Jampi-jampi
"Saya Pancasila"
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 03 Juni 2017
Istilah "republik hamil tua" menunjukkan
ketegangan dalam hubungan PKI-TNI AD-Bung Karno. PKI merasa semakin berkuasa,
membuat khawatir TNI AD dan kekuatan-kekuatan antikomunis lainnya. Bung Karno
yang utopis ingin "berdiri di atas semua golongan" melalui Nasakom.
Ia kerap menyebut dua putra mahkota: Menteri Panglima Angkatan Darat A Yani
dan Ketua Umum PKI DN Aidit.
Mengapa Bung Karno di saat-saat akhir lebih condong pada
PKI? Fakta menunjukkan ia penemu marhaenisme sebagai marxisme Indonesia.
Tradisi marxisme berurat akar dalam pergerakan nasional sejak era
radikalisasi Sarekat Islam (SI) tahun 1917. PKI sudah memberontak terhadap
Belanda di Silungkang tahun 1927.
Tokoh-tokoh komunis/sosialis ikut berjuang melawan Belanda
sejak era SI sampai Proklamasi 1945. Ada Semaun Prawiroatmodjo, Muso, Tan
Malaka, Amir Syarifuddin, sampai Sutan Sjahrir. Seperti tangan, ada yang
"kiri" dan ada yang "kanan". Kalangan kanan menganggap
PKI berkhianat sejak pemberontakan Madiun tahun 1948.
Pertentangan ideologi domestik itu proxy war antara
Amerika Serikat dan Uni Soviet sejak Revolusi Rusia 1917. RI terjebak Perang
Dingin sampai Bung Karno menggagas Konferensi Asia Afrika (KAA). Bung Karno
dalam periode 1955-1965 lelah mengurusi bangsa ini. Ia mencoba berbagai resep
konsensus nasional, termasuk konsepsi, Dekret Presiden 5 Juli 1959,
Manipol-Usdek, Nasakom, dan sebagainya.
Ia diganggu subversi AS, ditarik ke pusar persaingan
Soviet-China, dan memperjuangkan Conefo. Ia diganduli pemberontakan
PRRI/Permesta, operasi pembebasan Irian Barat, dan konfrontasi. Sebagai
negara besar dan strategis, RI menjadi ajang pertempuran antarintelijen. Yang
ikut bermain tidak cuma CIA, tetapi juga dinas intelijen Barat, komunis,
Jepang, bahkan Malaysia dan Singapura.
Sejak 1960 fitnah yang diembuskan dinas-dinas intelijen
jadi santapan harian. Soal kudeta-lah, Dewan Jenderal-lah, dan yang teramat
menarik, fitnah Bung Karno sakit keras. Wajar setiap tokoh, parpol, dan
kekuatan politik ambil ancang-ancang seandainya Bung Karno tutup usia. Wajar
juga konflik PKI-TNI AD semakin memanas.
Sampai kini, Gerakan 30 September (G30S) sebuah enigma
yang misterius. Namun, konstelasi politik berubah total akibat dari G30S yang
berlangsung hanya dalam hitungan jam. G30S peristiwa yang terpisah dengan
pembunuhan massal warga tak bersalah, apalagi dengan penangkapan tanpa
prosedur hukum. Hak-hak, harta benda, dan martabat para korban dilenyapkan,
dicuri, dan diinjak-injak.
Amuk terhadap saudara sebangsa itu ditanggapi kemarahan
pemerintah, pers, serta masyarakat AS dan negara-negara Barat. Mereka semakin
geleng-geleng kepala melihat perlakuan terhadap tapol di Pulau Buru. Itu
sebabnya, Presiden AS Jimmy Carter ogah ke sini. Ratu Elizabeth turun tangan
agar eksekusi mati terhadap mantan Menlu Soebandrio dibatalkan.
G30S melahirkan Orde Baru yang mengintroduksi budaya
keras. Sikap enggan bertanggung jawab pemerintah tecermin dari kebiasaan
mengoknumkan atau mengambinghitamkan siapa saja. Selain oknum dan kambing
hitam, masih ada "ekstrem kanan", "ekstrem kiri",
"setan gundul", bahkan "OTB" (organisasi tanpa bentuk).
Jika sudah kepepet, masih ada "sisa-sisa PKI" atau "PKI gaya
baru".
Budaya keras lainnya bersiasat meletuskan kerusuhan dalam
persaingan kekuasaan. Ada peristiwa Bandung '73, Malari '74, Lapangan Banteng
'82, Tanjung Priok '84, "Petrus", 27 Juli '96, Kerusuhan Mei '98,
atau Tragedi Semanggi I '98/Semanggi II '99. Dan, seperti biasa, tak ada
tersangka karena semua merasa above the law. Anda dengan mudah menemukan
mereka yang above the law cukup dengan mengikuti pemberitaan sehari-hari.
Kesimpulannya, Orde Baru tak lebih baik daripada Orde
Lama. Mereka penelikung sejati yang bertahan hidup di atas bahasa politik eufimistis.
Kenaikan harga dipelesetkan jadi "penyesuaian harga", warga miskin
menjadi "prasejahtera", atau penyebab banjir sebagai bencana buatan
manusia adalah "fenomena alam".
Ada sebuah perumpamaan bahasa Inggris, We've learnt that
people don't actually change very much. Oleh sebab itu, Orde Reformasi tak
ubahnya "Orde Baru Baru". Nyaris tak ada kultur yang berubah, hanya
struktur yang berganti. Jika Orde Baru menerapkan demokrasi setengah hati,
Orde Reformasi mempraktikkan demokrasi setengah jadi.
Seperti biasa, Pancasila kembali jadi korban. Telah lama
Pancasila jadi status simbol seperti benda keramat, mobil SUV, ikan arwana,
atau smartphone paling anyar. Pelecehan terbesar terhadap Pancasila terjadi
ketika Pak Harto bilang menyerang dirinya sama dengan menyerang Pancasila.
Semoga slogan "Saya
Pancasila" yang Anda ucapkan dengan lantang bukan jampi-jampi
belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar