Gaji
ke-13, THR, dan Perspektif Belanja Pemerintah
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 05
Juni 2017
Tradisi gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) tahun ini
hampir dapat dipastikan kembali terjadi. Pemerintah tengah mempersiapkan
segala tetek-bengek mengenai aturan dan proses pencairannya melalui rancangan
per-THR dan gaji ke-13 diharapkan juga menjadi berkah bagi sektor-sektor
produksi karena masyarakat rata-rata semakin konsumtif dan royal berbelanja.
Asumsi ini belum termasuk kucuran THR yang juga berputar sebagai tradisi di
sektor swasta sehingga seperti biasa, effort
untuk memacu pertumbuhan ekonomi akan relatif mudah digapai pada masamasa
seperti sekarang ini.
Yang perlu diantisipasi berikutnya, dampak pemasukan
tambahan bagi PNS (dan THR dari sektor swasta) juga sangat mungkin akan
memicu adanya inflasi. Gejalanya sudah cukup tampak pada Mei ketika BPS
mencatat adanya inflasi sebesar 0,39% (month
to month). Strata kenaikan harga pun tersebar cukup merata di semua lini
komoditas. Kelompok bahan makanan mengalami kondisi inflasi yang tertinggi
dengan peningkatan harga sebesar 0,86%. Agar tidak terjadi sentimen pelemahan
daya beli masyarakat akibat adanya inflasi, pemerintah beserta Tim Pemantauan
dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) perlu bersinergi untuk menjaga pasokan
kebutuhan masyarakat tetap berjalan kondusif.
Terlepas dari tedeng aling-aling yang dipasang pemerintah
seputar THR dan gaji ke-13, kebijakan ini memang dinilai akan “membantu”
memperkuat perekonomian meski durasinya hanya dalam jangka pendek. Diskusi
baru akan sedikit mengarah ke paradoks yang seru jika belanja untuk THR dan
gaji ke- 13 ini diagregatkan dengan pengeluaran-pengeluaran lain yang juga dikategorikan
sebagai belanja pegawai. Karena selama ini banyak keluhan yang muncul dari
masyarakat mengenai besaran komposisi belanja pegawai terhadap total belanja
pemerintah.
Besaran belanja pegawai akan selalu dihubunghubungkan
dengan capaian standar pelayanan minimum (SPM) yang diberikan para PNS di
setiap instansi pemerintah. Sementara ini jika mengacu pada perhitungan World
Economic Forum (WEF, 2016), tampaknya kinerja layanan pembangunan pemerintah
belum cukup menggembirakan. Parameternya diukur berdasarkan penilaian
terhadap persepsi korupsi dan inefisiensi birokrasi yang justru menjadi dua
faktor penghambat daya saing yang paling besar. Faktor ketidakstabilan
kebijakan pemerintah ikut memperkuat pelemahan daya saing dengan berada pada
di urutan keenam.
Persoalan layanan pemerintah semakin komplet dengan
kehadiran faktor tingkat pajak dan kebijakan pajak yang masingmasing berada
di urutan kedelapan dan ke-10. Oleh karena itu pemerintah sangat dituntut
agar lebih berhati- hati lagi dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan
belanja pegawai. Pasalnya meskipun telah terjadi moratorium dan perampingan
besarbesaran atas jumlah PNS, beban belanja pegawai terhadap APBN tetap besar
berkat kebijakan remunerasi yang dimulai pada 2009 silam. Dalam kurun waktu
2009-2013, laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai
mencapai kulminasi tertinggi hingga total kenaikannya sebesar 73,65%.
Di masa-masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) tersebut, kemakmuran kalangan PNS dari segi penghasilan
memang sangat digenjot dengan harapan akan menstimulasi kinerja pelayanan
mereka. Namun komposisinya terhadap total APBN baru berkisar 20,3% di 2009,
lantas di 2013 juga semakin mengecil menjadi 19,76%. Sementara itu setelah
hampir tiga tahun tongkat estafet kepemimpinan beralih ke Presiden Joko
Widodo (Jokowi), rasio belanja pegawai justru semakin mengkhawatirkan karena
telah menyentuh 26,1% dari total belanja pemerintah pusat dalam APBN 2017
yang tersedia sebesar Rp1.315,5 triliun.
Banyak pihak yang meminta pemerintah lebih jeli dan
efisien dalam penganggaran karena besaran belanja pegawai secara otomatis
akan mengikis alokasi untuk belanja-belanja lain yang sangat mungkin lebih
urgen. Terbukti belanja barang dan belanja modal hanya mendapatkan
masing-masing 22,55% dan 14,77% dari total belanja pemerintah pusat. Di
tingkat pemerintah daerah, proporsi belanja pegawai bahkan lebih edan lagi.
Menkeu Sri Mulyani mengungkapkan sebanyak 131 kabupaten/kota memiliki rasio
belanja pegawai (beserta tunjangannya) hingga di atas 50% dari total belanja
daerah.
Komposisi ini bukanlah yang ideal karena peran belanja
pemerintah masih sangat signifikan dibutuhkan untuk mendongkrak pembangunan
perekonomian. Selain terkait dengan komposisi belanja, masalah yang dihadapi
pemerintah juga berkutat pada persoalan kualitas belanja. Tahun lalu ingatan
kita masih cukup segar merekam betapa rumitnya tatanan birokrasi dan regulasi
untuk menyerap anggaran belanja. Banyak pihak internal maupun eksternal
pemerintah yang cenderung takut menyerap anggaran negara karena persoalan
tumpang tindih birokrasi dan ketakutan akan tuduhan korupsi.
Padahal banyak target pembangunan yang perlu segera
direalisasi, terutama terkait dengan pembangunan desa serta paket-paket
investasi infrastruktur. Era Presiden Jokowi terhitung cukup ambisius untuk
mengejar target pembangunan infrastruktur. Tidak mainmain, anggaran untuk
pembangunan infrastruktur di APBN 2017 meningkat 22,3% bila dibandingkan
dengan APBN-P 2016. Secara normatif porsi yang besar ini akan mendukung daya
saing kita karena persoalan infrastruktur menjadi penghambat daya saing
terbesar yang ketiga.
Selain itu infrastruktur juga dapat mendukung peningkatan
produktivitas dan mobilitas, terutama di daerah-daerah minor. Namun yang
perlu dipertimbangkan lagi ialah faktor lokasi pembangunan, kendala dalam
realisasi, dan risiko terhadap likuiditas keuangan negara. Kesan mengenai
pola pembangunan yang Jawa-sentris harus mulai perlahan- lahan dikaburkan
agar tidak menambah tingkat ketimpangan antar regional. Perhatian berikutnya
juga pentingnya mengamati hambatan untuk proses pembangunan infrastruktur.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas
(KPPIP) akhir tahun lalu mencatat, dari 225 proyek infrastruktur prioritas,
baru separuhnya yang sudah menemukan investornya sehingga dapat berjalan.
Kendala-kendala yang dihadapi meliputi pemenuhan pembiayaan, transparansi
dalam perencanaan pembangunan, serta pentingnya kepastian hukum untuk
penegakan kontrak yang terkait dengan proyek-proyek tersebut. Ditambahkan
lagi dengan kendala pembebasan lahan yang ikut mempersulit proses
perencanaan. Ide untuk menggandeng sektor swasta melalui skema Kemitraan
Pemerintah Swasta (KPS) maupun Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)
masih juga belum berjalan mulus.
Padahal skema tersebut diharapkan ikut membantu pemerintah
untuk mengatasi kebutuhan dana investasi. Akibat pengeluaran yang besar untuk
infrastruktur, pemerintah sedang berjudi dengan risiko keterbatasan
likuiditas fiskal. Dan kabar terbarunya akan terjadi (lagi-lagi) pemangkasan
anggaran kementerian/lembaga (K/L) menjelang bergulirnya penyusunan APBN-P
2017. Kasak- kusuk ini sedikitnya akan kembali memengaruhi kredibilitas
perencanaan kebijakan pemerintah. Apalagi situasi realisasi penerimaan negara
yang sangat tergantung pada pajak sedang dalam masa yang cenderung suram.
Ditjen Pajak melaporkan realisasi penerimaan hingga April
2017 baru mencapai Rp343,7 triliun (26,28% dari total target). Tingkat
pertumbuhannya mencapai 19% bila dibandingkan dengan periode yang sama di
tahun sebelumnya. Namun perolehan ini tidak cukup progresif karena Menkeu Sri
Mulyani sendiri cenderung kurang pede akan sesuai dengan target di akhir
tahun. Setelah berakhirnya program tax amnesty, progres reformasi perpajakan
seperti sedang kehilangan panggung pertunjukannya. Apalagi informasi mengenai
Perppu Nomor 1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan
Perpajakan, mendapat respons yang kurang hangat.
Alasannya banyak butir peraturan yang dirasa belum cukup
clear untuk standar keamanan nasabah di bank. Misalnya terkait dengan nilai
nominal kekayaan yang akan diperiksa yang kabarnya dibatasi minimal
USD250.000 (Rp3,3 miliar), apakah itu berupa tabungan, deposito, obligasi,
ataukah juga termasuk portofolio investasi yang disimpan nasabah sehingga
jangan sampai terbitnya perppu ini justru memukul mundur ide-ide yang searah
dengan reformasi perpajakan. Terkait dengan ancaman defisit fiskal yang terus
bermunculan, alternatif pemasukan lainnya misalnya dengan melakukan utang
luar negeri (ULN) juga tidak cukup aman secara politik dan ekonomi. Bank
Indonesia (BI) mencatat, ULN Indonesia sudah mencapai Rp3.667 triliun per 30
April 2017.
Angka ini naik 2,9% secara tahunan (yoy) bila dibandingkan
dengan kuartal sebelumnya yang mencapai 2% (yoy). Memang jika merujuk pada
peraturan perundangan-undangan yang berlaku, posisinya masih cukup aman
karena belum melebihi batas rasio 60% terhadap PDB. Namun kita perlu
mempertimbangkan lagi dampak secara politik karena tekanan dari masyarakat.
Selain itu ULN juga akan mengganggu likuiditas keuangan negara di masa
mendatang karena ikut membebani APBN untuk proses pelunasan.
Karena itu pemerintah memang harus bersabar untuk secara
arif menggunakan sumber daya pembangunan yang ada. Dimulai dari proses
perencanaan yang akurat, pelayanan yang semakin efektif dan efisien,
peningkatan reformasi perpajakan agar penerimaan negara semakin menggeliat,
serta transmisi kebijakan yang harmonis dengan otoritas lain seperti sektor
moneter dan swasta serta sinkronisasi kebijakan dengan pemerintah daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar