Mengarusutamakan
Perlindungan Anak
Seto Mulyadi ; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma;
Ketua Umum Lembaga
Perlindungan Anak Indonesia
|
KORAN
SINDO, 06
Juni 2017
Upaya mengarusutamakan perlindungan anak
sebagai agenda nasional telah terlihat sejak Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan Inpres Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap
Anak pada 2014.
Bisa dibilang seluruh kementerian dan
lembaga digerakkan untuk mengambil langkahlangkah terpadu guna mengatasi
kejahatan para predator terhadap anak-anak Indonesia. Dua tahun berselang,
dari Istana Negara keluar Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental. Inpres
tersebut seolah menegaskan bahwa perlindungan anak bukan sebatas gerak fisik.
Perlindungan anak harus mengendap sebagai
mindset, sebagai bagian inheren dalam jiwa dan nyawa masyarakat.
Pertanyaannya, siapa pemangku kepentingan dan bagaimana menanam-semikan
perlindungan anak ke batin dan ikhtiar seluruh lapisan masyarakat? Jika
Inpres GN Revolusi Mental dijadikan pedoman, otoritas penegakan hukum berada
di garda terdepan perlindungan anak.
Itu karena berdasarkan Inpres GN Revolusi
Mental program menjadikan rumah dan sekolah sebagai basis penciptaan lingkungan
nirkekerasan dan ramah anak berada di lingkup koordinasi Kemenko Polhukam.
Penempatan program tersebut di bawah Kemenko Polhukam dianggap banyak
kalangan sebagai sesuatu yang membingungkan.
Namun, karena derasnya kepanikan dan amarah
masyarakat menyusul aksi-aksi keji predator, penempatan program sedemikian
rupa memiliki pembenaran. Bahwa pemerintah memandang langkah penegakan
hukum—setidaknya saat ini—dirasakan mendesak untuk dikedepankan. Kendati
demikian, perlu menjadi keinsafan bersama bahwa perlindungan anak pada
hakikatnya tidak sebatas memburu predator seksual.
Perlindungan anak bukan ihwal pidana
semata. Perlindungan anak menyasar seluruh hak anak. Perlindungan anak adalah
serangkaian ikhtiar komprehensif dalam rangka menjamin terpenuhinya
kepentingan terbaik anak. Konsekuensinya, tidak memadai apabila lembaga
penegakan hukum semisal kepolisian menjadi tumpuan satu-satunya.
Hitung-hitungan angka juga menghasilkan
simpulan senada. Berikut ini gambarannya. Hingga kini, unit kerja di kepolisian
yang berurusan langsung dengan perlindungan anak baru sampai pada tingkat
kabupaten/ kota, yaitu kepolisian resor (polres). Data laman resmi Polri,
jumlah polres se-Indonesia adalah empat ratusan satuan.
Jika personel Polri di tingkat desa atau kelurahan
diasumsikan juga dapat diandalkan untuk menangani masalah perlindungan anak,
maka per tahun 2015 terdapat hanya 62.000 petugas Babinkamtibmas (Badan
Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Padahal, di tahun yang sama
ada sekitar 80.000 desa di seluruh Indonesia.
Jadi, hampir 20.000 desa dan kelurahan di
Indonesia seakan tak mempunyai polisi yang semestinya bertugas menyambangi
mereka secara teratur. Pada kurun yang sama, jumlah anak Indonesia berumur 0-
17 tahun pada tahun 2014 diperkirakan mencapai 82,85 juta jiwa (Profil Anak
Indonesia, 2015). Jelas sudah, tetap tidak realistis apabila personel
Babinkamtibmas difungsikan sebagai ujung tombak perlindungan anak.
Satu personel Polri harus memantau seribuan
anak adalah kerja mustahil. Apalagi, sesuai sebutannya, keamanan dan
ketertiban tidak hanya berkaitan dengan persoalan anak saja. Bertitik tolak
dari situ, dibutuhkan inisiatif supermasif agar agenda pengarusutamaan
perlindungan anak benar-benar mengenai sasaran, bahkan hingga ke lapis akar
rumput.
Diperlukan kerja ekstrakeras agar tidak ada
lagi pintu-pintu yang tertutup rapat, dan di dalamnya terdapat anak-anak yang
teraniaya, dengan alasan anak adalah milik orang tua dan masalah anak adalah
masalah pribadi. Untuk maksud tersebut, hemat saya, perlu diadakan seksiseksi
perlindungan anak hingga di tingkat RT.
Seksi perlindungan anak merupakan perluasan
setelah sebelumnya masyarakat mempunyai seksi keamanan, seksi kebersihan,
seksi kerohanian, seksi ketertiban, dan berbagai seksi lain. Saat saya
menyusun tulisan ini, http://www.data.go.id sedang dalam perbaikan.
Akibatnya, jumlah resmi mutakhir RT se-Indonesia belum dapat diketahui.
Terlepas dari itu, di wilayah DKI Jakarta
saja per tahun 2014 terdapat 30.246 RT. Jika itu dijadikan asumsi, maka di
seluruh Indonesia terdapat hampir 1 juta RT, dan itu berarti 1 juta seksi
perlindungan anak. Seksi perlindungan anak dalam jumlah sedemikian besar
tentu jauh lebih bisa diandalkan.
Tidak hanya potensial dari sisi kuantitas,
secara kualitas pun seksi perlindungan anak di tingkat RT itu berisikan
orang-orang yang paling mengenal warga di wilayah mereka masing-masing.
Kedekatan antara pengurus seksi perlindungan anak dengan setiap rumah juga
akan mempercepat datangnya respons-respons cepat tanggap terhadap keadaan
berisiko bagi anak.
Matakota
Saat ini di Indonesia telah dibangun
nomor-nomor hotline yang dapat dihubungi terkait situasi genting yang dialami
masyarakat. Masalah pertama, dibutuhkan pengintegrasian nomor darurat agar
kelak masyarakat hanya perlu menghafal satu nomor telepon hotline saja.
Kedua, persepsi masyarakat bahkan persepsi
petugas bala bantuan perlu dikoreksi, bahwa situasi darurat tidak melulu
berkaitan dengan bencana alam.
Ketika masyarakat mengetahui adanya anak
yang berhadapan dengan bahaya dan membutuhkan pertolongan, situasi semacam
itu pun seharusnya juga disikapi sebagai situasi darurat.
Ketiga, sebangun dengan tema
pengarusutamaan perlindungan anak sebagai agenda semesta, respons untuk
menolong anak keluar dari situasi kritis semestinya tidak bersifat vertikal
semata.
Vertikal berarti bahwa respons bantuan
datang dari petugas yang secara resmi memperoleh penugasan dari instansi
terkait. Keterpanggilan dan prakarsa untuk menyelamatkan anak idealnya
bersifat horizontal, yakni datang dari sesama anggota masyarakat sendiri.
Baik untuk keperluan sosialisasi dan edukasi serta tanggap bencana anak,
kecepatan reaksi menjadi kelebihan utama seksi perlindungan anak di tingkat
RT.
Untuk itu, semestinya tersedia instrumen
penghubung langsung antara warga dan seksi perlindungan anak. Instrumen yang
dapat berfungsi sebagai katalisator perlindungan anak itu idealnya tidak
hanya berada dalam jangkauan orang dewasa, tapi bahkan juga berada dalam
genggaman anak-anak, yaitu aplikasi berbasis ponsel.
Mekanismenya adalah siapa pun, termasuk
anak, yang berhadapan dengan situasi genting dapat menekan tombol panik dan
aplikasi di ponsel lainnya akan menerima sinyal tersebut. Seksi perlindungan
anak, bersama masyarakat sekitar tentunya, diharapkan akan mendatangi lokasi
selekasnya. Data DS Annual Report 2015 memperlihatkan, jumlah ponsel di
Indonesia adalah 281,9 juta buah. Lebih dari jumlah populasi Indonesia.
Aplikasi gratis berbagi ponsel
itulah—diberi nama Matakota—instrumen yang saya yakini akan menjadi katalisator
ideal bagi masyarakat dan seksi perlindungan anak hingga di tingkat RT.
Mendorong pembentukan seksi perlindungan anak di RTRT, di samping membangun
aplikasi perlindungan anak berbasis ponsel, kini tengah dilakukan oleh LPA
Indonesia bersama anak-anak muda yang berhimpun dalam Natek Teknologi.
Manakala keduanya terealisasi, niscaya “membesarkan anak butuh orang
sekampung” tidak akan lagi menjadi kiasan belaka. Allahu a’lam . ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar