifatnya doktrinal, sangat
pribadi, dan tidak bisa dipaksakan.
Pada awalnya, semua agama merupakan peristiwa dan pengalaman
rohani yang bersifat sangat pribadi, kemudian berkembang ke lingkungan
sosialnya. Dalam konteks Islam, misalnya, bermula dari cerita dan pengakuan
pemuda Muhammad yang ditemui makhluk gaib ketika menyepi bermeditasi di Goa
Hira, pinggiran kota Mekkah pada abad ke-6. Di Goa Hira ini, Muhammad
menerima wahyu, yang itu diyakini dari Tuhan melalui malaikat Jibril, isinya
mengajak manusia menjalani hidup yang benar dan terhormat serta hanya
menyembah pada-Nya. Pada awal mulanya Muhammad pun tak tahu, siapa makhluk
gaib itu. Secara historis-ilmiah sejarawan sepakat mengenai peristiwa
Muhammad sering ke Goa Hira. Itu fakta historis. Namun, pengakuan Muhammad
ditemui malaikat Jibril menerima wahyu Al Quran, hal itu di luar jangkauan
ilmu untuk melakukan validasi dan verifikasi. Sejarawan tak bisa menemukan
eviden sosok Jibril yang berbicara kepada Muhammad.
Bahwa Muhammad menerima wahyu dari Jibril itu tafsir dan
respons iman, didukung argumen penalaran terhadap kebenaran kandungan isi
wahyu. Contoh lain, peristiwa Muhammad hijrah ke Madinah, itu peristiwa
historis, faktual. Sejarawan Muslim atau non-Muslim sepakat tentang
terjadinya peristiwa hijrah. Namun, peristiwa Isra Mi'raj itu peristiwa
meta-historis, sifatnya sangat pribadi, menuntut respons iman. Dalam Kristen
pun banyak peristiwa serupa. Secara historis, karier hidup Yesus berakhir
kalah di tiang salib. Namun, bagi iman Kristen, itu justru peristiwa
kemenangan Yesus untuk mengalahkan dosa-dosa manusia sehingga Yesus disebut
Juru Selamat dan Sang Penebus Dosa. Demikian juga peristiwa Paskah, itu mirip
mi'raj dalam Islam, yakni peristiwa rohani yang berada dalam wilayah iman,
bukan faktual-historis. Umat Kristen yakin, Yesus dibangkitkan pada hari
Minggu, setelah penyaliban pada hari Jumat, lalu naik ke atas (mi'raj) menuju
Tuhan.
Dari contoh di atas, dalam tradisi dan paham keagamaan
memang sering kali bercampur antara narasi historis dan meta-historis, antara
yang faktual dan simbolik-metaforis, sehingga ketika semuanya hanya dipahami
secara verbal-literal, pasti akan kehilangan pesan dan makna terdalam. Atau,
akan terjadi perbedaan dan konflik tafsir atas teks kitab suci. Padahal,
salah satu aspek dan karakter kitab suci yang membuatnya abadi dan selalu
hidup serta tidak habis-habis digali dan ditafsirkan adalah karena kekuatan
bahasanya yang sebagian simbolik dan metaforik. Dengan demikian, perbedaan
tafsir itu memang dimungkinkan dan salah satu sumbernya adalah teks kitab
suci sendiri.
Dari aku ke kami
Meski bermula dari pengalaman dan keyakinan pribadi,
ketika ajaran agama disebarluaskan kepada lingkungan sosial sekitarnya,
muncullah komunitas yang percaya (community
of believers) dan mereka yang menyangkal (community of non-believers) yang dalam bahasa Arab disebut kafir
atau infidel dalam istilah Eropa. Konsekuensinya, siapa pun orang yang
beriman akan disebut kafir oleh komunitas lain yang beda keyakinan agamanya.
Menjadi persoalan ketika penilaian dan penyikapan iman terhadap umat yang
berbeda, yang semula bersifat pribadi dan komunal, lalu bergerak keluar ke
wilayah publik, bahkan berebut hegemoni ruang publik dan jaringan kekuasaan
dengan mengatasnamakan agama. Ini akan dijumpai di berbagai belahan dunia.
Terbentuknya umat beriman ada yang bersifat cair dan
kolosal seperti halnya, dalam konteks Islam, ketika umat Islam menunaikan
ibadah haji atau melakukan istigasah. Namun, ada juga himpunan umat yang
terstruktur dalam ikatan institusi, organisasi, atau bahkan parpol. Namun,
yang mudah dijumpai, setiap agama akan melahirkan komune yang memiliki tempat
ibadah sehingga di mana pun akan dijumpai bangunan ibadah semacam masjid atau
gereja. Tempat ritual itu diyakini sebagai tempat suci di muka bumi yang
menghubungkan jemaahnya dengan singgasana Tuhan di langit, tempat
menyampaikan rasa syukur, ataupun mohon ampun dan petunjuk jalan keselamatan
di dunia sampai akhirat.
Pengelompokan umat seiman ini di Indonesia masih kuat,
salah satu faktornya karena diabadikan dalam kartu tanda penduduk. Di sini
agama menjadi identitas sosial dan data kependudukan. Di tambah lagi
banyaknya ormas keagamaan yang bermunculan. Identitas keagamaan ini diperkuat
lagi oleh pemerintah dengan memberikan fasilitas pembinaan keagamaan yang
masuk dalam anggaran belanja negara yang disalurkan melalui Kementerian
Agama. Peran agama secara vertikal menghubungkan dengan Tuhan, sedangkan
secara horizontal berkembang cukup kompleks, bercabang dan beranting. Ada
kalanya agama menjadi motor dan pilar peradaban serta perdamaian, ada kalanya
agama dinilai sebagai sumber perpecahan, bahkan motor peperangan.
Pada tahun-tahun awal pertumbuhannya, para Rasul Tuhan
dengan ajaran agamanya selalu berpihak dan membela orang tertindas. Maka,
para musuh Rasul Tuhan datang dari penguasa yang tiran. Agama hadir sebagai
kekuatan pembebas (liberating force). Namun, ketika agama sudah berada di
tangan pemenang yang memiliki kekuasaan, tak jarang terjadi pergeseran
pendulum peran sosial agama, yaitu sebagai instrumen untuk mengawetkan
kekuasaan, bahkan terlibat dalam penindasan. Makanya, sejarah memiliki
catatan panjang seputar keterlibatan agama dalam perebutan kekuasaan serta
konflik sosial. Pengalaman pahit inilah yang mendorong negara-negara Eropa
memilih jalan sekuler dalam mengendalikan kekuasaan. Agama cukup menjadi
urusan pribadi, sedangkan politik, ekonomi, dan peradaban dipercayakan pada
penalaran dan kekuatan ilmu pengetahuan.
Institusi keagamaan di zaman modern ini mesti bersaing
dengan institusi sekuler dalam melayani kebutuhan manusia dan mengatur
kehidupan sosial. Seperti dunia kampus, rumah sakit, perbankan, industri,
birokrasi pemerintahan dan negara yang kesemuanya merasa bisa berkembang
memenuhi hajat penduduk bumi tanpa melibatkan agama. Yang tak tersaingi oleh
ideologi dan institusi sekuler adalah agama menawarkan jalan keselamatan di akhirat.
Sebuah tantangan bagi para pemikir dan aktivis keagamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar