Pancasila,
Piagam Madinah, dan Politik Indonesia
Ribut Lupiyanto ; Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public
Capacity Acceleration)
|
DETIKNEWS, 31 Mei 2017
Setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingati Hari
Lahir Pancasila. Peringatan tahun ini lebih istimewa karena bersamaan dengan
pelaksanaan ibadah puasa Ramadan.
Eksistensi Pancasila adalah final bagi NKRI. Pancasila
menempatkan nilai spiritual menjadi paling sentral. Konsekuensi logisnya
adalah keharusan untuk menciptakan iklim politik pemerintahan yang
berketuhanan, menghadirkan pemimpin yang spiritualis, serta hukum/aturan yang
menghormati norma keagamaan.
Spiritualisme dapat diletakkan secara fundamental pada
setiap sendi kehidupan politik bangsa. Dinamika politik Indonesia mesti terus
dibangun secara demokratis dan bermartabat. Pembelajaran dapat dilakukan dari
berbagai sumber.
Hal yang wajar sebagai bangsa mayoritas muslim belajar dan
meneladani sejarah kejayaan Islam dalam mengelola peradaban. Istilah
demokrasi memang tidak dihadirkan Islam, tapi substansi dalam batas kebaikan
telah dibuktikan olehnya.
Piagam Madinah
Fakta keberhasilan politik Islam telah dicontohkan oleh
masyarakat Madinah pada masa Rasulullah dan sahabat. Secara politis, muslim
dan pemeluk agama lainnya hidup mandiri, berdaya, teratur dan egaliter
sebagai warga negara.
Untuk mewujudkannya kembali ilmuwan politik Islam seperti
Ibnu Aby Rabi, Al-Mawardi dan Al-Ghazali memaparkan pentingnya rasa aman,
keadilan, dan supremasi hukum.
Mc. Donald menyebut Madinah sebagai negara Islam pertama
yang memiliki dasar-dasar politik dan perundang-undangan. Muhammad SAW
sebagai kepala negara kala itu telah menetapkan dasar-dasar dan sendi-sendi
pemerintahan, dan berhasil menyatukan semua golongan (Ridha, 2003).
Resep rahasianya adalah implementasi spiritualisme Islam
ke seluruh sendi kehidupan, termasuk politik.
Sejarah mencacat, di zaman Rasulullah telah dihasilkan
konstitusi yang berkeadilan dan demokratis, yaitu Piagam Madinah. Pakar Barat
seperti Julius Wilhausen, Leon Caetani, Hubert Grime, Montgomery Watt dan
lainnya mengakuinya sebagai konstitusi pertama di dunia dan paling lengkap
sepanjang sejarah manusia.
Hidayat (1995, dalam Soelhi, 2003) merangkum temuan
penting dari Piagam Madinah. Pertama, piagam ini mampu menghapus tribalisme
(kesukuan) menuju pembangunan negara baru.
Kedua, Piagam Madinah dinamis seiring dengan kondisi
kebutuhan kekinian dan mengakomodasi seluruh elemen agama. Ketiga, semua
warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban serta
wajib melindungi yang lemah.
Dalam kebijakan ekonomi misalnya, bagi Muslim wajib
membayar zakat, sedangkan non-muslim berupa jizyah dan kharaj. Negara
mengakui, melindungi dan menjamin kebebasan warga menjalankan ibadah sesuai
dengan agamanya.
Keempat, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama
di depan hukum dalam prinsip kebenaran dan keadilan. Kelima, hukum
adat/tradisi dengan berpedoman pada keadilan dan kebenaran tetap dilakukan.
Keenam, negara menganut asas pacta sun servanda
(perjanjian harus dihormati) selama perjanjian ini berlaku. Ketujuh, semua
warga negara mempunyai kewajiban yang sama terhadap Negara.
Kedelapan, perdamaian adalah tujuan utama, tapi
pencapaiannya tidak boleh mengorbankan kebenaran dan keadilan. Kesembilan,
sistem pemerintahan adalah desentralisasi. Namun, pemerintah pusat adalah
pemutus terakhir jika daerah buntu.
Piagam Madinah mengajarkan pelaksanaan politik
pemerintahan yang tidak kaku. Efek positifnya terasa dengan dijunjungnya
etika, moralitas, ikatan kepercayaan, dan rasa kasih sayang.
Piagam Madinah juga mampu melindungi dan mengatur
perikehidupan bernegara yang multi-etnis dan berbeda-beda agama. Hal ini
menjadi bukti telah terjalankannya iklim demokrastis dan keadilan.
Pembangunan Politik
Pembangunan politik membutuhkan harmoni sosial serta
harmoni antara rakyat dan pemimpin. Harmonisasi tersebut merupakan kunci
dalam optimalisasi penyelenggaraan program pemerintah.
Imam Al-Gazali menyatakan: "Dunia adalah ladang
akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan adanya dunia. Kekuasaan dan
agama tidak mungkin dipisahkan. Agama adalah tiang, penguasa adalah penjaga.
Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang.
Keteraturan dan keseimbangan akan terwujud kecuali dengan penguasa."
Iklim demokrasi Indonesia pascareformasi telah terbuka
lebar. Bahkan kadang terkesan berjalan tanpa kendali dan kebablasan. Atas
nama demokrasi dan HAM semua kritik bahkan perbuatan bebas dilakukan. Apapun
itu, poin positif berupa ruang partisipasi yang terbuka penting dioptimalkan.
Praktik politik yang memihak rakyat mesti terus diupayakan
di tengah dominasi tingkah polah negatif oknum politisi dan pejabat. Hal ini
tentu ini bukan karena politiknya yang kotor. Pendidikan politik guna
memperbaiki kualitas demokrasi penting terus digalakkan bagi politisi,
publik, dan lainnya. Substansi dan aplikasi Piagam Madinah dapat diadopsi
konsepsinya guna membangun perpolitikan Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar