Momentum
Optimisme Telah Tiba
Nurkhamid Alfi ; Chief Representative Zelan Holdings
|
KORAN
SINDO, 05
Juni 2017
Sekarang ini saya baru ngeh apa yang dimaksud Joko Widodo
(Jokowi) dulu. Ketika di masa kampanye presiden tahun 2014, Jokowi memberikan
pernyataan mencengangkan berkenaan dengan ketersediaan dana pembangunan yang
melimpah.
Mencengangkan karena ketika itu pada akhir pemerintahan SBY,
pemerintah sedang kekurangan dana sehingga menerbitkan Surat Utang Negara
(SUN) untuk menambal defisit anggaran. Bagaimana mungkin Jokowi mengatakan
dana untuk membangun melimpah ketika sumbernya dari pos yang sama, bahkan
cenderung menurun? Andalan utama pemasukan negara hanya pada pajak. Namun, terjadi
shortfall sejak beberapa tahun belakangan. Pada 2014 pajak hanya menyetor ke
kas negara sebesar Rp981,9 triliun dari target Rp1.072 triliun sehingga
shortfall pajak sebesar Rp90 triliun. Shortfall pada tahun berikutnya, 2015,
lebih besar lagi. Dari target Rp1.294,25 triliun yang tercapai hanya Rp1.055
triliun. Artinya, pemasukan kas negara kurang Rp239,25 triliun.
Ekspor Indonesia juga makin menur un dari tahun ke tahun.
Pada masa kampanye 2014 ekspor Indonesia tur un 0,93%. Apakah Jokowi akan
memper - banyak utang untuk membiayai pembangunan? Ternyata bukan d ari
utang. Dana pembang unan yang di - mak sudkan tak terbatas oleh Jokowi pada
masa kampanye itu adalah dana investasi. Itulah sebabnya prasyarat Indonesia
untuk mencapai negara layak investasi atau investment grade dipersiapkan
sejak awal peme - rin tahannya seba gai mana mes - ti nya.
Paket-paket ekonomi diterbitkan untuk menata iklim
investasi. Alokasi dana infra - struktur disiapkan dengan cara memotong
subsidi energi. Ter - catat nilai subsidi susut secara signifikan dari
Rp341,8 triliun (2014) menyusut sampai di angka Rp137,8 triliun (2015).
Alhasil, pada pertengahan Mei 2017 predikat negara layak investasi telah
berhasil diper - oleh dari jalan yang terjal dan berliku. Lembaga pemeringkat
internasional, Standard & Poor’s (S&P), telah menaikkan sovereign
credit rating Indonesia dari BB+ (speculat ive level) men - jadi BBB-/A3
dengan outlook stabil. Artinya, Indonesia telah masuk pada investment grade .
Prest asi ini pernah dicapai pada masa Soeharto sehingga
Indo - nesia dijuluki sebagai Macan Asia. Namun, krisis moneter dan perbankan
pada 1997/1998 me - nyebabkan status investment grade lenyap, bahkan S&P
me - masukkan Indonesia dalam pe - ringkat terendah, yakni selective default
(SD).
Stabilitas Politik dan Keamanan
Sebelumnya tiga lembaga pemeringkat global, yakni: Moody’s
Investor Ser vices, Fitch Rating , dan Japan Credit R ating Agency (JCRA)
telah lebih dahulu menyematkan pe - ringkat layak investasi. Namun, optimisme
lebih berkualitas ketika pemeringkat paling bergengsi, S&P, juga
menaikkan outlook yang positif. Secara sederhana, negara yang berperingkat
layak inves - tasi dipersepsikan memiliki risiko rendah sehingga keper -
cayaan investor meningkat.
Dampaknya akan mendorong aliran investasi, baik ke sektor
keuangan maupun sektor r iil. Akumulasi aliran investasi akan mendorong
turunnya bi aya dana (Desmon Silitonga, Bisnis Indonesia edisi 25 Mei 2016).
Penurunan biaya dana (cost of money) akan mengakibatkan dana murah terj
angkau karena interest dur ing construction (IDC) tidak begitu membebani
capital expenditure (Capex) se - hing ga payback period pada se - buah proyek
investasi lebih singkat . B eberapa studi juga menunjukkan bahwa peringkat
layak investasi berdampak positif menurunkan yield spread obligasi pemerintah
dan korpo - rasi.
Ini semua bisa digunakan untuk membiayai pereko no mi -
an, khususnya infrastruktur melalui skema public private partnership.
Momentum optimisme yang dinanti itu sebagai sarana dan prasyarat datangnya
capital inf low, telah tiba bersamaan dengan predikat Indonesia sebagai
negara layak investasi. Namun, predikat investment grade bagi Indonesia itu
hanya pra syarat. Tidak secara oto - matis investasi masuk dengan deras
karena ada prasyarat lain yang juga harus dipenuhi, yakni stabilitas politik
dan keamanan sehing ga memungkinkan ter - ciptanya ik lim usaha yang aman.
Momentum hanya tinggal kenangan jika tidak diimbang i
dengan kestabilan politik dan keamanan. Investor tetaplah investor yang
menuntut ke - amanan dana yang diinves tasi - kan. Dengan begitu, per kem -
bang an politik dan keamanan di Indonesia akhir-akhir ini justru paradoksal
dengan investment grade yang baru disandang Indonesia. Ini adalah tantangan
pertama yang harus diselesai - kan oleh pemerintah secepat - nya. Kesan bahwa
negara dalam balutan turbulensi politik dan ketiadaan akan kepastian pe ne -
gakan hukum sehingga menye - babkan hukum tebang pilih telah dipersepsikan
sedemi - kian rupa .
Persepsi demikian itu sangat bahaya bag i stabilitas
politik karena publik sud ah tidak percaya pada aparat yang ditunjuk negara
untuk me laku - kan tind akan pengamanan. Dalam alam demokrasi se - perti
Indonesia, hukum adalah panglima. Penegak hukum harus diposisikan sedemiki an
rupa sebagai kekuatan utama untuk mendisiplinkan masya - ra kat. Tid ak boleh
ada pihak mana pun yang mengintervensi penegak hukum d alam men - jalankan
tugasnya. Semuanya harus patuh sesuai aturan.
Produktivitas Bangsa
Tantangan kedua setelah turbulensi politik ad alah pro -
duk tivitas bangsa. Negaranegara yang masuk investment grade biasanya mampu
men - didik bangsanya melakukan se - car a terus mener us pem baha - ruan
pada pola pikir sehing ga didapatkan nilai efisiensi yang tingg i. Untuk
mencapai pola pikir e fisien dan produktif tidak cukup hanya dengan meng -
and alkan kebijakan fiskal dan moneter seperti yang selama ini dilakukan
pemerintah.
Pening - katan produktivitas mem - butuh kan keberani an
untuk mengubah tatanan struktural sehingga didapat hasil: yang awal nya
ekonomi berbiaya ting - gi menjadi ekonomi berbiaya rendah; yang awalnya
bernilai tambah rendah menjadi kegiat - an yang bernilai tambah tinggi.
Pendek kata , segala hal yang berkenaan dengan hambatan dan gang guan str
uktural dalam keg iatan ekonomi harus di - hilangkan untuk menuju pada
efisiensi dan produktivitas. Sekarang ini tingkat pro - duktivitas ekonomi
Indonesia, yang diukur dengan produk do - mestik bruto per tenaga ker ja,
masih tertinggal d ari negara ber - kembang lain.
Lembaga Pene liti - an T he Conference B oard pada 2015,
seperti yang dikutip Shinta Widjaja K, CEO Sintesa Group, pada Perspektif
Bisnis Indonesia, mengemuka kan bahwa satu pe - ker ja di Malaysia bisa meng
hasil - kan lebih dari USD50.000 dalam se tahun, sedangkan satu pekerja
Indonesia hanya mampu mem - produksi setengahnya, yaitu USD25.000. Tenaga ker
ja yang berkualitas dan mempunyai inovasi mer upakan prasyarat dari sebuah
negara yang masuk pada investnent g rade . Ini masih merupakan pekerjaan
rumah bagi Indonesia.
Sebab, latar pendidikan pekerja masih 40% berpendidikan
setara SD dan hanya 10% peker ja memiliki pendidikan ting gi. Data dari
Organization for Economic Corporation and Development (OECD) menunjukkan
bahwa Indonesia hanya memiliki sekitar 8% dari populasi yang mengenyam
pendidikan ting gi. Terlebih, persoalan ke se suai - an antara keterampilan
yang dipasok oleh dunia pen didikan dengan kebutuhan nyata yang diminta oleh
dunia industri.
Ketidaksesuaian kete ram pilan (skill mismatch) dirasa
masih cu - kup lebar sehingga dunia usaha tidak bisa optimal meman faat - kan
jumlah lulusan pendidikan tingg i. Praktik pe nye lenggaraan pendidikan ting
gi di Indonesia harus di akui masih jauh dar i yang diharap kan. Angka-angka
statistik dari penyerapan lulus - an pendidikan tinggi ke dunia usaha yang
tersa ji setiap tahun menjadi salah satu parameter untuk kem bali memper
tanya - kan apa kah benar pendidikan tinggi menghasilkan anggota masya rakat
yang berdaya saing ung gul atau belum.
Tantangan lain adalah masalah klasik yang sulit dibenahi,
yakni peraturan pusat dan daerah yang saling bertentangan (conflicting laws). Sering terjadi daerah
memaksakan diri melalui perda yang tidak produktif karena adanya kepentingan politis
secara terselubung. Hal ini masih sering dikeluhkan oleh para investor. Pada
akhirnya waktu yang akan membuktikan apakah Indonesia mampu memanfaatkan
momen optimisme ini sebagai modal untuk bangkit sebagai Macan Asia baru atau
hanya mampu menciptakan momentum tetapi gagal memanfaatkannya. Wallahualam. ●
( Mohon maaf, karena
proses edit belum diselesaikan )
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar