Menjalani
Ujian Kehidupan dengan Ketakwaan
Sam Edy Yuswanto ; Penulis Lepas di berbagai media massa; Ratusan
tulisannya mulai cerpen, cerber, opini, dan resensi buku telah tersiar di
sejumlah media massa seperti Koran Sindo, Republika, Suara Merdeka,
Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Radar Lampung, Radar Surabaya, dll
|
DETIKNEWS, 31 Mei 2017
Pada hakikatnya, dunia menjadi tempat "ujian"
bagi para penghuninya. Ya, setiap orang tentu akan dihadapkan dengan berbagai
ujian kehidupan. Berbicara tentang ujian kehidupan, terkadang sebagian orang
hanya memahaminya sebagai kesulitan atau cobaan hidup yang terasa berat untuk
dijalani. Padahal, makna ujian sebenarnya tidaklah sesempit itu. Karena
sering juga "ujian" yang diturunkan Tuhan kepada kita berwujud
beragam kenikmatan atau kesenangan yang melenakan.
Lantas, bagaimana cara kita mengetahui bahwa beragam
kenikmatan itu termasuk ujian Tuhan? Sebenarnya, cara untuk mengetahui apakah
kenikmatan itu benar-benar berupa kenikmatan hakiki ataukah sebentuk ujian
dari-Nya itu tidak terlalu sulit. Jika kenikmatan tersebut (misalnya
berbentuk harta berlimpah) tidak kita manfaatkan dengan baik sesuai
ketetapan-Nya (terlebih sampai membuat kita lalai beribadah kepada-Nya) maka
kenikmatan semacam itu disebut sebagai ujian kehidupan yang berat dan harus
kita waspadai.
Bila direnungi secara lebih mendalam, ujian kehidupan
memang sebuah keniscayaan bagi setiap orang untuk menaikkan derajatnya agar
menjadi insan yang lebih mulia di sisi-Nya, dengan catatan ia mampu melewati
ujian tersebut dengan baik dan penuh kesabaran, tawakal, ikhlas, ridha
terhadap apa pun ketetapan dari-Nya, dan selalu mengedepankan ketakwaan
kepada Allah SWT.
Berbicara tentang ketakwaan, tentu setiap orang yang
mengaku beragama Islam senantiasa mendambakan menjadi pribadi yang selalu
bertakwa dari hari ke hari. Seseorang yang menjalani kehidupan tanpa adanya
bekal ketakwaan di dalam jiwa, maka dapat dipastikan dia akan terjerumus ke
dalam hal-hal yang melanggar perintah-Nya.
Sebenarnya, apa yang dinamakan dengan takwa, sehingga
keberadaannya sangat menentukan kualitas kehidupan setiap orang? Jika kita
merujuk pada catatan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dinamakan
takwa adalah terpeliharanya diri untuk tetap melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya. Sementara itu, jika kita menilik catatan
Wikipedia, definisi takwa (berdasarkan arti dalam bahasa Arab) adalah
memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
Dua Unsur Penting
Bila melihat dua definisi takwa yang nyaris tak ada
perbedaan tersebut, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa takwa mengandung
dua unsur penting yang saling keterkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Satu sisi merupakan sebuah bentuk ketaatan atas setiap perintah Tuhan,
sementara di satu sisi yang lain adalah sebuah upaya untuk menjauhi segala
hal yang telah dilarang oleh-Nya.
Jika kita merunut pada keterangan dalam Al Quran, Surat
Al-Baqarah ayat 3-4, orang yang bertakwa dapat diketahui ciri atau tandanya.
Ciri ketakwaan yang pertama adalah beriman kepada Allah dan setiap hal yang
gaib. Hal gaib di sini adalah setiap hal yang tidak kasat mata tapi nyata
adanya dan hanya bisa diyakini oleh orang-orang yang beriman saja. Misalnya,
percaya dan yakin dengan keberadaan para malaikat, surga dan neraka, dan lain
sebagainya.
Ciri ketakwaan kedua adalah tidak pernah melalaikan salat
lima waktu. Artinya, sesibuk apa pun dia, bahkan dalam kondisi apa pun (baik
saat sedang sehat maupun sakit), dia tak pernah meninggalkan salat lima
waktu. Ciri ketakwaan selanjutnya adalah mau menafkahkan sebagian rezeki
(harta benda) yang dimilikinya di jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Misalnya, mengeluarkan harta untuk menunaikan zakat, membantu fakir miskin,
membantu pembangunan masjid dan pondok pesantren, dan lain sebagainya.
Beriman kepada kitab-kitab Allah (Al Quran dan kitab-kitab
yang turun sebelumnya) dan meyakini bahwa setelah kehidupan dunia akan ada
kehidupan akhirat yang kekal merupakan dua ciri takwa berikutnya sebagaimana
telah dijelaskan dalam Alquran.
Nah, setelah kita mengetahui ciri atau tanda ketakwaan,
sekarang saatnya kita kembali merenungi; apakah selama ini kita sudah
termasuk orang yang bertakwa kepada Allah SWT, atau masih dalam tahap menuju
ketakwaan, atau bahkan sama sekali belum termasuk hamba yang bertakwa? Tentu,
hanya diri kita masing-masing yang mampu untuk menjawabnya.
Harus kita akui, bahwa menjaga ketakwaan memang terkadang
mudah diucapkan tapi dalam praktiknya kita terkadang merasakan kesulitan yang
sangat. Hal ini dapat dibuktikan misalnya ketika kita sedang sibuk
beraktivitas, secara sadar kita kerap lalai dengan panggilan salat lima
waktu. Dengan alasan tak sempat, secara sadar sebagian orang lebih
memenangkan urusan keduniawian daripada berhenti sebentar untuk mendirikan
salat.
Dengan alasan terjebak macet atau takut telat tiba di
tempat kerja, sebagian orang lebih mengorbankan dan menggadaikan waktu
salatnya. Itulah kondisi diri sebagian dari kita, yang terkadang lebih merasa
takut merugi di dunia daripada merugi kelak di akhirat. Padahal, harta dunia
tak ada harganya sama sekali jika kita sampai meninggalkan kewajiban salat
dan kewajiban-kewajiban lainnya yang merupakan tanda atau ciri ketakwaan.
Takwa Menurut Ali Bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib r.a. merupakan salah satu sahabat
terdekat Rasulullah SAW, yang pernah membahas tentang definisi takwa secara
komprehensif. Menurut beliau, ada empat kriteria seseorang disebut sebagai
hamba yang bertakwa kepada-Nya. Pertama, orang disebut takwa jika dia merasa
takut kepada Allah SWT.
Takut di sini tentu saja tidak sebatas takut lalu selesai.
Sama sekali bukan seperti itu. Namun, takut yang dimaksud adalah takut
sebenar-benarnya takut dengan cara selalu berupaya menaati setiap perintah
Tuhan dan berusaha sekuat tenaga menjauhi segala apa yang telah dilarang
oleh-Nya.
Kedua, setiap beramal (atau saat menjalankan berbagai
aktivitas) selalu berlandaskan ajaran yang sudah ditetapkan dalam kitab suci
Al Quran. Ketiga, memiliki sifat atau sikap qanaah (menerima) dengan
ketetapan (rezeki) Allah yang sedikit.
Keempat, selalu siap sedia menghadapi datangnya hari akhir
atau hari kiamat. Menghadapi hari akhir menyiratkan sebuah pemahaman bahwa
dalam setiap situasi dan kondisi kita harus berjuang sekaligus berlomba-lomba
dalam beramal kebajikan sebagai bekal kita dalam menghadapi kematian yang
sewaktu-waktu datang menjemput.
Memang benar, bahwa rahmat atau kasih sayang Allah-lah
yang kelak menjadi penentu; apakah kita termasuk orang-orang beruntung
ataukah sebaliknya? Namun, kita juga harus memahami bahwa di sisi lain Allah
juga telah menjanjikan bahwa barang siapa bertakwa kepada-Nya niscaya dia
termasuk ke dalam orang-orang beruntung yang kelak menjadi penduduk surga
keabadian-Nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar